Fahrullah atau biasa disapa dengan Fahrul adalah pegiat literasi perpustakaan jalanan yang bernama perpustakaan Baca Kami yang aktif menggelar lapakan di kabupaten Bekasi, Cikarang. Ia tertarik dengan urusan literasi sejak SD karena ada andil gurunya yang memperkenalkannya dengan berbagai bacaan komik berkualitas.
Seiring berjalannya waktu, minat literasi ini berkembang menjadi minat untuk membagikan akses berbagai buku gratis juga lewat perpustakaan jalanan. Penasaran bagaimana perjalanan dan tantangan yang ia hadapi di dunia perpustakaan jalanan? Simak wawancara kami dengan beliau di bawah ini.
Kapan dan bagaimana Anda pertama kali tertarik pada dunia literasi?
Dari SD (Sekolah Dasar, saya sudah memiliki ketertarikan pada dunia literasi dengan membaca buku-buku komik Tatang S. dan selain itu, guru SD saya juga memiliki andil dalam mengenalkan saya pada dunia literasi dengan mengajak saya membaca buku tentang kehidupan seperti buku “Rumput-Rumput Ilalang” yang saya lupa nama penulisnya siapa.
Saat saya berada di masa SMP (Sekolah Menengah Pertama), guru saya mendorong saya untuk ikut lomba baca puisi—yang pada akhirnya mengantarkan saya pada peringkat juara tiga mewakili kabupaten Karawang. Kalau nggak salah, waktu itu puisi yang aku baca itu karya Chairil Anwar. Tapi saya sendiri lupa judul puisinya apa sewaktu itu.
Saat SMA (Sekolah Menengah Atas), tidak ada kegiatan khusus yang saya lakukan selain membaca buku dan memperluas bahan bacaan. Ketika kuliah, saya menemukan banyak teman yang satu frekuensi dengan hobi dalam dunia literasi. Dari situ, saya semakin aktif di dunia literasi.
Apakah ada peristiwa atau buku yang cukup menginspirasi Anda?
Gelandangan di Kampung Sendiri karya Cak Nun adalah buku yang cukup menginspirasi. Buku tersebut menceritakan tentang kita yang tidak bisa menikmati dan memanfaatkan isi dan sumber daya yang ada di negeri atau tempat yang kita tempati yang salah satu faktornya kekurangan SDM (Sumber Daya Manusia).
Di mana letak kegiatan perpustakaan jalanannya dan apa yang memotivasi atau mendorong Anda melakukan hal tersebut?
Kegiatannya terdapat di kabupaten bekasi, cikarang yang bernama perpustakaan baca kami. Motivasinya adalah karena saya merasa akses mendapatkan buku-buku apalagi yang berkualitas itu susah. Saya ingin memudahkan akses buku-buku berkualitas karena dulu saya tinggal di kampung yang susah mendapatkan akses berbagai buku berkualitas.
Bisa Anda ceritakan tentang konsep perpustakaan jalanan yang Anda kelola?
Nggak ada konsep tertentu kaya visi dan misi tertentu. Pokoknya kalau saya dan temen-temen udah selesai baca buku nih, iya buku-bukunya kami lapakin. Yang kami lakukan adalah menyediakan ruang untuk membaca buku.
Kapan nih kegiatan perpustakaan jalanan nya mulai dan kegiatannya tuh apa aja? Apakah hanya membaca atau ada kegiatan lain seperti diskusi atau workshop?
Awalnya sih perpustakaan jalanan yang saya kelola bersama teman-teman itu lahir pada tahun 2017 nggak ada kegiatan khusus selain membaca buku dan berbagi bahan bacaan. Nah, cuma, di tahun 2019 saya dengan yang lainnya membuat sebuah komunitas yang bernama kresek untuk kegiatan diskusi. Filosofi di balik nama kresek tersebut jadi seumpama kantung kresek yang menjadi wadah bagi banyak hal—saya dan teman-teman berharap komunitas ini bisa menjadi wadah untuk bertukar pikiran.
Lalu, sekitar tahun 2020, perpustakaan baca kami memiliki akun Instagram untuk mendokumentasikan berbagai aktivitas kami dan menyebarkan kesadaran pentingnya membaca. Di tahun itu juga perpustakaan baca kami giat melakukan kolaborasi dengan teman-teman literasi serta membuat acara baca puisi, diskusi tentang isu terkini, dan screening film melalui acara bertajuk Cikarang Melamun.
Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap kegiatan ini?
Tanggapannya secara umum sih seneng iya karena ada buku-buku yang genre nya juga disukai seperti fiksi novel dan tidak jadul. Pokoknya buku-buku yang tidak bisa diberikan oleh institusi pendidikan seperti sekolah, itu kami bisa sediakan.
Di mana saja perpustakaan jalanan ini biasanya dilaksanakan? Mengapa memilih lokasi tersebut?
Perpustakaan jalanan ini dilaksanakan di berbagai tempat seringnya. Saya pernah lupakan di Jababeka city walk, Desa muarabaru, Desa muara lama, dan bahkan di pondok pesantren Asshiddiqiyah, Cilamaya. Alasannya bisa bervariasi: saya ingin mencari suasana dan orang baru, saya lagi mood-nya di situ, dan tempatnya berlokasi dekat dengan kosan saya.
Bagaimana Anda menentukan tempat dan waktu pelaksanaan perpustakaan jalanan agar dapat diakses banyak orang?
Caranya adalah dengan:
- Kita cari tempat yang rame; atau
- Waktunya pas momentum CFD di kota-kota atau pas sore saat banyak orang yang nongkrong.
Apa saja tantangan yang Anda hadapi dalam mengelola perpustakaan jalanan, baik dari segi logistik, maupun partisipasi masyarakat?
Tantangannya banyak, entah itu dari kesadaran literasi masyarakat yang kurang maupun karena kurang biaya untuk membeli buku-buku berkualitas. Khawatirnya nih, kalau kita beli buku-buku murah, yang ada itu bajakan.
Partisipasi masyarakat itu kurang karena adanya anggapan bahwa informasi bisa didapatkan dari tiktok dan podcast. Padahal kalau mau jujur, konten tiktok dan podcast itu tidak bisa menggantikan buku dalam menyediakan informasi. Karena informasi yang terdapat di dalam buku itu tematik, memiliki struktur yang jelas, dan ditulis oleh orang yang memang memiliki kapasitas.
Bagaimana Anda mengatasi tantangan tersebut?
- Tetap konsisten lapakan—menunjukkan komitmen pada dunia literasi;
- Dari segi pendanaan sendiri sih saya tetap mengandalkan dana pribadi. Tapi, kalau ada yang mau kirim donasi buku, saya terima; dan
- Untuk meningkatkan minat masyarakat akan literasi, kami perlu menyediakan buku-buku yang memang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memiliki tema tertentu.
Apa hal yang paling menyenangkan dari kegiatan perpustakaan jalanan ini bagi Anda?
Hal yang paling menyenangkan dari kegiatan ini sih membuat acara mewarnai bagi anak-anak dan membuat acara pasar gratis bagi orang-orang yang membutuhkan.
Apakah Anda melihat adanya perubahan pada masyarakat setelah adanya kegiatan perpustakaan jalanan ini?
Perubahan secara umum sih susah iya. Tapi, secara khusus, kegiatan ini memantik teman-teman seni dan literasi untuk semangat dan nggak ngerasa sendirian dalam berkarya, dan memiliki kesadaran kolektif untuk tumbuh.
Ada cerita menarik atau menginspirasi yang Anda alami selama menjalankan perpustakaan jalanan?
Nggak ada secara khusus sih kecuali saling berbagi keceriaan dan kebersamaan.
Apakah Anda mendapatkan dukungan dari pemerintah, komunitas lokal, atau pihak lain dalam menjalankan perpustakaan jalanan ini?
Dari pemerintah sih ada iya dari perpustakaan nasionalnya khususnya yang menyumbangkan buku-buku. Tapi buku-buku itu saya beri ke TBM dan yang lainnya karena saya menganggap isinya kurang relevan dengan perpustakaan jalanan ini.
Apa harapan dan rencana Anda ke depan untuk pengembangan perpustakaan jalanan ini?
Harapan saya sih saya bisa memiliki tempat jualan buku sekaligus tempat kongkow. Rencana saya paling seperti biasa: melanjutkan lapakan secara konsisten, menambah koleksi buku, dan relasi.