“Ya Tuhan. Untuk apa bunda menangis di atas pemakaman itu? Memangnya makam siapa itu?” Ucapku heran sembari melihatnya dari tepi pohon yang berjarak dua meter dari makam itu.
“Bunda! Ayah! Bang Alaska! Kak Fela!” Ucapku lagi memanggil mereka, namun tak ada balasan sedikit pun yang diterima oleh pendengaranku. Karena kebisuan itu, serta rasa penasaranku yang semakin menggebu-gebu, aku pun berjalan untuk segera menghampiri mereka ke dekat pemakaman itu.
Pandaya Putra Kusuma
Sebaris nama yang tertera pada batu nisan di atas makam itu. Yang mana telah dicantumkan pula tanggal kepergiannya, yakni hari ini, 09 September 2009. Disekeliling makamnya masih sangat ramai keluarga, sanak saudara, dan juga orang-orang terdekatku. Beberapa orang yang paling dekat dengan makam itu adalah bunda, ayah, bang Alaska dan kak Fela yang sampai ini masih saja menangisi dia yang padahal nyatanya telah dibenamkan ke dalam tanah sedalam ± 1,5 M sejak beberapa menit yang lalu.
Terhenti dari sedikit lamunanku beberapa detik lalu, aku pun tersadar akan sesuatu hal yang tentunya sangat mengejutkanku. Nama itu terlihat tidak asing bagiku.
“Ahhh, sebentar. Tidak mungkin. Ini sangat tidak mungkin. Aku masih disini, disisi bunda, ayah, bang Alaska dan kak Fela. Lelucon macam apa ini? Bagaimana bisa dia memiliki nama yang sama persis denganku?” Batinku tidak menyangka dengan semua ini.
Tubuhku bergetar, duniaku seakan berputar. Kepalaku begitu sakit memikirkan kondisi yang terjadi saat ini. Aku melemah, terjatuh tepat diatas pangkuan bunda. Tapi kenapa? Kenapa bunda tak terganggu sedikit pun setelah aku jatuh begitu keras ke pangkuannya?
***
tring tring tring
Dering telepon membuatku terbangun dari tidurku siang ini. Setelah semalam dihampiri mimpi aneh dalam tidur nyenyakku, aku terbangun dan selanjutnya mata ini sulit untuk dipejamkan kembali. Sehingga di waktu subuh, datanglah rasa kantuk yang kemudian menyerang diriku yang mana membuatku tertidur sampai siang dan terbangun kembali tepat pukul 13:25 WIB. Sungguh mimpi itu terasa nyata. Tak ingin ku ingat lagi, lebih baik sekarang aku bersiap untuk pergi ke studio siang ini.
Perlu kalian ketahui, aku Pandaya Putra Kusuma yang biasa dipanggil Daya. Putra bungsu dari Pandu Kusuma dan Aletta Cantika pemilik perusahaan Kuletta. Aku memiliki seorang kakak laki-laki bernama Alaska Putra Kusuma dan seorang kakak perempuan bernama Felicya Cantika Kusuma. Aku berusia 23 tahun. Penikmat hot cappuccino dan permen yupi. Mempunyai hobi dan bakat seni sedari kecil.
Sejak berusia 18 tahun, aku memilih untuk tinggal sendiri di sebuah apartemen milik ayahku. Tak tau karena apa, tapi teman-temanku bilang, kepergianku dari rumah disebabkan oleh perbedaan yang terjadi antara aku dengan keluargaku dirumah. Dimana aku menyukai seni dan mereka menyukai bisnis. Tidak sepenuhnya benar, tidak pula sepenuhnya salah. Beberapa waktu ke belakang keluargaku memang menentangku saat seni menjadi tujuanku melanjutkan Pendidikan. Mereka menginginkanku untuk meneruskan Pendidikan dengan mengambil kelas bisnis. Namun, masalah ini tak berlangsung lama. Sebab setelahnya, keluargaku membiarkanku berjalan dengan pilihanku sendiri.
tring tring tring
Lagi-lagi dering telepon berbunyi dari dalam kamarku. Aku yang sedang bersiap di ruang ganti merasa sedikit terganggu. Kenapa dia terlalu membuatku terburu-buru? Ahh sangat menyebalkan.
“Baik Niko. Sekarang ada apa?” Ucapku kesal kepada seseorang diseberang sana.
“Ohh ayolah Daya. Jam berapa ini? Tidak mungkinkan kamu lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahun ibumu?” Ucap Niko jengkel kepadaku.
“Ya Tuhan. Aku melupakannya. Bagaimana ini Niko? Apa yang harus aku lakukan? Aku belum menyiapkan apapun untuk hari ini.” Ucapku cemas kepada Niko.
“Tenang bray. Aku sudah menyiapkannya untukmu. Tapi lain kali, aku tak akan melakukannya lagi.” Jawab Niko mengingatkanku.
“Mantap bray. Terimakasih.” Ucapku sembari memutuskan jaringan telepon tanpa pamit terlebih dahulu.
Niko adalah teman sekolahku sejak SMP. Dia memiliki kepribadian yang sangat introvert yang kemudian menjadikannya sebagai bahan olokkan teman-teman yang lain. Aku yang saat itu merasa sangat kesal melihatnya selalu diam saat dipermainkan, akhirnya turun tangan untuk membasmi orang-orang yang sangat menyebalkan.
***
Suasana dirumah keluarga Kusuma sangat ramai saat ini, karena pesta ulang tahun bunda lagi-lagi diadakan secara meriah. Tidak hanya keluarga, sanak saudara ataupun orang-orang terdekat. Bunda juga turut mengundang adik-adik dan teman-teman dari jalanan serta beberapa panti asuhan.
“Oy Daya!” Panggil kak Fela berteriak kepadaku.
“Tolonglah kak, berhenti bersikap bar-bar seperti ini.” Ucapku jengkel dengannya yang selalu saja berteriak ketika bertemu denganku.
“Lah, suka-suka aku dong. Kok kamu ngatur?” Ucapnya lagi membalas perkataanku.
“Yayaya, terserah. Pantas saja bang Mikel sampai saat ini masih belum tertarik ke kak Fela.” Ucapku meledeknya sambil menaik-naikkan alis. Hahaha jurus yang sangat ampuh, karena detik berikutnya dia terdiam dengan wajah menekuk.
“Udah ayok. Gausah di tekuk gitu mukanya, karena kakak terlihat seperti Babik.” Ucapku terkekeh melihat wajahnya yang semakin memerah.
“Cih, nyebelin banget kamu jadi adek.” Ucapnya sembari melipat kedua tangan di depan dada.
“Hahahaha, udah ah ayok. Anter aku ketemu bunda.” Ajakku sembari merangkul pundaknya.
“Hai, anak orang. Sejak kapan kamu ada disini?” Tanya bang Alaska setibanya ku di dekat bunda dan ayah.
“Maaf, siapa ya?” Ujarku membalas pertanyaannya.
“Dih makin nyebelin!” Balas bang Alaska dengan memandang sengit ke arahku dan hanya ku blas dengan tawa ringan.
“Selamat ulang tahun bunda cantik kesayangan daya.” Ucapku kepada bunda seraya memeluk tubuh mungilnya.
“Terimakasih bayik kecilnya bunda.” Jawab bunda sembari membalas pelukanku.
“Ahhh, bunda. Aku bukan bayik lagi.” Kesalku dan bunda hanya terkekeh.
“Mau sampai kapan kamu peluk bunda daya? Ayah gimana?” Ucap ayah menghentikan aktivitas aku dan bunda.
“Plis ayah gausah melehoy?” Ucapku kepada ayah seraya memeluknya singkat.
“Gimana keadaan kamu Daya?” Tanya ayah setelah melepas pelukan kami.
“Seperti yang ayah lihat, aku sehat, tumbuh besar dan kuat hahahaha” Jwabku sembari tertawa.
“Kapan kamu kembali kerumah?” Tanya ayah lagi kepadaku.
“Entahlah, aku belum memikirkannya. Lagi pula aku masih menikmati masa mudaku dengan sedikitnya tidak terlalu bergantung pada bunda dan ayah.” Ucapku sambil tersenyum ke arah mereka.
Acara demi acara telah dilalui, suasana dihalaman belakang rumah pun tidak seramai tadi. Sedikit demi sedikit orang telah kembali, menyisakan kami sekeluarga dirumah sebesar ini.
“Bunda, ayah. Aku pamit pulang ya.” Ucapku kepada keduanya.
“Ini udah malem banget Daya. Menginaplah untuk semalam.” Ucap bunda seraya memegang lengan kananku.
“Tidak apa bunda, aku harus segera kembali. Cucumu dirumah sendiri.” Balasku kepada bunda. Adapun cucu yang ku maksud adalah Piko, kucing kesayanganku.
“Bunda sangat khawatir daya.” Ucap bunda lagi kepadaku.
“Sudahlah Daya, menginap saja disini untuk semalam.” Ujar ayah menyambung ucapan bunda.
“Tidak bisa, aku ingin pulang. Sungguh tak apa bunda, ayah. Akan ku telepon setiba di apartemen nanti. Aku janji!” Ucapku meyakinkan mereka. Dan dengan berat hati mereka mengantarkanku hingga kedepan gerbang rumah, lambaian tangan menjadi salam perpisahan diantara kami.
Suasana jalan sangat sepi malam ini. Bagaimana tidak? Kini waktu menunjukkan pukul 02:48 dini hari. Dengan rasa kantuk yang datang secara tiba-tiba, pandanganku sedikit terganggu. Jalanan terlihat seperti berbayang. Masih dengan kecepatan tinggi, motorku seketika hilang kendali. Disertai suara benturan yang keras, badanku ternyata melambung jauh menghantam pohon didepan sana. Dengan sedikit kesadaran yang masih aku miliki, ku perhatikan daerah sekitar sini. Ternyata masih sepi tak berpenghuni dan aku sendiri. Teringat beberapa ucapan bunda sebelum pergi yang kini membuatku sangat menyesali.
“Bunda, ayah, bang Alaska, kak Fela, maafkan aku.” Ucapku lemah dan seperkian detik kemudian aku hilang kesadaran dengan jantung yang berhenti berdetak serta oksigen yang tak lagi mampu untuk aku hirup. Aku benar-benar pergi.
“Hah.. hah.. hah.. hah..” bunyi nafasku tersengal-sengal. Mimpi apa ini? Bagaimana bisa ada mimpi di dalam mimpi. Sungguh kondisi yang tak dapat aku mengerti. Tapi puji syukur kepada Tuhan yang maha Esa, semoga mimpi ini tetaplah menjadi mimpi.