Dua insan berupaya mengatasi kesepian.
Di Balik Jendela Kecil Kamar Kos

Hujan turun deras di luar sana, menampar kaca jendela kamar kos kecil yang sudah mulai berembun. Raka duduk di sudut kasur, menatap ke luar melalui jendela yang tak lebih besar dari layar televisi. Hanya itu satu-satunya celah yang menghubungkan dirinya dengan dunia luar, dunia yang terasa semakin jauh setiap harinya.
Ia menghela napas lalu meraih secangkir kopi yang sudah mulai dingin di meja kecil di sampingnya. Aroma kopi hitam itu menyatu dengan udara lembap sisa hujan. Di luar sana, lampu-lampu jalan berpendar, menciptakan bayangan samar di lantai kamarnya yang berdebu.
Kamar kos ini adalah tempatnya berlindung dari kenyataan. Ia sering kali merasa bahwa dunia luar terlalu bising, terlalu penuh dengan ekspektasi yang tak bisa ia penuhi. Di sini, di balik jendela kecil itu, ia bisa menjadi dirinya sendiri—atau mungkin, seseorang yang tak pernah benar-benar ia kenali.
Setiap malam, dari celah jendela itu, Raka sering melihat kamar di seberang gang kosannya. Di sana, ada seorang gadis yang juga sering duduk di tepi jendela, membaca buku atau sekadar melamun. Rambut panjangnya selalu tergerai, sesekali ia mengikatnya ke belakang saat sibuk mengetik di laptop.
Raka tidak tahu siapa namanya, hanya tahu bahwa gadis itu ada di sana, seperti dirinya, menghabiskan malam dengan kesendirian.
Suatu malam, ketika hujan turun lebih deras dari biasanya, listrik tiba-tiba padam. Kegelapan menyelimuti gang sempit di antara kamar mereka. Namun, hanya beberapa detik kemudian, cahaya kecil dari lilin muncul dari kamar gadis itu.
Raka terdiam, menatap lilin itu yang berkedip-kedip pelan. Dan saat itulah, untuk pertama kalinya, gadis itu menoleh ke arahnya.
Mereka berpandangan dalam diam. Tak ada sapaan, tak ada lambaian tangan, hanya dua pasang mata yang bertemu dalam kilatan cahaya lilin.
Senyum kecil muncul di bibir gadis itu. Sebuah senyum yang sederhana, tapi cukup untuk membuat dada Raka bergetar.
Malam itu, Raka tak lagi merasa sendirian.
Sejak malam itu, mereka mulai membangun kebiasaan kecil. Gadis itu sering kali menyalakan lampu belajar tepat di jendelanya, seolah memberi isyarat bahwa ia ada di sana. Dan Raka, dengan caranya sendiri, menanggapi dengan membiarkan lampu mejanya tetap menyala meskipun ia tak sedang membaca atau menulis.
Mereka tak pernah berbicara. Tak ada pesan, tak ada perkenalan, hanya tatapan singkat yang terasa cukup.
Namun, setiap malam, ketika semua orang telah tertidur, mereka saling berbagi keheningan.
Hingga suatu malam, gadis itu tidak muncul di jendelanya. Lampunya tetap mati, dan tidak ada tanda-tanda keberadaannya.
Raka menunggu. Lima menit, sepuluh menit, satu jam. Namun, jendela itu tetap kosong.
Ia merasa ada yang hilang.
Pagi harinya, saat Raka bersiap berangkat ke kampus, matanya menangkap sesuatu di jendela seberang. Sebuah kertas kecil tertempel di kaca.
Dengan penasaran, ia mendekat ke jendelanya sendiri, mencoba membaca tulisan di kertas itu.
“Pergi untuk sementara waktu. Terima kasih sudah menemani malam-malamku dengan keheningan yang indah.”
Raka tersenyum kecil.
Ia tidak tahu kapan gadis itu akan kembali, atau apakah mereka akan bertemu di luar jendela kecil itu suatu hari nanti.
Tapi ia tahu satu hal—keheningan itu ternyata bisa menghubungkan dua hati yang tak saling mengenal, namun saling memahami.
Leave a Comment