Berhenti dicintai adalah masa-masa yang sulit untuk dilalui oleh siapapun, laki-laki maupun perempuan. Tiba-tiba semuanya akan menjadi begitu terasa indie: dada sesak, pikiran mengawang, dan semua lagu yang diputar seolah mewakili perasaan.
Saya merasakan getir setelah hubungan yang dibangun selama tiga tahun lalu harus berakhir, entah dengan alasan apapun. Saya menyanyikan lagu Menghitung Hari 2 dan menangis. Reff-nya terdengar, lagi-lagi seperti yang saya bilang di awal soal setiap lagu yang didengar, mewakili perasaan saya saat itu.
Saya menangis karena saya ditinggalkan. Dan ditinggalkan, dalam konteks apapun, akan selalu menguras air mata. Seberapa anjim atau anjayani-nya kau, ditinggalkan oleh kekasih adalah siksa terberat dan kau tak akan sanggup menghadapinya sekalipun alasan kau ditinggalkan karena masalah yang kaubuat juga.
Sebagian teman-teman yang saya beritahu menganggap bahwa tangisan saya adalah laku yang tidak pantas saya lakukan hanya karena saya seorang laki-laki. Tetapi apakah iya, lelaki tidak boleh menangis walau hatinya berdarah?
Menyedihkan sekali kalau memang harus begitu. Saya perlu menangis saat itu dan saya harus menangis. Saya tidak peduli apakah saya laki-laki atau bukan. Tetapi bukankah menangis boleh dilakukan oleh siapapun karena alasan apapun, sekalipun jenis kelaminnya adalah lelaki.
Apakah laki-laki akan dianggap sebagai orang yang lemah hanya karena menangis? Lalu alasan apa yang sehingga lelaki tidak boleh menangis? Apakah persoalan maskulinitas?
Ya Tuhan, kalau saya hidup di dunia ini dan tidak boleh menangis saat saya sedang bersedih karena apapun, lebih baik saya tidak perlu hidup lama-lama. Rasanya berat sekali mengemban tugas yang seperti demikian dalam hidup. Seolah laki-laki harus diikat sifat maskulinitas hegemonik. Tentu itu adalah sesuatu yang bajingan sekali.
Dalam artikel berjudul Nasib Laki-Laki Feminis yang ditulis Aulia Adam ia mengutip perkataan Nick Fulchano, “Kalau pria diberitahu kalau tak apa untuk menangis dan mencari pertolongan ketika mereka butuh, mungkin angka pria-pria di Amerika Serikat yang bunuh diri takkan lebih tinggi dibandingkan perempuan.”
Lagi pula masa sih cuma perempuan yang boleh menangis? Ini nggak adil. Bukan bagi perempuan, tetapi bagi laki-laki. Karena laki-laki juga butuh namanya menangis.
Pasalnya, meski tidak hitam-putih, hidup akan menawarkan perasaan bahagia dan sedih. Dan semuanya bersifat sementara. Nggak bakalan selalu bahagia atau sedih atau perasaan-perasaan lainnya.
Tapi yang jelas, semua perasaan yang ditawarkan oleh hidup akan sama-sama singgah dan manusia mau nggak mau akan merasakan itu. Menahan tangisan hanya karena kamu adalah laki-laki padahal saat itu kamu sedang bersedih atau ditinggalkan oleh seorang terkasih adalah kebodohan.
Kalau mau menangis, menangis saja. Kejantananmu tidak akan berkurang sama sekali hanya karena kamu laki-laki dan menangis.
Itu sebabnya dalam artikel yang sama, Aulia Adam mengutip, “Feminisme bukan cuma tentang membantu perempuan, ia juga tentang membantu para pria.”
Feminisme mestinya tidak hanya menolong perempuan dan laki-laki dalam konteks yang berat seperti halnya dalam kotak sosial-politik dan ekonomi. Yang melulu berbicara bahwa perempuan berhak menjadi pemimpin dan lain sebagainya.
Feminisme harus sampai pada konteks-konteks yang mudah dan remeh dan biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Konteks-konteks yang remeh itu, jika masih banyak dan sering terjadi dan dikumpulkan, maka akan menjadi sepiring nasi dan berguna.
Misalnya dengan hak laki-laki untuk menangis karena mengenang cekcokan [mantan] kekasihnya, pertengkaran akibat perilakunya yang bodoh, atau semacam kerumitan ketika harus memilih antara bermain gim online atau menelponnya. Dan tidak percaya bahwa semua yang acapkali terjadi saat bersama-sama dengannya sudah tidak akan ditemui lagi.
Atau merasa kesepian dan perasaan nyeri yang menghantam pikiran berkali-kali ketika harus melewati malam minggu sendirian di kosan.
Bahkan laki-laki berhak untuk memilih caranya berbahagia dan melupakan kesedihan dengan mengunduh aplikasi Tik Tok–yang barangkali bagi sebagian laki-laki yang lain akan menganggapnya alay–dan mencari konten-konten yang dapat sedikit melupakan masa-masa indah yang pernah mereka lakukan semasa dulu bersamanya.
Laki-laki, seperti juga perempuan, berhak melakukan apapun yang ingin mereka lakukan bahkan sampai pada tahap yang remeh sekalipun.
Terakhir sekali, kalau memang sudah merasa tidak mampu melakukan apapun selain menangis. Kemarilah, datang kepadaku dan kita menangis bersama-sama.