Kami sempat berpindah dari satu gerbong ke gerbong lain sambil menarik satu koper masing-masing untuk mencari bangku kosong. Tapi semua bangku sudah terisi. Akhirnya kami berdiri bersampingan di dekat pintu gerbong.
Manggarai di guyur hujan. Atau mungkin Jakarta yang diguyur hujan. Aku tidak yakin.
“Jika orang lain mewarnai cinta dengan warna-warna cerah seperti biru langit atau kuning matahari, aku merasa ketika jatuh cinta padamu yang muncul adalah warna-warna gelap seperti maroon dan hitam.” Katanya sambil memandangi jendela.
“Aku minta maaf.” ucapku singkat.
“Kenapa kamu selalu meminta maaf, sih.” jarinya yang masih diperban sontak mencubit tanganku pelan. Kami saling menatap.
“Tanganmu masih belum sembuh.” aku mengusap jarinya. “Warna-warna gelap itu identik dengan hal-hal buruk.” lanjutku.
“Tapi aku gak bermaksud bahas itu.” matanya kembali menoleh ke jendela sambil mengucapkan itu.
Kami termangu beberapa saat. Kereta merayap bersama suara gemuruh dari getaran gerbong.
Ia memutuskan kembali ke Indonesia karena banyak hal. Kami sering membahas apa yang terjadi di Indonesia dari hal sepele seperti persoalan artis-artis kasus perselingkuhan sampai ke konflik agraria dan korupsi. Kadang pembicaraan kami membuatnya kian khawatir dan ogah kembali ke Indonesia.
Mita tinggal hampir delapan tahun di negeri Sakura. Bersekolah dan menabung dengan bekerja paruh waktu. Ia merasa betah. Terlebih lagi jika ia lebih lama di sana ia akan cepat mendapatkan yang ia inginkan. Begitu pikirku.
Walaupun di tahun pertamanya ia pernah merasa ingin mati karena kesepian, tapi pada akhirnya ia berhasil melewati itu. Ia berkawan dengan orang baik dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Bagaimana pun di sana terasa lebih aman dan menyenangkan. Bahkan aku pun ingin tinggal di sana jika kondisinya memungkinkan.
Aku mengenalnya di tahun kelima ketika ia liburan ke kampung halamannya, Karawang. Pada pertemuan pertama kami, ia memberiku koin sepuluh yen. “Sebagai kenang- kenangan” katanya. Itu adalah pertemuan singkat yang membuatku penasaran sehingga aku lebih sering mengirim surel kepadanya.
Pertemuan kedua kami pada waktu liburan di tahun berikutnya selama dua puluh hari. Kami berkenalan begitu canggung seolah kami tak pernah saling bicara sebelumnya.
“Kamu bilang waktu itu pernah bisa meracik sake, Mit?” tanyaku.
Dia sedang asik membaca buku Muhidin M. Dahlan.
“Iya aku bisa. Sake itu macam-macam jenisnya, Dan.” jawabnya. Kali ini ia menutup bukunya “Lalu, seberapa keras rasanya itu tergantung, bisa kamu atur sendiri.”
“Coba ceritakan bagaimana caranya?” tanyaku penasaran.
Ia menjelaskan dengan ringan dan pelan. “Sake di campur dengan air hangat” katanya. Lalu menyebut jenis-jenis sake yang dapat dicampur. “Pelayanan pun bermacam-macam untuk orang-orang yang memesan sake.”
“Aku baru tahu soal itu. Memangnya semua orang di sana bisa meracik sendiri?” Aku menatap wajahnya yang lembut.
“Gak semua orang bisa, sih. Tapi mungkin dari kalangan tradisional bisa meracik sendiri. Mereka yang suka sake walau pun gak bisa meracik sendiri tapi mereka tahu jenis rasa dan aromanya.” Dia memutar-mutar buku di tangannya.
“Sake jenis apa yang paling kamu suka?”
“Sejujurnya aku gak begitu suka dengan sake walau pun aku lumayan bisa meraciknya. Kamu tau peuyeum, kan? Atau apalah itu. Nah kurang lebih seperti itu aroma sake pada umumnya.” Ia berdiri dari bangku dan menyimpan bukunya di rak buku.
“Ya, sepertinya memang mirip seperti ciu.” kataku. “Oh, ya?”
“Iya. Di sini minuman seperti itu banyak juga macamnya.”
Aku masih memperhatikannya. ”Gak ada sake yang kamu suka?”
“Gak ada. Aku lebih suka wine atau minuman kaleng. Rasanya manis.”
Malam itu kami bertukar cerita soal minuman lokal sampai ke persoalan yang lebih rumit tentang prostitusi. Kami minum anggur merah, ditemani satu boks martabak manis.
Pada hari-hari lain kami banyak menghabiskan waktu di kostan. Sekali waktu aku bertamu ke rumahnya, bertemu dengan kedua orang tuanya. Mereka bilang penampakanku seperti begal. Aku tidak tersinggung atau apa, hanya merasa malu. Harusnya penampilanku bisa lebih gagah seperti mafia.
Sesekali kami menengok seberapa konyol kota Karawang, seperti dengan berjalan-jalan di Tuparev dan Karangpawitan memandangi apa yang kami lewati atau jajan di angkringan sekitar Galuh Mas.
“Berapa hari lagi kamu balik ke sana?” tanyaku. “Lusa.” katanya.
“Yah, sebentar lagi, dong.”
“Iya. Kamu masih mau berkabar denganku?” tanyanya. “Tentu saja. Mungkin aku akan menunggumu kembali ke sini.” kataku.
“Terimakasih. Tapi gak usah repot-repot nunggu.” katanya.
Itu terdengar seperti sebuah penolakan. Tapi aku tidak begitu menghiraukannya.
“Akan aku tunggu.” Aku menatap wajahnya. “Bagaimana Karawang?” tanyaku kali ini.
“Untuk sementara waktu menyenangkan.” Ia menyeruput wedang jahenya. “Tapi sepertinya kamu tidak akan merindukan kota ini.” kataku menebak.
“Mungkin kalau knalpot orang itu gak berisik, aku akan merindukan kota ini.” matanya melirik motor seseorang di seberang jalan. “Kamu betah tinggal di sini?”
“Kamu tahu, aku bisa membuat banyak alasan supaya gak tinggal di kota ini.”
“Lalu kenapa masih di Karawang?” tanyanya.
“Entahlah, aku merasa seperti terikat dengan kota ini.” Kataku. Aku ingin menjawab karena aku tidak punya keberanian hidup di tempat lain. Tapi itu terdengar seperti pengecut.
“Baik, aku mengerti maksudmu.”
Ini kali ketiga kami bertemu setelah hampir dua tahun hanya menatapnya lewat layar ponsel. Selama ia di sana kami masih bertukar cerita seperti biasanya. Sesekali kami bertengkar, merasa bosan, dan lain sebagainya, tapi kami baik-baik saja. Aku pikir keadaan akan lebih baik jika kami sudah bertemu.
Aku menjemputnya di wisma tempat ia diisolasi mandiri. Menunggunya dengan gugup di gerbang tempat penjemputan.
Ia keluar dengan dua koper. Aku membantunya naik mobil yang telah aku pesan. Perjalanan kami berlanjut ke stasiun Manggarai. Di perjalanan kami mengobrol. Seperti pertemuan sebelumnya, kami aku merasa canggung pada awalnya.
Sebelum berangkat menuju stasiun Cikarang kami menyempatkan diri untuk mengobrol soal keluhannya di wisma, jajan sembarangan, dan hujan-hujanan di pinggiran stasiun Manggarai. Ia selalu sibuk ketika berhadapan dengan banyak jajan sehingga kami harus menunda jadwal perjalanan selama dua jam. Ia melahap cimol, mi ayam, dan merokok beberapa batang.
Gemuruh gerbong kereta berisik, merayap dari satu stasiun ke stasiun. Kami termangu, menunggu salah satu dari kami memulai pembicaraan.
“Kamu masih khawatir tinggal di Karawang?” Aku memulainya.
“Iya. Aku takut di sana serba sulit dan gak aman. Ke mana- mana harus pake motor. Angkutan umum susah, kalau pun ada pasti gak nyaman. Aku harus beradaptasi lagi. Dan itu membuatku malas. Butuh usaha keras.” Katanya. Ia melirik sebentar kepadaku lalu kembali memandangi jendela.
“Hanya itu?” tanyaku lagi.
“Masih banyak lagi. Itu sebagian kecil yang cukup untuk mewakili kekhawatiranku.”
Kami duduk setelah orang di pinggir kami turun dari kereta.
Lalu melanjutkan pembicaraan kami.
“Aku mengerti kekhawatiranmu. Aku juga berpikir begitu, kok. Karawang yang panas, orang-orang yang gak sabaran, kriminalitas, pemerintah yang bobrok dan banyak lagi. Tapi itu gak buruk-buruk amat kalau kamu sudah terbiasa.”
“Iya benar. Hidup di sini kebebasan seperti direbut, kamu tau, kan? Aku takut.” Ia memandangi wajahku.
“Takut gak sebebas di sana?” tanyaku lagi.
“Iya, lah.” Ia menghempaskan kata itu. Aku menatap wajah manis itu lalu cengengesan. “Tapi setidaknya banyak makanan enak di sini.”
Aku menimpalinya, “Iya, sih, setidaknya ada alasan buat kamu hidup lebih lama tapi nanti kamu akan bosan lagi lalu merindukan masakan Jepang. Tapi tenang, hidup di sini gak akan buruk-buruk amat, kok. Banyak restoran yang menjual makanan seperti itu di sini.” Aku baru menyadari tangannya telah merangkul tanganku.
Ia tidak bergeming. Matanya memperhatikan kaca jendela. Di seberang awan mendung dan bangunan yang sibuk berlari.
Kereta sampai di stasiun Cikarang. Kami keluar sambil menggerek masing-masing satu koper. Hujan masih mengguyur kota. Keluarganya sudah menunggu di kursi dekat loket pemesanan tiket. Mereka berpelukan. Sesekali ibunya terlihat menyeka air mata. Ibunya menawarkan tumpangan tapi aku menolaknya karena motorku telah terparkir sejak pagi.
Di tengah guyuran hujan yang mulai mereda mereka pamit.
Aku menunggu hujan benar-benar reda. Aku tak ingin sesampainya di rumah basah kuyup. Aku memesan segelas kopi sambil memikirkan apa yang akan aku lakukan dengannya esok hari. Aku pikir kami dapat menjadi pasangan menyenangkan.
Kemudian ponselku berdenting. Ada pesan masuk dari Mita.
MITA
Terimakasih, Dan, sudah repot-repot menjemputku. Sekarang warnanya tidak lagi gelap seperti maroon dan hitam. Saat ini warnanya sudah menjadi ungu dan lilac.
Lebih baik kita berteman. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.
Aku termangu sesaat setelah membaca pesan dari Mita. Aku pikir kali ini aku tidak akan menunggu hujan benar-benar reda untuk pulang.