Tulisan ini merupakan pengalaman nyata yang dialami Dewi, kerabat saya. Kemarin, ia bercerita dan meminta bantuan kepada saya untuk mempublikasikan pengalamannya di Nyimpangdotcom. Harapannya tak muluk-muluk, Dewi cuma ingin semua korban dan penyintas mengerti bahwa (kita) gak sendiri.
TRIGGER WARNING.
Tulisan ini mengandung konten sensitif, bisa jadi beberapa bagian sangat menganggu kenyamanan kamu. Jika kamu merasa gak nyaman membacanya, gakpapa, kok. Kamu bisa berhenti membaca ini dan menenangkan dirimu. Tulisan ini didedikasikan untuk semua korban pelecehan dan kekerasan seksual, laki-laki atau perempuan. Kami cuma ingin kamu tahu, kamu gak sendiri. #MeToo
*
Yang bisa saya ingat, malam itu saya diteriaki oleh Nenek saya yang justru turut mencaci-maki saya bersama dengan mantan pacar saya. Saat itu, saya merasa diri saya begitu tidak layak buat hidup. Saya merasa kehadiran saya hanya membuat orang-orang di sekitar saya terbebani. Saya merasa marah sama Mama, sama Tuhan, kenapa saya harus dilahirkan kalau kehidupan saya cuma buat dipukul dan diteriaki?
Saya tetap mencoba bertahan menyelesaikan sekolah saya sambil menanggulangi perasaan tidak nyaman, perasaan terancam, dan perasaan tidak berguna. Yang selanjutnya terjadi adalah sama seperti yang sebelumnya terjadi. Saya selalu merasa saya membutuhkan seseorang yang bisa melindungi saya, dan di saat-saat seperti itu saya merasa bahwa korban kekerasan/pelecehan akan selalu mencari perlindungan pada seseorang, dan mulai menjadi bergantung pada individu lain.
Dan ketika saya menjadi individu yang menggantungkan diri pada orang lain, saya semakin terpuruk dan semakin tidak mampu untuk mandiri, dan di saat yang sama, orang yang saya gantungkan biasanya akan semakin semena-mena pada saya. Begitulah siklusnya.
Melalui hal itu saya belajar bahwa, tidak ada siapapun yang bisa menolong selain diri saya sendiri. Saya harus mandiri secara mental, fisik, psikologis, dan finansial. Saya harus bisa melakukan semuanya sendiri.
Meskipun tidak mudah buat mengubah takdir sendiri, tapi saya mau dan saya merasa harus ngelakuinnya. Hal pertama adalah saya mulai membuka diri, mulai kembali berbicara, mencari dan mengamati siapa kiranya yang bisa saya percaya buat dengerin saya. Saya mencari dukungan dari teman-teman yang menyadarkan saya bahwa saya gak sendiri.
Prosesnya tidak mudah. Saya menghadapi ketakutan, rasa bersalah, mudah insecure, merasa minder, gak berguna, dan ragu buat ngapa-ngapain. Tapi, saya yakin setiap langkah yang saya ambil buat keluar dari trauma itu akan ngebawa saya lebih dekat pada kebebasan.
Saya belajar buat mencintai dan menghormati diri saya sendiri, membangun kembali kepercayaan diri yang dulu gak bersisa. Saya mulai sering ngomong ke diri saya,
“Gakpapa, semua yang terjadi di belakang, ya udah. Udah. Gak ada yang bisa kita ubah dari masa lalu. It’s totally okay. Semua akan baik-baik aja. Tidak ada hidup yang sempurna, dan aku menyadari itu. Maka, akan aku terima segala yang ada padaku dengan lapang, dan aku akan ngejalanin hidupku dengan lebih baik hari ini. Aku akan jadi lebih kuat dan bisa berdiri di atas dunyaaa!”