Pada hari Selasa di puncak musim kemarau, Budi duduk sendiri di Kafe Hospital Jaya Abadi—sebuah kafe bertema rumah sakit yang lokasinya dekat dengan rumahnya. Sambil menyeruput jus jambu biji, Budi iseng-iseng memainkan stetoskop untuk mendengar suara detak jantungnya, lalu tertawa-tawa sendiri seperti orang gila.
Lama duduk sendiri, akhirnya Budi pun merasa jengah. Ia melirik jam dinding yang terletak di atas lemari obat berulang kali. Orang yang ia tunggu untuk diajak curhat soal asmara sudah telat lebih dari satu jam.
“Lama banget sih, Jokowi!”
Budi tetap menunggu sambil memesan nasi goreng belut kepada pelayan berkostum perawat—dengan kepala berbentuk kuda.
Delapan belas menit kemudian, Jokowi tiba dengan mengendarai naga berwarna hijau yang berhenti tepat di beranda kafe.
“Jokowi, sahabatku!” seru Budi dengan ceria, langsung melupakan keterlambatan temannya.
Jokowi duduk di depan Budi dan memesan es temulawak serta roti bakar kepada kepala pelayan yang mengenakan seragam suster—dengan kepala berbentuk kucing.
“Jadi, mau cerita apa?” tanya Jokowi setelah meneguk es temulawaknya.
“Ceritanya begini…” Budi menatap langit-langit kafe selama tiga detik. “Begitulah ceritanya.”
Jokowi tertawa kecil menanggapi humor Budi. “Serius dong!”
Budi mendesah. “Jadi begini. Aku sedang dekat dengan dua perempuan. Aku mencintai keduanya dan mereka pun mencintaiku. Tapi, aku hanya bisa memilih satu.”
“Klasik,” respon Jokowi sambil menggelengkan kepala.
“Yang pertama namanya Adel. Dia cantik sekali. Begitu cantiknya, setiap pria yang melihatnya bakal rela bersimpuh dan bersujud memuja-muji kecantikannya. Tapi, aku merasa kurang sreg dengan kepribadiannya. Dia suka dugem, suka foya-foya, punya banyak teman lelaki, dan mulutnya sering kali bau alkohol.”
“Yang kedua namanya Putri. Dia biasa aja. Cantiknya cuma pas habis mandi doang. Tapi, aku suka banget sama sikapnya. Dia sopan, ramah, pengertian, dan nyambung kalau diajak ngobrol. Yang paling penting, dia juga fans Liverpool. Dia ngerti bola, paham apa itu offside, apa itu advantage, ngerti strategi-strategi bola. Ah, pokoknya kalau ngobrol sama dia, aku bisa lupa waktu!”
“Kira-kira aku harus pilih yang mana?”
Jokowi mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah menuntaskan roti bakarnya, ia mengelap bibir dengan tisu, lalu bertanya, “Yang pertama kamu kenal siapa?”
“Adel.”
“Berarti kamu pilih yang kedua, yaitu Putri.”
“Kenapa begitu?”
“Sebab kalau kamu benar-benar cinta sama yang pertama, nggak bakal ada yang kedua.”
Mulut Budi menganga mendengar jawaban itu. “Tapi, Putri wajahnya biasa aja.”
“Emang kamu ganteng?”
Mulut Budi kembali menganga. Ia merenung selama lima belas detik sebelum akhirnya tersenyum. “Terima kasih atas saranmu, Jok!”
Merasa tugasnya selesai, Jokowi berpamitan. Ia menunggangi jerapah bersayap yang melesat cepat menembus awan, lalu menabrak susunan warna pelangi.
Budi tertawa-tawa mengiringi kepergian temannya.
Sementara itu, tak jauh dari tempat Budi duduk, di pinggir jalan di bawah pohon mangga yang rindang, Jael baru pulang kerja. Ia menghentikan motornya karena kaget mendengar Budi berteriak, “Dadah, Jokowi!”
Jael melepas helm dan tertegun menyaksikan pemandangan di depannya. Budi, teman masa kecilnya yang dulu begitu karib—bahkan serasa kakak sendiri—kini berubah menjadi orang gila setelah dihantam badai kehidupan.
Perlahan, Jael mendekati Budi yang masih tertawa-tawa sendiri. Ia duduk mencangkung di depan temannya, menyulut rokok, lalu menawarkannya pada Budi. Sorot mata Budi yang awalnya memancarkan kewaspadaan berubah menjadi jinak seperti anak kucing begitu melihat rokok.
Mereka berdua merokok bersama, duduk berdampingan tanpa satu kata pun. Budi sibuk menulis di tanah dengan ranting, sementara Jael sesekali menengadah menatap awan berarak di sela-sela daun mangga. Kenangan masa kecil mereka bermunculan begitu jelas di benaknya.
Ia teringat saat mereka bermain bola di paratag (tempat menjemur padi) milik Haji Agus, saat mereka bermain layang-layang, mencuri mangga di kebun Pak Somad, hingga begadang demi menonton final Liga Champions antara Liverpool dan AC Milan. Ketegangan dalam laga itu begitu membekas hingga mereka berdua berjanji akan menjadi fans Liverpool seumur hidup.
Namun, sejak SMP, hubungan mereka mulai renggang. Semuanya bermula ketika Budi jatuh cinta pada seorang siswi bernama Widia. Jael mengakui bahwa Widia memang cantik.
Singkat cerita, Budi dan Widia berpacaran. Seluruh tenaga, pikiran, dan waktu Budi tercurah hanya untuk Widia seorang. Tiap kata Widia bagai sabda yang harus ia turuti. Hubungan Jael dan Budi pun terasa berjauhan jutaan tahun cahaya—meskipun kenyataannya mereka tetap sering bertemu.
Nahasnya, setelah sebelas tahun berpacaran dan hendak menikah, Widia jatuh sakit akibat Covid-19 dan meninggal sebulan kemudian.
Tak sanggup menerima kenyataan, Budi menjadi gila.
“Heh, minta rokok lagi!” suara Budi yang kencang mengagetkan Jael.
Jael memberikan semua rokok beserta koreknya, lalu memutuskan untuk pulang.
“Makasih, El!” kata Budi.
Jael tercekat. Budi masih mengenalinya. Ia menatap mata temannya dengan seksama. Perlahan, ia melihat kilatan cahaya di sana—cahaya hangat dan akrab yang pernah mereka bagi saat masih kecil dulu.