Sudah kurang lebih 1 bulan aku menempati rumah di kota ini. Rumah yang diberikan Sandy secara cuma-cuma. Sesekali ia membawaku ke ritel furnitur di dekat-dekat sini untuk memilih perabotan yang aku suka. Aku gak banyak milih, karena menurutku perabotan lama juga masih bagus. Lagipula, aku kangen keluarga dan teman-temanku.
“Kamu gak happy, ya?” Sandy merangkulku yang masih berdiri di tempat yang sama di rak-rak pajangan foto keluarga
Biar bagaimanapun, Sandy memperlakukanku dengan baik. Mencukupi kebutuhanku, dan terus mengirim uang bulanan ke keluargaku seolah-olah benar saja aku di sini bekerja, padahal sudah menikah siri dengan suami orang. Sejauh ini memang gak ada yang seperti Sandy.
Ia pria yang bertanggung jawab dan disiplin. Soal tampan dan kaya, itu sudah pasti. Kalau gak punya 2 hal itu, aku gak yakin aku bakal mau diajak nikah siri. Tapi buruknya, orang-orang kaya selalu suka mengatur-atur. Ia mengaturku sedemikian rupa, dari warna baju yang aku kenakan, potongan rambut, hingga dengan siapa aku bergaul yang pada pelaksanaannya, terdengar seperti “Kamu gak boleh bergaul dengan siapa-siapa.”
Kalau bukan Sandy yang ajak, aku gak boleh keluar pagar rumah sama sekali. Makanya Sandy membayar Pak Hasan dan Ceu Uli buat memenuhi kebutuhanku. Mulai dari makan, cuci baju, sampai perkara jajan cuanki pun aku tinggal duduk saja minta tolong Ceu Uli.
Aku juga dibelikan ponsel baru. Cuma ada nomer Ayah dan Ibu. Tapi diam-diam, aku menghapal nomor Duta. Meskipun aku hanya 1x melakukan komunikasi dengan Duta, tapi Duta tetap aktif menanyai kabarku setiap hari minggu jam 8 pagi, saat itu lah Sandy sudah dipastikan tak ada di sini.
Gak banyak yang bisa kulakukan di rumah ini. Pagi-pagi aku berjemur, sesekali tanam-tanam bibit hidroponik, melukis, dan bermain piano. Aku sudah gak bisa merokok. Semua barang yang masuk dan keluar dari rumah ini harus selalu melewati Pak Hasan. Betapa bosan. Saking bosannya, beberapa kali aku mencuci pakaianku sendiri, menjemurnya, lalu melipatnya lagi. Hal yang mungkin gak pernah aku lakukan waktu aku masih sama Ibu.
Satu pagi aku memilih untuk menjemur beberapa helai bajuku setelah Ceu Uli mencucinya. Aku berjalan ke area belakang, menjemur beberapa baju. Waktu mau mengangkat ember yang sudah kosong, aku melihat beberapa puntung rokok Garpit yang masih cukup untuk 5 hisapan. Kalau malam, Pak Hasan memang sering merokok di area ini.
Aku melirik, memastikan gak ada Pak Hasan atau Ceu Uli di dekatku. Aku mengantungi beberapa puntung itu di dasterku. Menuju ke dapur, mengambil torch yang biasa digunakan Sandy buat membakar mozarella di atas makananku. Aku mengumpat di kamar mandi utama di kamar tidurku dan Sandy.
Aku membakar sisa-sisa rokok itu dengan tergesa-gesa tidak sabar.
“Bu,”