Pertengahan Desember ini Prawira akan menginjak usia 28. Usia yang cukup matang bagi seorang pria untuk berumah tangga. Namun, entah mengapa hingga saat ini ia belum juga memikirkan soal pasangan. Padahal jika dilihat secara ekonomi, ia cukup mapan sebab telah bekerja sebagai akuntan publik di kota Malang.
Perkara wajah juga tidak ada masalah. Biarpun tidak terlalu gagah seperti Raden Werkudara, namun wajah dan kulitnya bersih seperti umumnya orang kantoran. Tindak-tanduknya juga baik, ramah dan rendah hati kepada orang lain. Namun entah mengapa, sampai saat ini masih belum kepikiran untuk berumah tangga.
Pagi itu Prawira sedang sibuk dengan laptop di kantornya, ketika terdengar lagu campursari dari ruangannya Sekar, supervisornya. Ndilalah yang sedang diputar adalah lagu Sakit Rindu karangan almarhum Manthous yang di-cover Yeni Inka.
“Luwih becik lara untu, daripada sirahe ngelu, sakit cinta sakit rindu…“
“Maaf Mbak, mbok muter lagu lainnya aja. Yang ceria dan penuh semangat gitu, lho… Hujan-hujan gini kok malah muter lagu sedih!” protes Prawira kepada supervisornya.
“Lha, emang kenapa, Wir? Biarpun lagu sedih gini, kalau dijogedi kan asyik juga. Wah, jangan-jangan kamu lagi kasmaran ya?” kata Sekar setengah bercanda.
Prawira dan Sekar memang cukup akrab, tidak terpaku pada jabatan dalam pekerjaan. Umur mereka juga tidak terpaut jauh. Sekar hanya 6 bulan lebih muda dari Prawira. Namun ia sudah berumah tangga dan memiliki seorang putra. Maka Prawira memanggilnya dengan sebutan Mbak.
“Nggak begitu, Mbak. Mau kasmaran pegimane? Orang gebetan aja ya belum punya kok. Ini lho, gigi ini yang lagi sakit. Ditambah dengerin lagu tadi jadi tambah cenat-cenut.”
“Oalah, Wira… Prawira. Sakit gigi kok ya dipiara. Mbok ya minum obat sana! Itu di kotak obat masih ada stok antibiotik sama painkiller,” Sekar menahan tawanya, namun tetap memberi saran.
“Sudah ndak mempan, Mbak. Sejak kemarin saya sudah minum obat, tapi ya masih sakit aja. Sebab yang sakit ini geraham bungsu, jadi kayaknya mesti dicabut deh.”
“Nah, sudah tahu gitu. Kenapa gak segera pergi ke klinik gigi? Kebetulan di Soekarno-Hatta ada klinik gigi baru. Namanya klinik Waja Husada, di sebelah selatan Taman Kridha Budaya Jawa Timur. Kali aja ada diskonan.”
“Wah, beneran Mbak?”
“Beneran lah! Masak aku nge-prank? Tiga hari yang lalu Ibuku periksa gigi di sana. Katanya sih pelayanannya oke, dan cukup murah. Nih nomernya, buruan booking, nanti sore kamu ke sana,” ucap Sekar, sambil menyodorkan brosur klinik gigi yang dimaksud.
“Oke, Mbak. Thank you ya,” ucap Prawira, kemudian membuka WA, mengirim pesan kepada admin klinik gigi.
***
Jam 5 sore Prawira telah duduk di lobby klinik Waja Husada di jalan Soekarno-Hatta. Sambil menunggu antrian, ia mengeluarkan novel The Count of Monte Cristo karya Alexandre Dumas. Ia memang gemar membaca sejak masih di Sekolah Dasar. Ketika pergi ke mana pun, ia tak pernah lupa membawa buku bacaan.
Karena hobinya tersebut, tak heran jika wawasan Prawira cukup luas. Ia jadi gampang nyambung dalam pembicaraan tentang apa saja, dengan siapa saja. Hanya satu hal yang ia sulit nyambung, ketika diajak berbicara tentang asmara dan rumah tangga.
15 menit kemudian terdengar panggilan dari seorang suster.
“Pak Prawira… Pak Prawira Galih Kusuma! Silahkan masuk ke ruangan.”
“Nggih, saya,” jawab Prawira sambil bangkit, berjalan menuju ruang praktik.
“Mangga pinarak rumiyin, Mas Wira. Anggap saja dengan teman sendiri,” ucap si dokter gigi dengan ramah.
Mak dheg… jantung Prawira seakan-akan berhenti berdetak. Mulutnya melongo, matanya berkedip-kedip seolah tak percaya. Air mukanya mendadak bersemu merah. Ia terpana melihat orang yang sedang duduk di hadapannya sambil tersenyum simpul.
Wanita di hadapannya itu belum pernah hilang dari benak Prawira sejak SMA. Perawakannya yang semampai, kulitnya yang kuning langsat, juga gingsulnya yang menambah manis ketika tersenyum. Seumpama disandingkan dengan Chelsea Olivia pasti akan disangka kembar, ibarat Jambe Sinigar.
Yang berbeda hanya pakaiannya. Saat ini wanita tersebut mengenakan jubah putih khas dokter. Di dadanya tertulis nama: drg. Gayatri Saraswati.
“Sudah selesai kagetnya, Mas? Jadi periksa gigi apa tidak ini? Atau, jangan-jangan sakit giginya mendadak sembuh karena ketemu saya?” goda sang dokter.
“Eh, ehm, anu… ini lho Bu dokter, aku… eh, saya punya masalah dengan geraham bungsu saya,” jawab Prawira geragapan.
“Coba duduk di dental chair itu, biar saya cek dulu,” lanjut drg. Gayatri,
“Dan ndak usah sungkan-sungkan! Kayak sama orang lain saja. Coba sekarang buka mulut yang lebar.”
Dada Prawira semakin bergemuruh. Apalagi ketika ia melihat jam tangan yang dikenakan Gayatri. Ia tidak akan pangling dengan jam tangan yang dibelinya 9 tahun lampau, merek ebony watch, yang diberikannya kepada Gayatri sebagai kado ulang tahun. Meskipun bukan termasuk merek mahal, toh masih dipakai oleh Gayatri hingga saat ini.
“Ehhm, iya. Haa…” Prawira menurut. Mulutnya terbuka lebar-lebar. Namun ia masih belum bisa menyembunyikan nervous-nya.
“Waduh, Mas! Geraham bungsunya ini sudah parah, harus segera dicabut!” Gayatri menyampaikan, sambil tangannya menjangkau nierbeken.
“Suster, tolong siapkan suction!” perintahnya kepada Mbak suster. Sedangkan tangannya trengginas membersihkan gigi Prawira sonde dan eskavator secara bergantian. Lalu Gayatri menambahkan, “Sekarang giginya saya bersihkan dulu. Setelah ini akan saya beri obat untuk menghilangkan rasa sakit dan infeksinya. Seminggu lagi sampeyan kembali ke sini, insya Allah sudah bisa dicabut dengan operasi kecil.”
“Iya, Tri. Saya manut, wong kamu dokternya,” jawab Prawira pasrah.
***
“Bagaimana dengan gigimu Wir? Sudah sembuh?” tanya Sekar sambil berdiri di depan meja kerja Prawira
“Sudah mendingan Mbak. Tapi belum sembuh 100 persen. Masih akan dicabut Minggu depan. Seminggu ini harus rutin mengkonsumsi obat.”
“Dokternya gimana? Cantik banget kan? Lemah-lembut macam Drupadi gak sih? Kamu pasti kepincut, ya kan?” Sekar terus saja nyerocos menggoda Prawira.
Jika mengikuti standar umum kekinian, mungkin candaan Sekar sudah termasuk melanggar etika, sebab mengulik privasi rekan kerja. Namun bagi Prawira dianggap wajar saja, sebab hubungan mereka memang sangat akrab.
“Sampeyan itu, lho Mbak. Orang habis dari klinik kok yang ditanyain soal dokternya,” jawab Prawira, mencoba menghindari jebakan Sekar.
“Eh, apa salahnya coba? Ente kan masih bujang, terus dokternya kata Ibuku juga masih gadis. Ya siapa tahu…”
“Sudah Mbak, sudah… ndak usah diterusin! Sekarang waktunya kerja,” kata Prawira memotong pembicaraan agar tidak semakin panjang.
Prawira mengambil laptopnya, hendak menyelesaikan laporan keuangan client yang masuk deadline. Fisiknya tampak bekerja, namun hati dan pikirannya mengembara ke mana-mana.
Ia teringat ketika satu sekolah di SMA, pernah memendam asmara kepada Gayatri. Begitu juga dengan Gayatri, tampak menyimpan rasa yang sama, yang terlihat dari tingkah polanya. Namun Prawira tak pernah berani mengungkapkan kepada sang gadis karena ia sadar diri.
Di alam pikiran Prawira, perkara bibit, bobot, dan bebet dalam asmara tidak bisa dipungkiri. Ia hanya anak dari seorang bakul es teh dengan penghidupan yang pas-pasan. Sedangkan si pujaan hati adalah putri seorang Gus pemilik pondok pesantren di Magelang, dengan kehidupan selayaknya princess kerajaan.
Si putri mungkin saja akan menerima Prawira apa adanya, namun ia tak bisa membayangkan dirinya nanti menjadi bahan olok-olokan keluarga Gayatri. Baginya, mengharapkan bisa bersanding dengan Gayatri seperti mimpi di siang bolong saja. Ibarat, “Si cebol nggayuh lintang.“
Maka Prawira memendam tekad untuk mengejawantahkan kredo platonic, “Cinta sejati adalah cinta yang tidak jadi,” sejak dahulu hingga saat ini. Perasaannya terhadap Gayatri cukup dipendamnya dalam hati.
Prawira membulatkan tekad,
“Luwih becik ora lara untu, apa maneh lara rindu. Lebih baik tidak sakit gigi, apalagi sakit rindu,” batinnya, “Minggu depan akan kucari klinik gigi lainnya!”