Dreams Creative Space: Wadah Talenta Muda Film Indie Purwakarta

Minpang

Dreams Creative Space memantik geliat perfilman di Purwakarta.

Profile Singkat

Berbicara mengenai Dreams Creative Space berarti tidak terlepas dari peran Alfa Yoga Eka Safitrah. Dia adalah sineas asal Purwakarta yang sudah berkecimpung di dunia perfilman sejak 2016. Berawal dari hobi bikin video di YouTube saat SMP, ia kemudian mendalami perfilman di SMK dan sempat bekerja di production house nasional.

Alfa tetap konsisten berkarya sampai akhirnya mendirikan Dreams Creative Space pada 2024. Ruang kreatif ini hadir untuk mewadahi talenta muda di Purwakarta agar bisa berkembang di industri film indie, sekaligus membuka peluang kolaborasi dengan berbagai komunitas dan brand lokal.

Mari baca wawancara Nyimpang dengan Alfa untuk menyelami cerita Dreams Creative Space di bawah ini:

Sebagai founder Dreams Creative Space, bisa sedikit cerita tentang gimana latar belakang lo?

Kalau disuruh cerita bingung juga, ya. Nama gue Alfa Yoga Eka Safitrah, asal dari Purwakarta. Keseharian gue berkecimpung di industri kreatif. Sejak 2016, gue udah aktif di dunia perfilman. Sempat kuliah juga, walaupun nggak gue lanjutin. Selain itu, gue sama teman-teman juga bikin film, sampai akhirnya mendirikan Dreams Creative Space.

Minat gue di perfilman udah ada sejak SMP, awalnya bikin video kecil-kecilan di YouTube. Lalu, gue masuk jurusan film di SMK dan sempat magang & kerja di salah satu PH Film Nasional, Jakarta. Setelah itu, sambil kuliah di ISBI Bandung, tapi nggak gue lanjutkan lagi.

Sekarang lo lebih banyak pegang bagian bisnis, produksi, atau semuanya lo handle sendiri?

Di web series yang sekarang, gue jadi line producer, scriptwriter (ini dominan di gue), dan juga video editor. Karena masih merintis, jadi gue masih ngerjain banyak hal sekaligus.

Sebagai line producer, gue bertanggung jawab atas keperluan produksi dari pra, produksi, hingga pasca-produksi. Di bagian scriptwriting, gue memastikan naskahnya runut dan jelas.

Web series yang lagi kita garap ini bercerita tentang dua karakter bernama Baskara dan Chyntia. Baskara, seorang mahasiswa, mengambil side job di art exhibition buat menambah relasi dan mengembangkan kariernya. Sementara itu, Chyntia ingin menghasilkan sesuatu yang berarti. Mereka akhirnya bertemu dan berusaha menyelesaikan masalah mereka bersama, sekaligus mengisi kekosongan masing-masing.

Sejak kapan Dreams Creative Space terbentuk?

Dreams Creative Space terbentuk pada tahun 2024. Masih baru banget, awalnya cuma kumpul iseng-iseng buat bikin film. Lalu, kita kepikiran, di Purwakarta kayaknya belum ada production house yang serius, yang rutin melakukan screening dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak.

Visi kita adalah menciptakan ruang kreatif di Purwakarta, menyerap talenta muda lokal supaya bisa berkembang dan bersinar bareng, khususnya di bidang perfilman.

Dreams Creative Space ini lebih fokus ke genre atau tema tertentu, atau justru lebih fleksibel?

Fleksibel banget. Kita sebagai wadah kreatif di Purwakarta, jadi nggak terikat sama satu tema atau genre tertentu. Mau horror, drama, atau genre lain, selama ada yang ngajak kolaborasi, kita terbuka. Dari sifat fleksibel ini, kita bisa membuka banyak peluang kerja sama dengan berbagai komunitas dan brand di Purwakarta yang mau dapat branding  lewat film.

Pas pertama kali bikin production house ini, tantangan terbesar yang lo hadapi apa?

Tantangan terbesarnya sih lebih ke keberanian buat mulai. Di Purwakarta, screening film itu jarang banget, jadi ada kekhawatiran apakah masyarakat bakal menerima atau nggak.

Selain itu, tantangan lain adalah mencari budget dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak di Purwakarta. Beda sama Bandung, di mana industri film udah berkembang dan punya tempatnya sendiri.

Nah, di dunia film indie kan sering kejar-kejaran sama dana, gimana cara lo menjaga Dreams Creative Space tetap jalan dan berkembang?

Sekarang kita punya kerjaan masing-masing dan sistemnya kolektif. Kita tetap lanjut dengan cara berkolaborasi dengan berbagai pihak. Selain itu, kita punya sub-company bernama Dreams Creative Work, yang hasil kerjanya kita salurkan ke Dreams Creative Space.

Setiap proyek kita juga didukung berbagai brand di Purwakarta, salah satunya Mentai Himura dan Roti El. Selain itu, masih banyak juga kerja sama dengan industri hiburan, pariwisata, dan kuliner di daerah sini.

Salah satu yang kita upayakan adalah memperluas jaringan, menambah portofolio, dan terus mengerjakan proyek baru.

Kalau ada proyek film baru, biasanya proses kreatif di Dreams Creative Space kayak gimana? Dari ide sampai jadi film?

Kita udah punya planning tahunan. Dalam setahun, kita bagi proyek jadi empat kuartal. Kuartal pertama untuk web series, kuartal kedua dan ketiga fokus ke festival, kuartal keempat kalau ada yang lolos festival, dan kita juga punya rencana bikin festival film sendiri.

Ide biasanya muncul dari diskusi bareng tim—mulai dari tema, suasana, plot, karakter, dll. Prosesnya ada empat tahap:

1. Pra-produksi: Nyusun naskah, konsep visual, kostum, make-up, dan teknis lainnya.

2. Produksi: Syuting sesuai skenario.

3. Pascaproduksi: Editing, penyusunan musik, dan efek visual.

4. Distribusi: Promosi, rilis di YouTube, screening, atau dikirim ke festival.

Yang paling berat biasanya produksi, makanya persiapan di pra-produksi harus matang.

Apa yang bikin Dreams Creative Space unik dari production house indie lainnya? Ada ciri khas tertentu nggak?

Satu di antara keunikan kita adalah keterbukaan terhadap ide-ide dari luar. Kalau pengalaman gue di luar, biasanya film lahir dari ide orang-orang internal, seperti teman tongkrongan sendiri. Tapi di sini, siapa pun bisa menyumbang ide dan berkolaborasi lebih lanjut.

Dreams Creative Space lebih sering bikin film buat festival, platform digital, atau gimana?

Saat ini lebih fokus ke platform digital. Tapi di kuartal tiga dan empat, kita berencana masuk ke OTT lokal seperti Genflix. Akhir tahun ini, kita juga mau ikut festival film tingkat nasional. Selain itu, ada rencana bikin festival film sendiri di Purwakarta.

Kami lebih fokus platform digital karena lebih fleksibel, praktis, dan lebih mudah menjangkau penonton dibanding screening fisik yang punya banyak keterbatasan.

Lo lebih suka produksi film yang idealis sesuai visi lo atau yang lebih gampang diterima pasar?

Gue lebih suka yang idealis. Misalnya di film Sandekala, kita bener-bener keluarin konsep idealis. Ceritanya tentang kru film yang syuting di hutan, lalu salah satu kru hilang karena melanggar pantangan tertentu.

Yang bikin menarik, genre-nya found footage, jadi bukan kamera sinematik biasa. Formatnya dibuat kayak rekaman orang biasa, jadi lebih real. Tantangannya, kita nggak pakai dialog sama sekali, semua dibuat spontan dan natural.

Tanggal 22 Maret ini, Dreams Creative Space udah ngadain screening film. Bisa cerita dikit soal film yang sudah diputar?

Judulnya Diambang Pilu. Film ini ingin menyampaikan pesan tentang merayakan perjalanan hidup —entah itu mencintai seseorang, berkarya, atau menemukan passion.

Screening ini juga kita jadikan ajang untuk memperkenalkan UMKM, jadi ada elemen kolaboratifnya.

Lokasi dan konsep screening-nya gimana?

Lokasinya di Pawong Delisa. Konsepnya ada pemutaran film, sesi diskusi, dan Q&A. Kita juga kerja sama dengan media partner dan menyiapkan perizinan.

Apa harapan dari screening ini?

Kita berharap ada apresiasi terhadap film lokal, sekaligus memperluas networking dan mendapatkan feedback. Selain itu, ini juga langkah buat membangun antusiasme perfilman indie di Purwakarta.

Pesan buat pembaca media Nyimpang yang tertarik masuk ke industri film indie?

Jangan takut bikin film indie! Jangan ragu buat nulis cerita dan bangun networking, karena komunitas kita sangat supportive.

Minpang di sini~

Related Post

No comments

Leave a Comment