Hei, ini aku Safira. Aku baru pulang dari kantor. Kau tahu apa saja yang terjadi dari pagi tadi hingga saat ini? Aku disambut baik oleh para tetinggi perusahaanku. Aku senang sekali sampai bingung aku harus bagaimana. Soalnya, aku langsung diberi kesempatan untuk andil di proyek besar. Proyek ini akan dilakukan dengan perusahaan lain. Kami akan bekerja sama. Hihi. Ini langkah awal untuk perusahaanku berkembang di tanganku. Aku harus membuktkannya. Aku jadi tidak sabar menunggu hari itu.
Kata salah satu petinggi perusahaanku tadi pagi, aku akan menjadi asisten manager meskipun mereka tahu aku ini baru saja menjadi supervisor. Mereka bilang tak ada lagi orang yang bisa dipercayakan untuk proyek ini selain aku.
Kau tahu, managerku itu orang yang ceroboh. Ia sering mabuk-mabukan dan gemar sekali menyewa pelacur. Ini bukan suatu rahasia lagi. Semua orang dikantorku mengetahuinya. Awalnya aku pun tak percaya bahwa managerku ini memiliki kebiasaan seperti itu, namun aku jadi percaya ketika tadi pagi.
Tadi pagi ia menghadiri rapat dengan pakaian yang kusut. Benar-benar kusut. Kalau kalian ada di rapat itu, kalian bisa lihat dari kejauhan bajunya yang tidak disetrika sama sekali. Bahkan dimukanya masih ada bekas tidur. Dan kau tahu, bau alkohol dari mulutnya sangat menyengat. Kau akan mencium itu dari jarak dua meter. Mungkin kalian akan berkata, “Kau ini mengarang saja, emangnya ada manager seperti itu?” Ya, aku sama seperti kalian, dulu. Kalian akan tahu sendiri bahwa ada manager seperti itu bila kalian kerja di perusahaan ini. Seperti halnya diriku.
Tidak mengurangi rasa hormatku kepada managerku. Hihi. Sungguh, aku tak ada maksud merendahkan managerku. Aku hanya terkejut menemukan sosok manager sepertinya. Soalnya, meskipun ia seperti itu, sering mabuk-mabukan dan menyewa pelacur, ia tak pernah ingkar janji dan selalu memberi hasil terbaik untuk perusahaan. Ia memilihi otak yang cerdas di balik kebiasaan buruknya itu. Namun, sedikitpun aku tidak tertarik kepadanya. Aku hanya kagum. Ya, aku hanya kagum kepadanya. Rasa tertarikku kepada lawan jenis sepertinya sedikit hilang. Bukan maksudnya aku sudah tak normal. Bukan berarti aku sudah tidak suka kepada lelaki. Aku hanya trauma kepada lelaki. Aku takut kepada lelaki. Jadi, wajar saja bagiku kalau aku ini tidak tertarik kepada managerku seperti kebanyakan karyawan perempuan di kantor ini.
Selama rapat tadi pagi, aku tak bisa menahan bibirku untuk senyum. Aku teramat bahagia. Sungguh. Selama rapat itu pun aku terus menerus bicara. Aku terus berpendapat mengenai proyek yang akan dikerjakan secara kerja sama dengan perusahaan lain. Aku sanggat bersemangat. Bahkan rasa semangatku ini dan senyum bibirku ini terus melekat di wajahku hingga saat ini.
Oh iya, aku mendapatkan tepuk tangan yang meriah oleh para karyawan setelah tapat tadi. Dan yang menyenangkan adalah aku tidak mendapatkan pekerjaan apapun di hari pertama menjadi supervisor. Hihihi. Baru kali ini aku kerja tapi gak kerja. Gimana tuh? Hahaha.
Setelah rapat itu aku hanya diam di hadapan komputer, tentu saja di ruangan kerja baruku. Tempatnya sungguh nyaman. Kursinya empuk dan aku bisa berputar-putar serta bergeser sembari duduk dengan kursi itu. Hihihi. Berbeda dengan kursi kerjaku dulu. Kursiku yang dulu hanya bisa kugerak-gerakan kebelakang saja, itupun kulakukan dengan bersandar. Sesekali aku terjatuh karena kelakuanku satu ini. Hehe. Tapi aku tak pernah kapok melakukan hal bodoh itu. Kalau kau ingin menggeserkan posisimu ke meja yang lain, kau harus mengangkat kursi itu. Sungguh merepotkan. Komputernya pun sungguh jelek, ditambah ruangan yang sempit dan aku tidak bisa menambah barang-barang di mejaku demi memperindah pandanganku agar tidak terlalu bosan dilihat. Namun sekarang, di ruangan kerjaku yang baru, aku bebas mendekorasi sesuka hatiku. Hahaha.
Untuk menyenangkan diriku di tempat kerja, aku memulai dengan memasangkan foto-foto masa kecilku dan menyimpan sedikit tanaman di meja kerja. Kutempelkan satu persatu foto yang ada di dalam tasku. Satu demi satu berhasil kutempel dengan cepat dan tidak acak-acakan sama sekali. Namun, aku tak menempelkan semua foto yang kumiliki. Aku berhenti menempelkan foto-fotoku karena aku menemukan satu foto orang yang paling kubenci. Mantanku. Aku terdiam cukup lama ketika melihat foto itu, hingga aku dikejutkan oleh managerku yang tiba-tiba masuk ke ruanganku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Ada apa, pak?” tanyaku padanya. Ia menjawab sangat sederhana, kalau aku harus menemuinya di ruangan kerja miliknya waktu itu juga. Maka, aku bergegas memasukan foto-foto yang gagal kutempel pada dinding-dinding meja kerja dan langsung mengikuti managerku ke ruangannya.
Di dalam ruangan itu, sudah ada seseorang yang duduk tepat di depan meja kerja bapak manager. Kata managerku, orang yang duduk itu adalah salah satu perwakilan dari perusahaan yang akan bekerjasama dengan perusahaanku di proyek kali ini. Kau tahu, orang itu sangat menyebalkan. Ia pergi begitu saja ketika managerku selesai memperkenalkan diriku kepadanya. Ia pergi tanpa pamit. Sungguh tak memiliki sopan santun. Kalau kalian melihat wajahnya, kau akan sepakat kepadaku bahwa orang itu teramat sombong nan menyebalkan. Kujamin itu.
Karena orang tersebut pergi begitu saja, dan membuat managerku terlihat tidak enak kepadaku karena telah memanggilku, ia memberitahu tentang orang tersebut kepadaku. Seharusnya, orang menyebalkan itulah yang memperkenalkan dirinya kepadaku secara langsung agar aku bisa mengerti dirinya sebelum proyek berjalan. Kalau toh proyek berjalan tanpa aku tahu timku seperti apa, aku selalu yakin proyeknya tidak akan berjalan dengan lancar. Namun, tak jadi soal karena ia pergi begitu saja. Mungkin ia memiliki jadwal lain, dan aku pun sedikitnya bisa mendapatkan informasi tentangnya lewat managerku.
Kata managerku, orang menyebalkan itu bernama Derry. Ia putra bungsu dari sebuah keluarga ternama di negeri ini. Ia tampak dingin di luar walau sebenarnya baik hati. Sejak kepergian ibunya ia tertutup dan memilih menjauh dari keluarga. Ia adalah teman managerku sewaktu kecil.
Informasi itu sedikit membantuku. Aku jadi tahu kalau si menyebalkan ini, yang bernama Derry, akan mudah untuk merendahkan diriku. Aku berfikiran seperti ini karena aku tahu, orang-orang dari keluarga ternama biasanya memiliki sifat sombong yang berlebihan. Aku tahu karena sering menemukan orang seperti itu. Kalian bisa menemukan orang-orang yang terjauh dari rasa sombong kalau kalian mampir ke kampungku. Di kampungku taka da orang sombong. Orang kaya di kampungku dermawan. Ia membagi rezekinya dengan suka rela tanpa ada rasa riya sedikitpun. Jauh dari rasa sombong seperti orang-orang kota.
Aku hanya mengannguk-ngangguk saja ketika managerku ini bercerita tentang Derry. Aku tak bertanya sedikitpun. Aku ingin tahu secara langsung bagaimana sosok Derry ini. Aku harus tahu timku secara mendasar. Aku anggap penjelasan dari managerku hanyalah kisi-kisi, sisanya hanya memperindah Derry saja, yang bisa jadi itu adalah omong kosong belaka yang dibuat agar aku bisa bekerja sama dengannya. Maka, untuk memastikan apakah managerku ini hanya memperindah sosok Derry saja atau benar-benar bercerita tampa ditambah-tambahkan, aku harus tahu secara langsung. Ya, secara langsung!
Sebelum managerku menyelesaikan omong kosongnya itu, aku berpamit kepadanya untuk keluar dari ruangan itu dengan alasan aku memiliki pekerjaan yang harus kulakukan. Ia berhenti bercerita tentang Derry dan hanya mengangguk setelah mendengar alasanku pamit. Mungkin ia mengerti bahwa aku sudah tak nyaman dengan ceritanya. Hahaha. Soalnya, setelah aku berpamit dan sebelum aku keluar dari ruangannya, aku melihat ia menelan berat. Hahaha. Mukanya menjadi sangat datar. Sepertinya ia sedang ingin didengar namun aku tidak sanggup berlama-lama dengan ceritanya.
Setelah jam kerja selesai, aku tidak langsung pergi ke kontrakan. Aku memilih untuk mampir dulu ke restoran cepat saji. Dan, Binggo! aku menemukan Derry sedang makan malam. Aku mengamatinya dari kejauhan. Tidak cukup jauh, namun kehadiranku tidak akan disadari olehnya.