Ketika perusahaan bersikap sewenang-wenang, negara harus hadir! Negara sewenang-wenang, Pemprov bantu! Kalau udah gak bisa bantu, semua masyarakat bersatu!
Driver Ojol dalam Pusaran Kapitalisme Platform

Sabtu atau Minggu pagi, warga Karawang biasanya senang menyempatkan diri melangkahkan kaki dan memanjakan mata dengan pemandangan di spot-spot kalcer seperti sekitar Alun-Alun Kota Karawang.
Dulu sih berjajar tukang becak di sekitar Alun-Alun, tapi sekarang becaknya sudah gak ada dan yang nyisa abang-abang ojol za. Ngomong-ngomong ojol, kadang pernah kepikiran gak? Ojol-ojol tuh pada libur gak, sih?
Dengan sepasang mata siaga, mereka memantau ponselnya—perihal sudah ada orderan belum, jarak tempuhnya berapa, ongkosnya berapa, dan sebagainya.
“Urang caw heula, nyak. Nggeus dapet orderan nepi ka Tuparev,” ujar seorang driver sembari mengengkol motor dan melaju terburu-buru, seperti Cinta yang mengejar Rangga di film AADC.
Jemput penumpang, antar, dapat deh duit. Menjadi driver ojol mudah sekali kelihatannya. Ada orderan? Gas! Sampai bensin habis, lalu isi bensin, ulang dari awal. Begitu saja terus.
Meskipun kalau dilakukan setiap hari, tentu saja persoalannya jauh jadi lebih kompleks.
Selalu ada saja kekonyolan tak terduga: ban kempes, dapat pelanggan yang suka komplain, dapat orderan fiktif, melewati makam, dan—yang paling menyakitkan—pemotongan tarif oleh perusahaan penyedia jasa transportasi online.
Nah, sekarang jadi terang benderang deh tuh kenapa para driver seperti dari wilayah Karawang, dan Purwakarta sempat melakukan aksi demo beberapa hari yang lalu. Penyebabnya perusahaan diduga gagal menjamin agar para “mitra” memperoleh tarif yang layak.
Demonstrasi tersebut secara spesifik memprotes pelanggaran atas Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) KP No. 1001 Tahun 2022 yang menyatakan bahwa potongan maksimal dari aplikasi adalah 20%. Namun dalam praktiknya, para driver mengaku menerima potongan yang jauh lebih tinggi—hingga 30% bahkan lebih. Ini jelas bukan hal remeh.
Data dari Balitbang pada tahun 2022 menguatkan hal ini. Rata-rata pendapatan dengan pengeluaran ojol cenderung hampir sama, alias tidak begitu mencukupi kebutuhan.
50,1% responden mengakui bahwa pendapatan harian driver ojol adalah Rp50.000–Rp100.000, lalu 44,1% tidak mengelak bahwa biaya operasionalnya bisa mencapai Rp50.000–Rp100.000.
Jadi secara garis besar, sebetulnya menjadi driver ojol mirip gali lubang tutup lubang. Jelas saja berbahaya.
Dana yang masuk mereka gunakan hanya untuk sekadar bertahan hidup. Pada gilirannya, hal ini berdampak pada sektor UMKM yang sebenarnya bisa ikut mendapat rezeki dari abang ojol.
Ambil contoh saja Warmindo Babajon atau warkop-warkop lain. Sepulang bekerja, kalau Abang Ojol memegang uang lebih dari seratus ribu rupiah, ia bisa menyisihkannya terlebih dahulu untuk makan, minum, dan token listrik, sementara sisanya bisa dipakai nongkrong di warkop sambil makan Indomie rebus.
Uangnya masuk ke kasir, tercatat dalam pembukuan, profit pengusaha kecil naik, permintaan meningkat, produksi ikut terpompa, tenaga kerja bisa dipertahankan atau terserap, dan perputaran uang yang sehat bisa terus mengalir—selancar laju roda dua abang ojol.
Iya, tapi masalahnya adalah aturan hukum Kepmenhub tadi sifatnya administratif, berasal dari lembaga eksekutif untuk mengeksekusi kebijakan, tanpa adanya pengaturan sanksi yang tegas dan jelas kalau perusahaan gagal memberi kesejahteraan kepada pekerja informalnya.
Beda dengan produk hukum bernama undang-undang yang kalau dilanggar barang tentu punya daya paksa melalui pemberian sanksi pidana penjara, kurungan, atau denda.
Patut diduga, perusahaan penyedia jasa ojek online ini memberi potongan yang gila kepada para “mitra”-nya karena merasa tidak punya keharusan untuk berbuat sebaliknya. Lagi pula, tidak ada ancaman penderitaan berupa sanksi pidana. Jadi, anteng weh menggerus profit yang tinggi sambil ongkang-ongkang kaki di kantor pusat yang ber-AC seperti Tuan Krab.
Oke, berarti masalahnya struktural dan berskala nasional. Para driver ojol sebagai pekerja informal belum memiliki payung hukum kuat dalam bentuk undang-undang. Kita mesti mendorong parlemen untuk mewujudkan hal tersebut.
Lalu muncul pertanyaan: kalau begitu, unsur lokal—dalam hal ini Pemprov Jabar—gak bisa ambil bagian, dong? Gak juga. Justru mereka bisa ikut ambil bagian aktif di sini.
Peran Pemrov Jabar: Jubir Aspirasi Driver
Menurut data BPS tahun 2024, provinsi terpadat di Indonesia adalah Jawa Barat, dengan jumlah populasi 50.345.200 jiwa. Modal ini menjadikan Jawa Barat memiliki dua hal: kebutuhan tinggi dari masyarakat dan suplai tinggi dari driver ojek online atas jasa tersebut, meskipun angka pasti total driver nya belum ada, tapi dari indikator populasi itu harusnya sudah cukup. Melihat ini, Pemprov Jabar mesti ambil bagian.
Dalam sistem pemerintahan Indonesia, provinsi—termasuk Pemprov Jabar—merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat sekaligus pelaksana otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah provinsi memiliki kewenangan untuk:
– Melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah;
– Melaksanakan fungsi koordinasi antar kabupaten/kota;
– Memberikan masukan kebijakan kepada pemerintah pusat.
Dalam konteks persoalan driver ojol, Pemprov Jabar dapat bertindak sebagai jembatan komunikasi antara para pekerja informal—termasuk driver ojol—dan pemerintah pusat.
Pemprov Jabar punya kewenangan buat mengumpulkan aspirasi, menyelenggarakan forum dengar pendapat, dan menyusun rekomendasi kebijakan berdasarkan kondisi lapangan, termasuk yang berisi anjuran kepada pemerintah pusat untuk memformulasikan payung hukum yang memberi sanksi menjerakan kepada perusahaan yang lalai atau sengaja tidak memberikan hak pekerja.
Driver Ojol Bukan cuma Tukang Antar
Para driver ojol bukan sekadar tukang antar, selayaknya kawan-kawan pekerja, mereka adalah denyut nadi ekonomi lokal—menghidupkan sektor informal, menopang UMKM, dan menjadi tumpuan keluarga. Ketika perusahaan bersikap sewenang-wenang, negara harus hadir! Negara sewenang-wenang, Pemprov bantu! Kalau udah gak bisa bantu, semua masyarakat bersatu! Mau ke mana kamu tanpa ojol sehari aja?
Leave a Comment