Tulisan ini merupakan pengalaman nyata yang dialami Dewi, kerabat saya. Kemarin, ia bercerita dan meminta bantuan kepada saya untuk mempublikasikan pengalamannya di Nyimpangdotcom. Harapannya tak muluk-muluk, Dewi cuma ingin semua korban dan penyintas mengerti bahwa (kita) gak sendiri.
TRIGGER WARNING.
Tulisan ini mengandung konten sensitif, bisa jadi beberapa bagian sangat menganggu kenyamanan kamu. Jika kamu merasa gak nyaman membacanya, gakpapa, kok. Kamu bisa berhenti membaca ini dan menenangkan dirimu. Tulisan ini didedikasikan untuk semua korban pelecehan dan kekerasan seksual, laki-laki atau perempuan. Kami cuma ingin kamu tahu, kamu gak sendiri. #MeToo
*
Entah dari mana keberanian ini saya dapatkan. Yang jelas, saya sekarang sudah siap untuk berbicara tentang apa yang saya alami beberapa tahun lalu. Tahun yang setiap harinya cuma membuat muak dan menyesakkan.
2020
Usia saya baru 15 tahun waktu itu. Saya masih menjalani hari-hari seperti biasa. Masih tinggal bersama Nenek di Purwakarta, sebab Mama bekerja sebagai TKW di Taiwan untuk membiayai kebutuhan kami sekeluarga.
Sebagai informasi, saya hanya mengetahui bahwa saya anak yatim. Benar atau tidaknya, saya gak tahu dan gak ada keinginan untuk cari tahu. Yang jelas, Mama-lah satu-satunya orang yang menopang semua kebutuhan hidup saya dan Nenek.
Mama punya seorang kakak laki-laki yang saya panggil Uwa. Kehadiran Uwa membantu saya memenuhi perasaan “ingin disayangi sosok ayah.” Uwa bekerja di Jakarta, dan beberapa waktu ia pulang ke Purwakarta.
Uwa selalu memberikan saya uang jajan, membelikan saya baju lebaran, dan hal-hal lain yang biasa dibelikan orang dewasa untuk keponakannya. Selain itu, sosoknya memang memberikan saya kenyamanan. Saya merasa Uwa adalah yang saudara Mama yang terbaik. Setidaknya begitulah pikiran saya. Bukankah kita semua selalu memiliki satu orang yang terdekat dengan kita di keluarga besar? atau, bukankah kita semua selalu memiliki satu orang di keluarga besar yang akrab dengan semua keponakannya? yang bahkan sampai kehadirannya itu ditunggu-tunggu oleh semua keponakan? Yap, di keluarga saya, Uwa adalah orangnya.
Suatu hari, beberapa bulan setelah pandemi, saya dan Teteh (sepupu saya) memiliki rencana untuk pergi ke Jakarta. Bukan tanpa alasan, sebagai orang dengan ekonomi yang katakanlah menengah ke bawah, pergi ke luar kota rasanya sangat sulit digapai, dan saya gak minder menceritakan ini. Toh, faktanya memang begitu.
Maka saya dan Teteh sangat senang ketika Uwa mengajak kami untuk berlibur ke Jakarta. Saya dan Teteh yang masih remaja itu akhirnya bisa melihat Jakarta bukan cuma dari TV. Ada perasaan senang dan takjub waktu saya melihat gedung-gedung tinggi muncul di depan saya. Ohhh begini. Terbesit keinginan saya untuk suatu hari kembali ke Jakarta, melihat keindahan kotanya bersama Mama.
Setelah lelah bertamasya kota seharian, akhirnya aku, Teteh, dan Uwa sampai di rumah Uwa. Rumah yang mungkin bagi pembaca merupakan rumah yang biasa-biasa saja, tapi buat saya itu rumah bagus yang jauh lebih nyaman daripada rumah Nenek. Kami tidur bertiga di kamar Uwa.
Seperti biasa, saya memakai celana pendek dan tanktop. Di hari kedua saat saya tidur di sana, saya merasa ada yang ganjil. Tengah malam entah pukul berapa, saya merasa sesuatu menggerayangi saya. Saya mencoba untuk membuka mata, memastikan bahwa itu bukan mimpi.
Setelah mata saya terbuka, saya syok mendapati Uwa sedang meraba tubuh saya. Saya lalu tersentak refleks, dan saya merasa Uwa bisa juga terkejut. Secepat kilat saya langsung bangun berdiri ke tepi kasur. Saya melihat Uwa berpura-pura tidur dan baru terbangun sambil bilang,
“Kenapa, Dew? Mau ke mana?”
dengan nada bergetar menahan tangis, saya balik bertanya, “Teteh ke mana?” karena saya tidak melihat keberadaan Teteh di kamar.
Percayalah, saat itu rasanya saya berharap semuanya cuma mimpi buruk.
“Teteh ada di ruang tamu. Mau ngapain ke Teteh? Udah di sini aja tidur sama Uwa.”
Mendengar hal itu, saya semakin takut, dan saya harus menahan tangis saya. Masih dengan perasaan syok, saya akhirnya keluar kamar dan mendapati Teteh yang tertidur di ruang tengah masih dengan TV yang menyala. Saya berbaring di samping Teteh, menghadapkan diri ke tembok dan menangis tak bersuara.
Keesokannya, saya coba cerita ke Teteh soal pelecehan yang saya dapatkan, tapi waktu itu Teteh gak percaya dan menatap sinis kepada saya sambil mengeluarkan kalimat,
“Ah, mana mungkin Uwa kaya gitu. Gak mungkin banget! Bohong kali kamu,”
Ada perasaan sakit yang membuat saya teringat dengan Mama. Mungkin, kalau saat itu saya bercerita pada Mama, Mama adalah satu-satunya orang yang percaya kepada saya. Sayang, Mama berada di Batang bersama dengan bapak tiri saya, dan saya menghindari untuk membuatnya cemas. Saya akhirnya meminta pulang ke Purwakarta lebih cepat. Namun, Uwa selalu berkelit dengan alasan masih sibuk kerja. Saya yang waktu itu kelas 1 SMA dan tidak punya uang sepeser pun juga gak mungkin untuk pulang sendiri.
Saya akhirnya menghabiskan sisa-sisa waktu itu dengan selalu tidur di ruang tengah dan baru tertidur saat Uwa sudah berangkat kerja pagi hari. Saya selalu menghindari interaksi bersamanya, dan saya yakin dia merasa hal itu sampai di hari terakhir waktu saya selesai mandi, Uwa tiba-tiba menghadang saya dan bilang, “Maafin Uwa, yah … “
Sesampainya di Purwakarta, saya merasa gak nyaman untuk berinteraksi dengan siapa-siapa. Saya sadar saya menutup diri saya, tapi saya juga gak betah dengan perasaan tersebut. Dengan membulatkan kekuatan, saya akhirnya menceritakan hal tersebut kepada Nenek. Sebagai perempuan dan orang yang mengurus saya dari lahir, Nenek pasti akan percaya sama saya. Sayang, Nenek langsung marah, menuduh saya menyebar fitnah untuk menghancurkan keluarga sampai-sampai beberapa pukulan mendarat di tubuh saya. Sejak saat itu, rumah berubah jadi neraka buat saya.
2021
Saya masih menjalani hidup seperti biasa. Kejadian setahun lalu sudah saya coba lupakan meskipun kenyataannya hati masih sulit. Tapi toh, darah selalu lebih kental daripada air dan Nenek adalah satu-satunya keluarga yang mengurus saya. Jadi tentu saja semuanya akan saya terima. Mau gimana pun, dia nenek saya, kan? Kalau bukan sama Nenek, mau sama siapa lagi? Mama jauh di Batang, Papa udah gak ada. Meskipun seliweran, saya suka dengar sayup-sayup orang ngomongin Papa saya. Ya kalimat yang terlontar kalau saya lewat di depan mereka, kalimat seperti,
“Hm karunya budak teh Bapakna teu tanggung jawab.”
“Bapakna mah aya padahal,“
Ya setidaknya kalimat yang lebih enak didengar daripada bully-an seperti, “Aaaah teu boga bapak!” atau “Si Dewi teu boga bapak haha … “ yang keluar dari mulut teman-teman di rumah.
Beberapa kali memang saya sempat menanyakan soal Papa, tapi Mama, Nenek, dan beberapa keluarga yang berkunjung cuma bilang “Bapak kamu itu udah meninggal.”
Di waktu-waktu tersulit setelah mendapatkan pelecehan dari Uwa, saya mulai mencari sosok Papa. Saya mulai mencari identitas dan keberadaan Papa. Saya rasa saya perlu untuk mendapatkan ketenangan dan perlindungan. Sebetulnya saya juga gak menelan mentah-mentah informasi kalau saya yatim. Toh, setiap saya nanya makamnya di mana? jawabannya selalu aneh-aneh, kok.
Jadi, waktu itu saya lebih percaya bisik-bisik tetangga yang sedikit-banyak kasih informasi ke saya. Meski ada beberapa orang yang bilang,
“Jangan, Dew. Jangan kenal.“
“Aduh, kamu gak usah tahu bapakmu!”“
Tapi semuanya tentu saya tepis. Bahkan isu-isu seperti Papa preman, lah. Papa tukang kawin, lah. Saya rasa saya lebih peduli soal ketemu sama Papa daripada omongan-omongan negatif tentang Papa.
Singkat cerita, suatu hari saya dan Nenek membeli baju di sebuah toko yang letaknya gak jauh dari rumah. Mudahnya, tetangga saya yang jualan. Lalu tiba-tiba, seorang laki-laki lewat dan membuat tetangga saya bilang, “Itu, Dew! Itu bapak kamu!”
Betapa terkejut saya. Apakah secepat ini harus bertemu? Apakah dia senang dengan kehadiran saya? Apakah dia akan marah? Apakah dia akan sedih? Apakah dia akan tanya Mama? dengan perasaan yang masih campur-aduk itu, akhirnya saya meminta, saya memohon kepada Nenek untuk memperkenalkan saya dan Papa. Ada sedikit keraguan yang saya lihat pada raut wajah Nenek, tapi Nenek nampaknya juga merasa berkewajiban untuk mengenalkan saya.
Lalu, saya dan Papa berkenalan. Kami mengobrol. Ternyata, saat ini Papa bekerja sebagai tukang parkir di suatu resto cepat saji di Jalan Veteran. Kami akhirnya bertukar nomor.
Sungguh bahagia hati saya akhirnya saya bisa mengenali Papa saya. Bayangan dan hari-hari saya menjadi indah sejak pertemuan itu, ada banyak yang ingin saya ceritakan pada Papa. Mungkin saya dan Papa bisa beli es krim, beli baju lebaran, ngasih saya uang jajan, ngambilin rapot saya, dan merayakan ulang tahun saya. Saya berpikir mulai saat itu, hidup saya akan berubah selamanya.
Saya dan Papa semakin dekat (secara diam-diam), karena saya tahu Nenek akan pukulin saya kalau tahu saya ketemu dan berkabar dengan Papa. Saya dan Papa sering SMS-an. Papa memanggil saya sayang, dan hari-hari saya semakin lengkap saja. Saya pikir, semua bapak di dunia ini akan menyebut anaknya sayang.
Beberapa hari kemudian, saya mulai bete. Papa mulai sering marah ketika saya gak nurut. Papa selalu ajak saya pergi jalan-jalan di jam-jam malam di atas jam 10. Saya tahu, dia seorang tukang parkir yang mungkin memang jam kerjanya harus selarut itu, karena restonya saja baru tutup pukul 10. Tapi saya anggap itu adalah pelengkap. Toh, saya senang akhirnya saya tahu Papa saya. Meskipun untuk urusan uang jajan, Papa seringkali gak ngasih. Ya, apa boleh buat? Uang Papa mungkin memang gak banyak. Yang jelas, saya bahagia punya Papa.
Satu hari, Papa mengajak saya jalan-jalan dan bilang mau kenalin saya ke “mama tiri”. Kami terlebih dahulu ke kontrakan Papa untuk menjemput “mama tiri”. Sesampainya di kontrakan, saya tidak melihat “mama tiri”. Papa lalu bilang sesuatu semacam, “Belum pulang kerja,” atau apalah saya gak ingat. Saya kemudian disuguhi air minum. Selang berapa lama, saya merasa sangat lelah dan mengantuk.
Saya terbangun dengan kondisi linglung. Saya masih di rumah kontrakan itu. Seorang diri.
Bersambung.