You’ll never understand until it happens to you.
Kalimat di atas nunjukkin bahwa sebagian besar dari kita gak akan pernah bisa disebut benar-benar ngerti orang lain, dan kalimat itu benar-benar berlaku untuk saya. Beberapa kali mungkin kita akan salah memahami orang lain.
Toh selama jadi manusia, sadar atau gak sadar, sengaja atau gak sengaja, kita akan terus-terusan ngelakuin kesalahan, kan? Yang jadi pertanyaan kemudian,
Apakah bisa kita belajar dari kesalahan-kesalahan itu? Atau jangan-jangan kita bakal terus merasa kalau kesalahan yang dibuat adalah sesuatu yang wajar dan lumrah sampai-sampai gak ada keinginan buat memperbaiki itu?
Seperti buku yang baru selesai saya baca kemarin. Buku yang pada akhirnya saya anggap seperti ingin menyingkirkan perempuan dari hidup laki-laki. Meskipun pada faktanya, kita semua tahu bahwa di sebagian besar tempat yang kita tinggali, perempuan sudah disingkirkan oleh budaya patriarki dan sesat pikir lainnya.
Supaya gak fokus pada perdebatan soal patriarki, saya curiga terhadap satu hal. Saya punya dugaan: Haruki Murakami ini orang yang seksis. Ini baru kecurigaan lho, ya. Lagian gak mungkin kan saya nyimpulin sifat/karakter penulis berdasarkan 1 buku aja.
Tapi kalaupun kecurigaan saya salah, maka kesimpulannya cuma ada satu: Murakami adalah penulis yang cukup mewakili sebagian besar laki-laki di dunia. Entah dirinya bagian dari mayoritas itu atau bukan, yang jelas Murakami berhasil memberikan cerminan segelintir laki-laki.
Laki-laki gobloughh yang menganggap bahwa hidupnya akan baik-baik saja tanpa perempuan. Ya bayangin aja, dari 7 cerpen yang ada di Lelaki-Lelaki tanpa Perempuan, hampir semuanya diakhiri dengan kepergian sosok perempuan yang sempat atau pernah jadi “sesuatu” di kehidupan laki-laki.
Walaupun di sisi yang lain, kesan “kepergian” si perempuan ini dilakukan untuk kebaikannya sendiri, tetap saja narasi dari setiap tokoh ini terkesan so iye dan ingin mengatakan bahwa, laki-laki itu tetap bisa melanjutkan hidupnya tanpa sosok perempuan. Bahkan terkesan seperti tidak pernah terjadi apa-apa sama sekali di dalam diri laki-laki dengan kepergian itu.
Ya realistis banget sebetulnya. Dengan mengakarnya paham patriarki, gak heran kalau banyak laki-laki yang bersikap seperti para pelaku di buku itu, dan saya muak sebetulnya. Sejak kapan laki-laki baik-baik saja ketika ditinggalkan? Semua orang itu sama di hadapan patah hati. Gak banyak dari kita yang mampu membusungkan dada di depan patah hati. Huft. Menangys.
Terlepas dari ketidaksepakatan saya atas narasi yang dibangun oleh Murakami dalam cerpen-cerpennya, saya mau tidak mau harus mengakui kepiawaian Murakami dalam menggambarkan suasana kesunyian di setiap cerpen yang ada di buku ini. Sunyi dan kesunyian yang identik dengan perasaan sepi atau kesepian, adalah momentum yang sangat-sangat personal bagi setiap orang. Ini waktunya saya berteriak: Mampus kau dikoyak-koyak sepi! Lantaran setiap manusia memiliki sisi kehampaan masing-masing yang tidak mungkin sama persis antara satu orang dengan orang lainnya.
Entah sahih atau tidak buku ini, tapi saya rasa di beberapa waktu, Murakami terkesan sok tau banget. Ia seperti ingin membocorkan rahasia untuk mengenal lebih jauh soal sosok perempuan: kebiasaan perempuan, kecenderungan perempuan dalam memilih, tanda-tanda kalau perempuan berbohong, dan apa saja yang diperlukan ketika perempuan tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Ya kembali lagi ke kalimat yang saya tulis di awal. You’ll never understand until it happens to you.