Taman kota sangat sepi malam ini. Lampu jalan yang dipadamkan, serta gerimis kecil yang berjatuhan, menambah kesan horor pada tempat ini. Dengan kedua kaki yang mungkin tak mampu untuk digerakkan, aku melihat seorang gadis berjalan menggunakan kedua tangannya secara bergantian. Dengan wajah yang penuh ketakutan, ia berjalan mundur seraya memohon ampun pada seorang pria dihadapannya.
“Ku mohon, lepaskan aku. Jangan lakukan ini padaku.” Ucap gadis itu dengan air mata yang terus berlinangan. Namun, sedikit pun pria itu tak angkat bicara untuk memberinya jawaban. Gadis itu terus saja disudutkan.
“Aku tak tau siapa kamu. Aku tak tau perkara apa yang pernah melibatkan aku dan kamu. Sungguh aku tak tau apapun. Tolong hentikan semua ini.” Ucap gadis itu lagi dengan isak tangis yang memilukan. Namun, tetap saja pria itu tak angkat bicara untuk memberinya jawaban.
Suasana terasa semakin mencekam, gerimis kecil kian berubah menjadi derasnya air hujan. Gadis itu semakin tak berdaya dengan kondisi yang benar-benar tersudutkan. Seakan siap dengan kepergiannya diwaktu kemudian. Diiringi isak tangis dan tubuh yang masih saja bergetar, matanya kini telah dipejamkan. Sekian detik berlalu, sebuah pisau dilayangkan dan ditancapkan tepat pada bagian dada sebelah kanannya. Tanpa suara jerit kesakitan, ia melemah dengan tubuh yang benar-benar jatuh ke tanah. Tanpa sepatah kata, ia pergi untuk selamanya.
“Lagi-lagi terjadi pembunuhan di kota kita malam tadi, aku dengar korbannya adalah seorang gadis muda. Kalau tidak salah hitung, mungkin ini adalah korban ke delapan. Semakin menakutkan saja tempat ini.” Ucap seorang kasir toko pada temannya.
“Ahh benarkah? Aku belum membuka berita pagi ini. Sungguh malang nasib gadis itu.” Ucap temannya membalas.
Aku hanya mendengar kedua kasir itu berbicara sembari membungkus barang belanjaanku. Tak berselang lama, ingatanku kembali pada kejadian semalam yang merenggut nyawa gadis yang mungkin tak bersalah. Teringat jelas wajahnya yang penuh ketakutan, isak tangis yang begitu memilukan yang sedikit pun tak mampu untuk aku hentikan. Aku tak berdaya, semua itu terjadi begitu saja.
Aku Vero, seorang pegawai biasa di sebuah perusahaan ternama di kota Jakarta. Sedari SMA, aku telah hidup sebatang kara. Orang tua dan saudaraku meninggal karena sebuah kecelakaan. Mereka dikabarkan tewas ditempat pada saat itu. Ayahku sebelumnya mempunyai perusahaan besar ketiga di kota Jakarta. Namun, perusahaan itu kini tak mampu untuk aku kendalikan karena telah direbut paksa oleh pamanku yang penuh keserakahan. Tak banyak hal yang dapat ku lakukan, sebab saat itu aku hanyalah seorang remaja yang masih duduk di bangku SMA.
drrt drrt drrt (telepon berdering)
“Oy Vero, dimana lu? Gua udah sampe di lokasi ini.” Ucap Vega temanku.
“Sebentar lagi gua sampe, ini lagi dijalan.” Balasku kepadanya.
“Alah boong aje lu, gua ga denger suara kendaraan dari telepon ini. Jalan mana? Jalan ke kamar mandi?” Ucapnya lagi kepadaku.
“Sabar bro, sabar. Gua ga akan lama. Tunggu aja sebentar ya.” Ucapku sembari menutup panggilan kami.
Aku lupa bahwa pagi ini aku telah berjanji untuk bertemu dengan Vega. Dia adalah temanku sedari TK hingga saat ini. Karena kami tidak bekerja pada perusahaan dan kota yang sama, akhirnya kami selalu menjadwalkan akhir pekan sebagai hari pertemuan. Hampir lupa, Vega adalah seorang wanita yang memang tidak terlihat seperti wanita. Ia berpenampilan layaknya pria dengan model rambut yang dipotong pendek.
“Oy.” Ucapku sembari mengejutkannya.
“Ga kaget gua. Basi lu. Kebiasaan banget.” Ucapnya kesal kepadaku.
“Sori bro, tadi lampu kosan gua padam jadi gua takut untuk mandi.” Ucapku lagi kepadanya.
“Dih najis. Badan doang berotot, nyalinya mah setebel tisu.” Ucapnya sarkas kepadaku.
“Jadi, gimana sekarang?” Ucapku bertanya kepada Vega.
“Seperti biasa, sangat membosankan. Kalo lu?” Ucapnya seraya menghisap sebatang rokok.
“Sama aja si, justru terasa semakin membosankan.” Ucapku membalas pertanyaannya.
“Mau sampe kapan?” Ucapnya lagi kepadaku.
“Entahlah.” Jawabku seadanya.
Kami terus saja berbincang, dari hal yang paling tidak penting sampai pada hal-hal yang dirasa sangat penting. Bersama Vega aku selalu penuh dengan cerita. Bagiku sangat menyenangkan menghabiskan waktu di akhir pekan bersama dengannya. Dan kini waktu telah menunjukkan pukul 21:34 WIB, aku harus menghantarkan Vega ke stasiun kota karena esok ia harus kembali kerja. Setelah kepergiannya, aku pun segera kembali menuju kosan.
Untuk mempersingkat waktu, aku pulang melewati jalanan yang cukup gelap dan sepi. Tak lama kemudian, lagi-lagi aku melihat seorang pria menancapkan sebuah pisau pada kepala pria disebelahnya. Setelah itu, ia pun pergi meninggalkan korban yang terjatuh begitu saja dari kendaraannya. Aku sangat takut, aku sangat terkejut dengan kejadian kali ini. Rasanya begitu tiba-tiba dan aku masih tak bisa berbuat apa-apa.
Setibanya di kosan, aku segera mengunci pintu dan berlari kesudut kamar. Membayangkan kembali kejadian-kejadian yang belakangan ini sering aku lihat. Tanganku bergetar, tubuhku terasa panas dan terbakar. Bukan hanya melihat, bukan hanya mendengar setiap ucapan terakhir dari korban-korban pembunuhan itu. Tapi aku pun merasakan bagaimana kesakitan yang mereka rasakan. Sebab apa? Sebab sesungguhnya akulah pelaku dari pembunuhan itu.
Aku manusia normal bukan seorang psikopat. Membunuh bukan hobiku. Tangisan dan jeritan bukan suara kesukaanku. Aku melakukannya karena kuanggap ini sebuah keharusan. Kepergian orang tua dan saudaraku saat itu bukanlah hal yang terjadi tanpa sengaja, melainkan sebuah kesengajaan yang diperbuat oleh seseorang yang tak lain adalah rekan kerja ayahku sendiri, yakni Anggara Wijaya yang kini menjadi pemilik perusahaan tempat aku bekerja. Awalnya memang ku kira kepergian keluargaku adalah sebenar-benarnya kecelakaan. Namun siapa sangka? Di hari kedua setelah aku bekerja, tepatnya dua tahun setelah kecelakaan itu, tak sengaja aku mendengar perbincangan seorang pria tua dengan asistennya, yang mana pembahasan mereka saat itu mengenai kecelakaan yang menimpa keluargaku. Selain itu, mereka pun membicarakan tentangku yang mudah sekali di terima di perusahaan ini.
Dengan penuh kekecewaan aku berencana untuk membalaskan dendam. Menghancurkan kebahagiaan dia yang telah berani merenggut kebahagiaanku. Karena itu, aku membunuh keluarganya demi memberikan dia sebuah pelajaran bahwa kepergian bukanlah hal menyenangkan. Sejujurnya membunuh bukanlah keahlianku, tak ayal setiap kali membunuh jantungku berdegup begitu kencang dan tanganku sedikit bergetar. Namun ini tetap harus aku lakukan. Dalam kasus pembunuhan pertama hingga ketujuh, prosesnya telah ku desain serapih mungkin. Namun dalam dua kasus pembunuhan yakni pembunuhan kedelapan dan kesembilan merupakan bentuk ketidaksengajaan aku bertemu dengan mereka, anak tersembunyi si sialan Anggara. Perlu kalian ketahui, sejauh ini yang ku bunuh hanyalah anak-anak tersembunyinya saja. Namun, Anggara tetaplah seorang ayah, aku yakin dia tak akan tinggal diam. Sampai waktunya tiba, sampai dia berani menampakkan langsung dirinya padaku, aku baru akan mengakhiri semua ini.