Masih soal Instagram dan medsos, sebenarnya saya lebih suka main blog, karena tampilannya lebih oke aja gitu. Semacam, lebih asik buat diapa-apain. Tapi karena ribet dan saya gak seleluasa dulu waktunya, jadi ya udah sangat terbengkalai dan lebih sering scroll IG atau bertempur di Land of Dawn.
Nah, ketika IG saya sudah gak di-privasi, mulailah saya cermati fenomena-fenomena yang “Apaan si?” Semacam, akun bodong yang hobi mantengin story. Ya ketika saya memutuskan untuk membuka akun tuh ya udah gitu loh. Saya sudah siap dengan resiko di-stalking-in orang lain yang bukan teman saya. And it’s okay.
Beda ceritanya kalau saya bikin IG, saya biarkan IG saya dikomenin orang asing, eh malah saya yang keki ketika komentar itu gak sesuai dengan apa yang saya mau. Itu kan gak pantes banget, ya. Secara nalar, logika, dan ke-otak-an saya tuh gak masuk. Ya saya bikin IG, ya saya posting dan saya membuka kolom komentar itu untuk umum, dan yaudah. Masalahnya di mana?
Ngerti, kan?
Jadi karena saya merasa diri saya gak mau ribet ngurusin komentar orang, ya mendingan saya tutup kolom komentar, karena saya gak mau mendengar siapapun berbicara tentang foto yang saya published. Gampang, kan?
Lagian, ada fitur close friends yang udah pasti gue pake. Lagian, apa pentingnya sih gue buat khalayak umum? Gak ada kaleee. Gue gak senarsis itu kok, guys. Tenang aja.
Terus, ada juga fenomena fake account tadi alias akun bodong. Ya, dulu pernah denger juga. Bukan pernah, temen-temen gue banyak yang punya maksudnya. Beda-beda kepentingan lah ya. Ada yang emang pengen bikin khusus untuk published foto kemewahan tapi menghindari orang pajak ada, ada emang dibikin khusus buat gosipin orang, ada juga buat nge-share momen bersama gebetan yang berbeda, ada juga buat stalking-in mantan.
Maksudnya temen gue stalking mantannya, ya. Bukan gue atau mantan gue saling stalking. Hubungan gue sama mantan gue baik kok, masih berteman, dan kalau gue mau stalking ya stalking aja. Kenapa emang? Malu?
Nah, ini nih. Setelah dipikir-pikir, orang dengan fake account yang dipake buat stalking dan ganggu–in orang tuh ya gak punya nyali, tau. Kalau pakai yang asli, ya mana berani? Hey baby, itu lah kenapa kamu punya teman tuh ya jangan yang toxic, jangan yang bikin karakter kamu tuh ya nge-lost dan menjadi pengecut gitu, ah.
Kenapa sih susah amat mengakui kalau kamu itu kepo? Kepo kan wajar, ingin tahu kan wajar, gak ada yang salah, kok. Lagian, gak ada yang bakal ngapa-ngapain kamu ketika kamu kepoin orang. Kan tinggal dibalikin, “Kalau gak mau dikepoin, tinggal diprivasi.”
Fake account itu gak salah, yang salah itu ketika kamu sudah denial sejak dalam pikiran. Masalahnya, yang terjadi ketika kamu ngepoin orang dengan fake account itu kan kamu secara langsung sudah merendahkan diri kamu dengan tidak mempercayai diri bahwa kamu itu manusia.
“Loh kok jauh amat, Ce?”
Ya jauh, lah. Manusia itu wajar kok kepo. Kalau kamu aja gak mau mengakui kamu kepo, ya kamu meragukan entitas kamu sebagai manusia, dong.
Secara gak langsung, itu juga akan mengubur rasa tanggung jawab kamu, loh. Nah, ini namanya deindividuasi. Gue juga baru tau sih istilah ini, dan menurut gue menarik aja dibahas.
Ya intinya deindividuasi tuh mengacu kepada satu situasi ketika lu tuh dengan mudah melepaskan, menghilangan atau kehilangan identitas lo, yang membuat lo mudah “samar”. Maksudnya gimana? Kaya gini.
Ketika lu nonton konser The Changcuters atau Feel Koplo lah misalnya nih. Ramean, sama geng-geng lu nah terus semua orang yang nonton tuh joget, tuh. Otomatis, geng lu -termasuk lu juga jadi pede aja joget. Nah, fenomena itu disebut deindividuasi.
Padahal kalau diantara kerumunan itu hanya lu yang joget, ya kemungkinannya lu akan sangat mudah terlihat, mudah dikenali, kan. Mudah ditandai dan mudah dikenali ini lah yang dimaksud bersebrangan sama deindividuasi. Ngerti gak?
Terus juga, misalnya demo nih. Ada yang orasi, terus nyanyi lagu-lagu kebangsaan gitu lah. Tau kan feelsnya kalau udah nyanyiin lagu kebangsaan yang sedih-sedih. Gue yakin merinding dan nangis itu kalau 1 halaman yang nyanyi. Nah, kalau lu dan semua orang yang demo pada nangis itu juga deindividuasi, karena semuanya jadi “samar” gitu. Identitas tuh jadi gak diketahui. Jadi anonim.
Dan gak cuma itu, identitas seseorang yang tidak diketahui juga itu deindividuasi. Ya, kaya hero-hero lah. Spiderman, atau Joker, Bjorka hacker, dan lain segala macam, itu selama masih anonim dan tidak diketahui ya itu masuk ke ranah deindividuasi.
Apapun motifnya, I don’t care lah. Kalau hero anonim mah rada bisa diterima nalar aku, guys. Kalau kalian bikin fake account untuk kepuasan diri sendiri ya sok aja. Cuman ya, sekali lagi, kalau anonim dan punya fake account fungsinya stalking dan ganggu-ganggu sih gue mah ya gak akan ngerasa keganggu. Mohon maaf nih, malah syukur punya bahan tulisan. Hehe. Yang stalking gue pake fake account pasti insecure karena tidak se”wow” gue. Dih emang gue se-apa?! Teruslah menganggu gue dan gue akan lebih banyak menulis. Xoxo.
With Love,
Cece