Di Sudut Sinjai
/1
Di sudut Sinjai yang syahdu
Kutemukan sosokmu
Anggun nan teguh
Sesederhana hijabmu
Ialah dikau
Tanpa pernak-pernik mewah;
Aura yang tiada duanya
Tak lekang oleh mahajana
/2
Kau berdiri & melangkah—sesekali tak goyah
Di antara sorotan mata lelaki-lelaki genit yang mereka pancarkan kejantanan
Dibalik ketenangan wajah yang selalu kukuh kau abaikan.
/3
Cuekmu bukan tak peduli,
melainkan cara menjaga hati
Nubuat ihwal dunia yang kau rawat diri, perlu dikenali.
Cuekmu adalah pintu tua tanpa kunci,
orang-orang datang, mengetuk, tapi tak pernah benar-benar masuk.
/4
Sikapmu sudah cukup mendeskripsikan horizon abu.
Di balik dinding tembok tinggi rumah tua itu, aku hampir pasrah; berserah & menyerah…
Berdoa agar tak menemukan kunci hatimu di lelaki lain, sebelum aku hadir di halaman teras perjumpaanmu.
2024.
Mengikhtisarkan Kehidupan
Pagi ini aku hanya ingin merinding dan merenung.
Ada beribu-ribu makna di depan sana; terlihat luka kehidupan meringis dari sinar pucat pagi yang tidak punya matahari.
Aku datang perlahan dengan melepas perpisahan yang masih tertahan. lalu sajakku menjadi hidup dalam kebuasan lain.
Sementara kematian menjadi tidur paling nyenyak untuk sementara waktu — memastikan untuk tidak lupa bahwa dalam mimpi hanya satu hal yang paling aku ingat; aku harus segera bangun untuk menyimpulkan hidup di setiap perjalanan.
Karena semua hal adalah hal lain; asing.
Kepura-puraan yang tidak bernama. Dan sekarang aku memilih berdiam dengan diri sendiri.
Barangkali di setiap keinginan manusia, ada waktu murung yang panjang. Maka aku berdoa, semoga ketidakberdayaan manusia bisa sungguh mencintai ketidakberdayaan yang lain.
Hidup sungguh menyentuh yang rapuh. Dan aku ingin bangun dari keterpurukan manusia-manusia yang lemah karena keluhan, aku ingin senyumku terlepas dan bisa menyelesaikan hidup tanpa tergesa-gesa.
Aku percaya; dalam gemetar jiwa
Tuhan menyeru untuk kembali.
Lewat puisi; kutaruhkan hidupku
Untuk mengingat dan berkontemplasi.
2024.
Itu Kah?
Itu kah arti kebaruan, ketika sungai tak riak oleh gemercik jurang?
Itulah kebanditan, saat tindak-tangan tak lekas mengarungi kearifan
Itu kah kehidupan, yang lulum lalu berladung air mata?
Itulah kami datang akan kemas memberi kabar
Itu kah masa depan? Itulah.
2024.
Hidup Tanpa Notifikasi
Kita adalah para manusia dengan tangan-kabel charger,
Yang saling menyambung, mengisi daya, namun kehilangan aliran makna.
Pikiran kita bukanlah ruang sunyi,
melainkan layar terang yang nyala,
memasang waktu dengan derus dan nada ting!
Bangun pagi dimulai dengan swipe,
menyapu sisa mimpi yang tak sempat tertata,
mengecek timeline penuh cerita instagram.
Merespons dengan emoji,
Yang tak pernah cukup kuat menembus tembok kesunyian.
Lalu terselip tanda tanya
merubahnya menjadi titik tiga
yang tak kunjung usai di pengaturan sisa-sisa hidup kita
Barangkali hidup tanpa notifikasi ialah utopia,
Tempat di mana tangan kita melupakan letak ponsel
seperti seorang pecandu yang mencari dosis terakhirnya.
Namun, siapa yang berani mematikan tombol like?
Dan siapa yang rela hidup tanpa share di masa kini
Kita takut menjadi hening,
takut menjadi asing di dunia yang mendewakan kecepatan.
Di masa depan, mungkin kita bukanlah manusia sejati
melainkan humanoid data yang terus diunggah, di-delete, diarsipkan
dari komentar-komentar yang kehilangan separuh jiwanya,
batas usia yang dilupakan setelah tenggat waktu tren berikutnya.
Namun, di era kekosongan itu,
ada pertanyaan kecil yang mengendap di tepi algoritma:
Apakah kita masih hidup,
atau hanya sekadar terkoneksi?
Mungkin, suatu saat,
kita berharap-harap semua kabel terputus,
belajar kembali memaknai hidup
mendengar detak jantung lagi—
bukan nada dering pesan masuk.
Namun, sampai saat kini,
hidup tanpa notifikasi
adalah impian yang terus kita scroll;
tanpa pernah sampai di ujungnya.
2024.