Satu waktu di sekretariat organisasi kampus, dengan memasang wajah serius, sambil menyeruput kopi hitam serta mengepulkan asap rokoknya sembari bersungut-sungut, abang-abangan yang sudah mengenyam pahit-manis dunia kampus selama 12 semester, bertanya di hadapan para maba begini,
“Ceuk maneh, definisi mahasiswa teh naon?”
Maba dihadapannya pun saling menatap satu sama lain dengan ekspresi bingung. Beberapa diantara mereka seolah ingin menjawab, namun tampak ragu-ragu dan hanya mengeluarkan suara tercekat dari tenggorokannya.
“Terus fungsi mahasiswa teh, naon?” ucap abang-abangan tersebut menambahkan.
Pertanyaan sebelumnya pun belum terjawab, abang-abangan tersebut langsung menambahkan pertanyaan baru. Alhasil maba dihadapannya semakin pucat, dan mereka mencoba menutupi ketegangannya dengan cara nyengir kuda.
Memecah kebekuan, dengan gestur bak filsuf, abang-abangan tersebut akhirnya menjawab pertanyaannya sendiri.
“Jadi, maha teh artina tinggi, siswa teh artina murid. Nah, mahasiswa teh murid paling tinggi, kitu wae ge teu nyaho!”
Para maba pun terkesima dengan jawaban abang-abangan tersebut. Para maba keluar sekretariat dengan sumringah membawa perasaan bangga menyandang status mahasiswa. “Kami murid yang paling tinggi derajatnya!” begitu pikirnya.
Hari-hari setelahnya, diskusi dengan abang-abangan kampus pun terus berlanjut, dari mulai ngomongin gerakan mahasiswa di era orde baru. Berbagi quotes-quotes Soe Hok Gie, sampai membedah filsafat eksistensialisme dengan pertanyaan pembuka semacam: “Keur naon maneh hirup di dunia?”.
Makin hari, maba yang sering terlibat diskusi bersama abang-abangan kampus pun semakin yakin kalau dirinya berada di jajaran orang-orang keren, mereka menjadikan abang-abangannya ini sebagai role model, dan mereka ingin menjadi seperti abang-abangannya tersebut.
Setelah para maba yang sering berkumpul di sekretariat ini menempuh serangkaian diklat kaderisasi dan doktrin dari abang-abangannya telah tertanam, tibalah saatnya mereka menjadi pengurus ormawa, melanjutkan estafet perjuangan dari senior mereka sebelumnya. Di titik inilah, para maba tersebut semakin menggebu-gebu.
Karena baru saja mendengar kata “apatis”, para maba yang telah menjadi pengurus ormawa ini, secara membabi-buta melabeli mahasiswa lain yang tidak mau terlibat kegiatan organisasi dengan sebutan apatis. Sebagai pengurus ormawa, mereka merasa derajat mereka lebih tinggi dibanding mahasiswa yang cuma kuliah-pulang, kuliah-pulang.
Di kelas, agar terlihat lebih intelek, para pengurus ormawa ini menambahkan kata-kata yang menurut mereka keren, seperti substansi, paradigma, aksiologi dan sebagainya. Padahal cara mereka menempatkan kata-kata tersebut, bikin susunan kalimatnya jadi rumit dan sulit dimengerti. Mereka juga sebenarnya tidak yakin artinya apa.
Supaya plot-twist, walaupun tulisan ini terbaca sedang mengkritisi pegiat ormawa, dan dituturkan melalui sudut pandang orang ketiga. Sebenarnya saya sedang menceritakan diri saya sendiri. Ya, saya lah si maba yang menjajaki diskusi-diskusi dengan para abang-abangan kampus ini. Tentunya, saya juga yang merasa keren ketika menjadi pengurus ormawa dan menganggap remeh rekan-rekan saya yang tidak berkecimpung di ormawa. Tapi gak sampai berada di posisi abang-abangannya, sih.
Setelah sekian lama, saya menemukan bahwa pola abang-abangan dan maba yang telah terdoktrin ini mirip dengan suatu teori. Fenomena yang saya, rekan saya, juga abang-abangan kampus alami ini bisa jadi merupakan Dunning-Kruger Effect. Mungkin.
Dunning-Kruger Effect terjadi ketika seseorang yang baru belajar sedikit, tapi seolah sudah memahami semuanya. Pada umumnya, orang yang terkena sindrom ini, cenderung bias dalam menilai kemampuannya sendiri. Ia akan memandang kemampuannya secara berlebihan dan menilai remeh kemampuan orang lain.
Dalam kasus segerombolan maba yang saya ceritakan di atas. Biasanya, ketika para maba mendapatkan kata baru yang tidak familiar di telinga mereka, namun tampak intelek ketika dipakai. Nantinya bakal dipakai terus-menerus dalam beberapa hari ke depan di hadapan rekan-rekan kelasnya. Hanya untuk membuktikan bahwa mereka lebih unggul dari mahasiswa yang lain.
Sedangkan, jika ditelisik lewat sudut pandang abang-abangannya. Biasanya, pertanyaan beserta jawaban yang ia kemukakan di hadapan maba, sebenarnya merupakan pertanyaan dan jawaban template yang diwariskan turun-temurun dari abang-abangannya terdahulu. Kemudian, ia hanya mengulanginya setiap bertemu maba.
Lewat dua sudut pandang di atas, baik maba maupun abang-abangannya, kita dapat melihat bagaimana Dunning-Kruger Effect bekerja. Keduanya baru mendapatkan informasi secuil, namun dengan penuh percaya diri merasa sebagai “yang paling”.
Selain itu, terkadang maba atau abang-abangan yang terjebak sindrom ini, gak pernah double-check atau menelusuri lebih lanjut informasi yang mereka dapatkan. Tapi sudah melempar argumen sana-sini untuk mendebat atau sekedar menggurui mahasiswa lain. Tanpa disadari, mereka sebenarnya gak mencoba menguraikan argumen secara runut, dan argumen mereka juga gak berlandaskan apa-apa. Ada sih landasannya, yaitu: “Baheula ceuk abang ge kitu”.
Yang paling menyebalkan dari orang yang terkena Dunning-Kruger Effect adalah keengganan mereka, untuk melihat sesuatu menggunakan beberapa perspektif. Mereka akan sangat bebal dalam mempertahankan asumsinya. Hal ini, semata-mata karena mereka sudah merasa memahami semuanya.
Ada hal menarik lainnya dalam relasi antara abang-abangan dan maba ini, di samping hubungannya dengan Dunning-Kruger Effect, yaitu terkait pertanyaan abang-abangan seputar tingkat literasi maba binaannya. Biasanya mereka akan bertanya: “Geus maca buku iyeu can?”.
Jika si maba belum membaca buku-buku yang menjadi standar abang-abangan dalam menilai tingkat literasinya, biasanya sih mereka mencemooh si maba dan mempertanyakan titel mahasiswanya. Nah, buku-buku yang jadi standar ini biasanya: Madilog, Dunia Shopie, dan The Art of War-nya Sun-Tzu.
Sebanyak apapun si maba membaca, namun jika belum membaca buku yang menjadi standar abang-abangan. Si maba bakal dicap rendah tingkat literasinya. Padahal, kalau si maba menanyakan perihal isi bukunya, lebih seringnya mereka gelagapan dan menjawab sekenanya. Karena biasanya, sekali lagi, mereka juga cuma tau dari abang-abangannya terdahulu.
Fyuh, jika diingat lagi, masa-masa tersebut sebenarnya terasa menggelikan. Terjebak dalam Dunning-Kruger Effect, membuat saya malu di kemudian hari. Tapi tenang, saya gak bermaksud menggeneralisir atau menghakimi kalau abang-abangan kampus atau anak-anak ormawa semuanya pada kaya gitu. Lagipula saya sudah lulus cukup lama, siapa tau kan, sekarang siklusnya sudah berbeda. Tapi pas ngeliat Bayem Sore muncul ke permukaan, saya masih tetap cekikikan, sih. Hehe.