Dulu Kartun, Sekarang Meme: Evolusi Kritik Politik

Di tangan netizen yang kreatif, meme-meme adalah senjata kritik yang ampuh.

Sebelum ada media sosial untuk menyuarakan keresahan, ada seorang seniman yang menggunakan kertas dan tinta untuk menyerang politisi korup, Thomas Nast namanya. Nast adalah seorang kartunis politik asal Amerika yang berhasil mengungkap sisi kelam William “Boss” Tweed, pimpinan Tammany Hall, sebuah organisasi politik di New York yang dikenal korup.

Salah satu karya Nast: “That’s What’s The Matter.”

Tweed yang terus menerus ditekan Nast melalui karya-karyanya akhirnya tak kuasa melawan kartun-kartun tersebut. Dalam sebuah tesis yang berjudul Getting Nasty: Thomas Nast and the simianization of the Irish in late nineteenth-century America, karya Woolthuis (2015, h. 3), Tweed pernah berkata, “I don’t care so much what the papers write about me – my constituents can’t read. But, damn it, they can see pictures!” Ketakutan Tweed tersebut memanglah masuk akal, karena orang yang tidak bisa baca tulis pun tetap bisa “membaca” gambar.

Pada masa itu, kartun dianggap sebagai alat yang ampuh untuk menyampaikan pesan kepada massa yang buta huruf. Saking takutnya, Tweed juga pernah mencoba membungkam Nast. Ia mengirim utusan yang menyamar sebagai “donatur dari Eropa” dengan tawaran yang, kalau di zaman sekarang, bisa membuat siapapun tergiur, $100.000 (sekitar $1,8 juta di zaman sekarang). “Silahkan belajar seni di Eropa,” katanya, tapi maksud sebenarnya, “Pergilah jauh-jauh dan berhenti mengganggu saya!” Namun Nast yang berwatak jahil, berpura-pura tertarik. Ia bahkan berhasil menggiring tawarannya naik menjadi $500.000 sebelum akhirnya menolaknya mentah-mentah.

Di ujung pemilu 1871, Tweed dan sekutunya menghadapi berbagai dakwaan atas penipuan, pemalsuan, dan lain-lain. Banyak dari mereka, termasuk Tweed sendiri, berhasil dijebloskan ke penjara. Namun, pada 1875, Tweed berhasil melarikan diri ke Spanyol. Konyolnya, pelariannya berakhir ketika seorang petugas mengenalinya dari kartun karya Nast.

Inilah contoh dari rebellious humour, menurut Michael Billig dalam bukunya Laughter and Ridicule; towards a social critique of humour, alih-alih mengambil langkah frontal, Nast menggunakan simbol-simbol visual yang jenaka namun berbobot untuk menentang pihak otoritas. Pada akhirnya, kritik-kritik visual inilah yang ikut mendorong penangkapan dan jatuhnya Boss Tweed dari kekuasaan.

Thomas Nast-nya Indonesia

Kalau Thomas Nast adalah maestro kartun politik di Amerika abad ke-19, Indonesia juga punya sosok yang tak kalah ikonik, Johnny Hidayat namanya. Nama ini mungkin tidak sepopuler selebritas masa kini, tapi bagi pecinta seni, Johnny adalah seorang legenda. Di era 1960-an hingga 1980-an, ia menggunakan pensilnya sebagai senjata untuk mengungkap masalah sosial dan kebobrokan politik tanah air.

Di dalam karya-karyanya yang jenaka, ia menyindir korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, hingga ketimpangan sosial. Lewat kartunnya, Johnny membuktikan bahwa sebuah gambar di sudut koran bisa menyuarakan keresahan besar rakyat Indonesia. Karya-karya ini lah yang dikurasi ulang oleh IHIK3 (Institut Humor Indonesia Kini) dalam seri buku Obat Stress 1 dan 2, yang dengan apik mengabadikan kritik sosial ala Johnny Hidayat.

Obat Stress 1, h . 101.

Salah satunya adalah kartun di atas, menunjukkan humor yang dibalut satir. Karya ini memperlihatkan betapa curiganya masyarakat terhadap pejabat, bahkan ketika mereka hanya mengalami insiden biasa, korupsi tetap menjadi asumsi pertama.

Obat Stress 1, h. 102.

Lain lagi dengan kartun yang menampilkan percakapan dua pria yang saling beradu kekuasaan. Sindiran yang berupa kartun ini tidak hanya mempertanyakan ego manusia yang mengklaim kekuasaan absolut, tapi juga mengingatkan betapa mudahnya kekuasaan membuat seseorang lupa pada tanggung jawab spiritualnya.

Obat Stress 2, h. 126.

Dalam sebuah kartun lainnya, Johnny menggambarkan percakapan antara sopir taksi dan penumpangnya. Sindiran kartun di atas begitu efektif karena menggambarkan korupsi sebagai “prestasi” yang seakan memiliki level atau kasta, sebuah kritik tentang bagaimana masyarakat telah terbiasa dengan korupsi yang merajalela.

Obat Stress 2, h. 100.

Lalu karya terakhir menampilkan seorang polisi menegur seseorang tentang harta hasil korupsi yang haram, hanya untuk mendapat jawaban, “Saya tahu Pak… tapi saya ahli menghalalkan harta-harta yang haram”. Dialog ini menggambarkan betapa mudahnya moralitas dibuang ketika ada peluang untuk meraih keuntungan pribadi.

Seperti Thomas Nast, Johnny turut menunjukkan bahwa sebuah gambar kecil juga bisa memiliki dampak besar: menyuarakan kritik kepada kekuasaan tanpa perlu berteriak. Itulah Johnny Hidayat, melawan dengan bakatnya yang hebat, menggunakan garis dan tinta, ia buktikan bahwa kritik tak butuh suara yang menggema.

Evolusi Kritik Politik yang Tetap Menggelitik

Kalau dulu Thomas Nast dan Johnny Hidayat mengkritik dengan tinta dan kertas, sekarang giliran netizen yang memanfaatkan kanvas digital untuk menyuarakan kritik mereka. Memasuki era digital, kritik visual yang dulunya berupa kartun, sekarang berevolusi menjadi meme.

Menurut Wiggins dan Bowers (2014, h. 18) dalam jurnal New Media & Society, meme adalah pesan-pesan kreatif yang ditempelkan di gambar yang sama, diolah ulang dan terus berkembang, akhirnya menyebar di kalangan pengguna medsos.

Kalau kartun butuh ruang di koran atau buku, penyebaran meme hanya butuh kuota internet dan keberanian mengklik “unggah.” Di tangan netizen yang kreatif, meme-meme ini bisa dijadikan senjata kritik yang ampuh.

Contohnya, pada tahun 2017-2018, nama Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI, ramai diperbincangkan karena kasus korupsi e-KTP yang melibatkan triliunan rupiah. Tapi yang membuat kasus ini semakin nyeleneh adalah aksi Setnov saat mencoba menghindari pemeriksaan hukum. Salah satu momen yang paling diingat adalah foto dirinya terbaring di ranjang rumah sakit, terlihat “lemah dan tak berdaya.”

Publik tentu tidak tinggal diam. Dalam hitungan jam, foto itu jadi bahan baku meme-meme satir di media sosial. Netizen, yang terkenal kreatif sekaligus julid, menyulap foto tersebut menjadi gambar humoris yang penuh makna.

Akun X @PartaiBatman

Ada meme yang menampilkan wanita di sampingnya berkata, “Mas, aktingmu bagus juga,” lalu Setnov menjawab dengan tegang, “Diam kamu, nanti ketahuan…” Sindiran ini jelas merujuk pada foto dramatis Setnov yang dianggap publik sebagai akting untuk menghindari jeratan hukum.

Akun X @si_wel

Meme lain juga tak kalah lucu. Wajah Setnov diedit memakai helm pilot jet tempur dengan caption “PILOT SUKHOI.” Meme ini jelas melebih-lebihkan alat bantu pernapasan yang dikenakan Setnov, mengubahnya menjadi sesuatu yang terlihat lebih dramatis, mereferensikan tragedi kecelakaan Sukhoi di Gunung Salak pada 2012 silam.

Tapi meme-meme ini bukan sekadar lucu-lucuan belaka. Sama seperti kartun sebelumnya, meme tersebut juga menjadi bentuk rebellious humour: kritik yang dibungkus humor untuk mengolok-olok kekuasaan yang dianggap melenceng.

Efeknya? Meme-meme ini memperbesar sorotan terhadap kasus Setnov. Meme tidak hanya menghibur, tetapi juga memperkuat tekanan publik untuk penegakan hukum yang adil. Seolah-olah netizen berkata, “Kalau hukum lambat bergerak, biar kami yang jadi hakimnya!”

Bisa dibilang, meme adalah generasi terbaru kartun politik, sama cerdasnya, tapi lebih santai dan sering kali lebih jahil. Beda generasi, beda gaya, tapi tujuan meme dan kartun politik tetap sama, yaitu menyuarakan keresahan dengan cara yang menggelitik. Jadi, kalau kalian tim kartun atau tim meme?

Ryo Zen Favian Inzaghi adalah mahasiswa sastra yang kadang-kadang suka menulis. Suka humor tapi kurang humoris. Sering berharap karyanya viral, tapi nggak mau ngaku kalau ngecek likes tiap lima menit. Ryo juga adalah penulis dari Universitas Brawijaya & pemagang di Institut Humor Indonesia Kini / ihik3.com, lembaga kajian yang serius mengelola humor secara profesional. Instagram: @zenfavian

Related Post

No comments

Leave a Comment