Ethnic Branding ala KDM di Tengah Ketidakadilan Kelas

Rakyat tidak didorong untuk bertanya,
“Kenapa saya miskin?” melainkan diajak merasa bangga, “Meski miskin, saya tetap Sunda, saya tetap mulia.”

Dalam lanskap politik kontemporer, identitas menjadi medan paling sengit dalam pertarungan ideologis. Ruang pertempuran lama tentang kekuasaan, penguasaan sumber daya, dan ketidakadilan kelas dimasukkan ke dalam bentuk baru: bentuk yang lebih simbolik, lebih emosional, dan lebih personal.

Politik identitas, dalam konteks ini, bukan hanya soal “siapa kita” secara kultural, tetapi tentang “bagaimana kita membingkai” dunia sosial, “bagaimana kita memosisikan” hubungan kita dengan struktur kekuasaan.

Fenomena Kang Dedi Mulyadi memperlihatkan dengan gamblang bagaimana politik identitas lokal—dalam hal ini identitas Sunda—diangkat, dikemas, dan disebarluaskan sebagai narasi utama politik.

KDM tidak sekadar menjadi politisi; ia menjadi representasi dari “jati diri” Sunda: seorang pemimpin yang berbicara dalam bahasa ibu, berpakaian dalam busana tradisional, menggunakan simbol-simbol lokal untuk membangun ikatan emosional dengan rakyatnya. Dalam permukaan, ini tampak sebagai upaya mulia untuk menghidupkan kembali identitas lokal yang terpinggirkan oleh modernisasi dan globalisasi.

Namun, pembacaan kritis ala Marxian mengajarkan kita untuk tidak berhenti di permukaan. Sebagaimana dinyatakan Gramsci dalam konsep hegemoni, identitas lokal bukanlah arena netral. Ia dapat digunakan sebagai alat resistensi terhadap dominasi eksternal, tetapi ia juga dapat direkayasa untuk memperhalus dominasi internal. Pertanyaannya bukanlah sekadar, “Apakah identitas diangkat?” Melainkan, “Bagaimana identitas itu difungsikan dalam reproduksi tatanan sosial?”

Dalam kasus KDM, identitas Sunda dikemas dalam narasi harmoni, kerja keras, kesederhanaan, dan cinta alam. Ini adalah nilai-nilai yang tentu saja penting dan positif. Tetapi perlu diingat bahwa dalam konteks kapitalisme, nilai-nilai ini dapat dengan mudah dialihkan dari makna resistifnya menjadi instrumen stabilisasi sosial.

Kesederhanaan bisa berarti penerimaan terhadap ketimpangan. Kerja keras bisa berarti pembenaran terhadap ekses eksploitasi tenaga kerja. Cinta terhadap alam bisa berarti greenwashing dari proyek pembangunan kapitalistik.

Identitas lokal dalam tangan politik hari ini, termasuk dalam fenomena KDM, menjadi alat pembentukan common sense baru. Ia mengajarkan kepada rakyat bahwa menjadi “baik” adalah menjadi patuh pada nilai-nilai budaya, tanpa perlu mempertanyakan ketidakadilan struktural yang merusak kehidupan mereka. Ia membentuk rasa bangga terhadap jati diri, namun tidak selalu disertai kesadaran kritis tentang bagaimana struktur kekuasaan global dan nasional terus mengeksploitasi sumber daya mereka.

Tak hanya terjadi di Indonesia, dari Amerika Latin hingga Asia Tenggara, kita melihat identitas lokal digunakan untuk menutupi fakta bahwa kapitalisme global terus menggerogoti ekonomi rakyat. Pemerintah dan politisi mengangkat bendera budaya lokal, festival tradisional, bahasa ibu, sebagai bukti kepedulian terhadap rakyat, sementara pada saat yang sama, korporasi multinasional merambah lahan, eksploitasi sumber daya, dan menciptakan ketimpangan baru.

Dalam kerangka ini, politik identitas yang diusung KDM bisa dibaca sebagai bentuk hegemoni baru: rakyat diberikan ruang untuk merasa bangga akan identitasnya, namun dalam batasan yang tidak mengguncang tatanan ekonomi-politik yang ada. Alih-alih membangun kesadaran kelas, identitas dipakai untuk membangun loyalitas emosional.

Rakyat tidak didorong untuk bertanya,

“Kenapa saya miskin?”

melainkan diajak merasa bangga, “Meski miskin, saya tetap Sunda, saya tetap mulia.”

Yang lebih ironis adalah bagaimana budaya lokal, yang seharusnya menjadi benteng komunitas terhadap kolonialisasi kapital, justru dijadikan alat untuk menarik investasi. Dalam retorika pembangunan daerah, identitas budaya dijual kepada wisatawan, dikemas dalam paket budaya untuk konferensi, festival, dan proyek city branding. Rakyat menjadi penjaga museum hidup: merayakan tradisi yang telah dikomodifikasi, sambil terus menghadapi realitas eksklusi ekonomi yang semakin keras.

Dalam pembacaan Adorno, ini adalah puncak industri budaya: resistensi diubah menjadi bentuk estetis, diproduksi secara massal, dan dikonsumsi sebagai hiburan tanpa potensi subversif. Dalam istilah Marxian, ini adalah proses reproduksi struktur sosial melalui naturalisasi hubungan produksi: rakyat diajak merasa “di rumah” dalam sistem yang sebenarnya menindas mereka.

Mungkin ada sebagian yang berargumen bahwa menghidupkan budaya lokal tetaplah langkah penting, bahwa identitas adalah basis penting untuk membangun resistensi. Ini tidak salah. Identitas, jika dikaitkan dengan proyek kesadaran kritis dan perubahan material, memang dapat menjadi kekuatan besar. Tapi kuncinya adalah: apakah politik identitas itu membuka ruang untuk pertanyaan-pertanyaan kritis tentang kapitalisme, ketimpangan, dan struktur produksi? Atau justru menutupnya dengan lapisan tebal romantisme budaya?

Dalam kasus KDM, ada banyak indikasi bahwa politik identitas Sunda berfungsi lebih sebagai stabilisator sosial daripada sebagai alat emansipasi. Identitas dipertahankan, dirayakan, tetapi dalam bentuk yang telah terpisah dari perjuangan kelas. Ia menjadi estetika yang menyenangkan, bukan senjata yang membebaskan.

Dengan demikian, pembacaan kritis atas politik identitas dalam konteks ini mengajarkan satu hal penting: bahwa perlawanan sejati tidak bisa berhenti pada afirmasi identitas. Ia harus melanjutkan langkahnya ke medan yang lebih berat: medan perjuangan untuk mengubah struktur material yang terus menciptakan ketidakadilan. Tanpa itu, identitas, seindah apapun, hanya akan menjadi ornamen lain dalam taman kapitalisme global yang terus memperluas kekuasaannya.

Related Post

No comments

Leave a Comment