Kementerian Kebudayaan di bawah komando ngab-ngab tidak berbudaya alias Fadli Zon(k) ini seolah bergerak tanpa kenal tidur (read: abang-abangan sok nocturnal) membangun sebuah mega proyek: penulisan ulang sejarah “resmi” Indonesia.
Fadli Zon(k) dan Proyek Amnesia Nasional dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Kementerian Kebudayaan di bawah komando ngab-ngab tidak berbudaya alias Fadli Zon(k) ini seolah bergerak tanpa kenal tidur (read: abang-abangan sok nocturnal) membangun sebuah mega proyek: penulisan ulang sejarah “resmi” Indonesia. Pemerintah, dengan rasa percaya diri yang cenderung over, menyebut proyek ini sebagai kado ulang tahun untuk Indonesia yang ke-80. Momennya bertepatan dengan peringatan 17 Agustus nanti, dan isi dari buku tersebut, menurut Fadli Zon sendiri, akan digunakan sebagai rujukan sejarah untuk pendidikan Indonesia.
Tujuannya adalah agar sejarah Indonesia terlihat lebih segar dan representatif. Namun, langkah ini menuai kecaman luas. Bukan tanpa alasan—penulisan ulang sejarah “resmi” ini justru hanya mempertahankan dua peristiwa pelanggaran HAM dari belasan peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu.
Contohnya saja hal-hal yang tidak dimasukan adalah Penembakan Misterius atau Petrus (1982–1985), Penghilangan Paksa Aktivis (1997–1998), serta Tragedi Trisakti dan Semanggi I-II (1998–1999).
Pembelaan Fadli Zon atas penghapusan berbagai peristiwa pelanggaran HAM itu pun terdengar absurd.
“Tone kita adalah tone yang lebih positif karena kalau mau mencari-cari kesalahan, mudah, pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa,” kata Fadli Zon.
Pernyataan ini, secara jujur, sama saja dengan menyakiti para keluarga korban pelanggaran HAM, para penyintas, serta para pegiat HAM yang tergabung dalam Aksi Kamisan. Bagi yang belum familiar, Aksi Kamisan adalah gerakan damai yang digagas keluarga korban pelanggaran HAM sejak 18 Januari 2007. Tujuannya menuntut penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang hingga kini dibiarkan mengambang oleh negara.
Para peserta aksi mengenakan pakaian dan payung hitam—simbol duka dan perlawanan terhadap sikap abai serta impunitas yang dipelihara negara.
Aksi Kamisan dan Upaya Merawat Sejarah Penyintas
Awalnya, Aksi Kamisan hanya digelar di depan Istana Kepresidenan, Jakarta. Namun, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu HAM, gerakan ini menyebar ke berbagai kota. Sekitar enam tahun lalu, Minpang ikut turun langsung dalam Aksi Kamisan Karawang bersama kawan-kawan dari lingkaran seni, literasi, buruh, dan perempuan.
Kami berada dalam satu barisan, dengan satu pendirian: pelanggaran HAM mesti dituntaskan! Di bawah terik matahari dan asap kendaraan, kami memegang payung hitam sambil mengepalkan tangan dan meneriakkan, “Hidup korban! Jangan diam! Lawan!”
Tentu, “api perlawanan” hari Kamis itu kami bawa pulang—ke rumah, ke tongkrongan, bahkan ke obrolan singkat dengan driver ojol atau taksi online. Satu diantara pemateri di diskusi Aksi Kamisan Karawang waktu itu menyebut bahwa ini adalah upaya memberikan tongkat estafet kesadaran. Sehingga sejarah, narasi, dan pengetahuan alternatif yang berpihak pada korban bisa tetap hidup. Kesadaran itu harapannya bisa berubah menjadi gerakan, lalu menjadi kebijakan. Begitulah cara kami membayangkan perubahan.
Namun, bertahun-tahun setelah Minpang dan kawan-kawan turun aksi, negara masih juga sama: merawat impunitas, bahkan kini memperkuatnya lewat penulisan ulang sejarah “resmi” Indonesia. Lebih daripada mengecewakan, langkah ini seolah mengkhianati para korban dan keluarga yang mereka tinggalkan.
Sudah tentu proyek penulisan ulang sejarah ini terkait dengan upaya mencuci kekejaman Orde Baru dan para mantan petingginya pasca reformasi. Apalagi, orang yang kini berkuasa adalah bekas menantu Soeharto dan pemimpin Kopassus, Tim Mawarnya terlibat penculikan aktivis. Uwuwuwu ceyem.
Wajar dong kalau Minpang berpikir ini adalah upaya pemaksaan rekonsiliasi. Pemerintah seolah ingin para korban “berdamai” dengan penjahat, pembunuh, dan penyiksa, agar mereka bisa melanjutkan hidup tanpa beban. Apabila korban belum mendapat keadilan, maka perdamaian mustahil terjadi.
Keadilan terutama keadilan korektif, dalam pandangan Aristoteles, adalah ketika seorang penjahat yang telah merusak keadaan masyarakat harus dihukum setimpal, tidak hanya memberi efek jera, tapi juga mencegah hal yang sama terjadi.
Maka, ketika para pelanggar HAM dibiarkan hidup bebas—apalagi dengan sejarah yang dirombak agar kekejaman mereka terlupakan—keadilan gak akan pernah tercapai. Perjuangan para penyintas untuk menuntut pertanggungjawaban pun gak akan pernah hilang.
Sejarah bisa saja ditulis ulang. Peristiwa-peristiwa yang dianggap “negatif” bisa saja ditenggelamkan. Yang akan tampil di ruang-ruang kelas nanti didominasi oleh heroisme dan pencapaian kosong yang dibungkus rapi.
Namun, upaya memfilter sejarah ini sejatinya adalah bentuk penyangkalan atas fakta yang pahit. Akibatnya, generasi selanjutnya—rata-rata—akan terbentuk untuk membenarkan kekuasaan yang dibangun di atas penderitaan. Lebih buruk lagi, dengan label “resmi,” narasi ini akan mengerdilkan sejarah alternatif yang dengan susah payah dibangun para penyintas—melalui buku, artikel, dan cerita-cerita yang hidup di ruang digital.
Upaya Kementerian Kebudayaan pada akhirnya adalah memberi ruang aman bagi para penjahat HAM untuk terus hidup nyaman, tanpa ganjaran.
Melawan Sejarah versi Penguasa
Penguasa sedang sibuk menulis ulang sejarah Indonesia sebagai cara mempertahankan dominasi, sembari membiarkan impunitas tumbuh subur. Namun, suasana zaman abad 21 Masehi ini memberikan ruang bagi kita, dan peserta Aksi Kamisan, untuk bertahan dan melawan.
Dengan adanya disrupsi teknologi dengan kemunculan akses internet yang luas, smartphone, dan gadget lain yang semakin terjangkau, akses informasi tidak lagi satu pintu, tapi beragam portal yang bisa dikunjungi. Kiranya kita dan Aksi Kamisan bisa terus memanfaatkan hal ini dengan merekonstruksi kisah para penyintas, membagikan kesadaran, dan mengajak massa untuk melawan dan menolak narasi tunggal penguasa.
Ingatan-ingatan penyintas akan terus hidup, seperti kumpulan lilin kecil di tengah malam gulita, yang terus menyala dan jadi penghalang nyenyaknya tidur penguasa.
Leave a Comment