Pagiku cerahku, tentaranya bersinar~
Dedi Mulyadi dan Gairah Membentuk Generasi Paling Disiplin Sedunia

Bayangkan ruang kelas biasa: meja-meja kayu tersusun rapi, papan tulis penuh materi, dan suara siswa yang bergantian bertanya atau bersenda gurau kecil saat guru mengatur jalannya pelajaran. Ya, ruangan itu yang semestinya memberi anak-anak rasa aman untuk bertumbuh, mencoba, bahkan gagal tanpa takut dipermalukan.
Namun mulai 2 Mei 2025, wajah pendidikan di Jawa Barat bisa berubah drastis. Di bawah program baru yang diusung oleh Dedi Mulyadi, siswa-siswa yang dianggap nakal akan dikirim ke barak militer untuk “dibina.” Dunia kecil yang mestinya menghidupi keberanian berpikir dan ekspresi itu kini terancam menjadi arena penyeragaman dan hukuman.
Saat anak-anak yang berbeda atau sulit diatur dipaksa tunduk di bawah komando militer, kita perlu bertanya:
Apa yang sebenarnya sedang diajarkan oleh pendidikan kita? Apakah ini tentang mendidik manusia yang utuh, atau sekadar melatih ketundukan tanpa nalar?
Upaya Menormalisasi Kekerasan
Tidak ada yang menyangkal bahwa perilaku nakal perlu dihadapi dengan serius. Tetapi, menganggap satu-satunya solusi adalah pelatihan militer seperti anggapan Dedi Mulyadi sama saja dengan mengungkapkan sempitnya nalar politik.
Seolah-olah, dalam dunia yang kaya dengan pendekatan pedagogis alternatif, kekerasan masih dianggap jawaban yang sah dan satu-satunya.
Paulo Freire, dalam karyanya Pedagogy of the Oppressed, telah memperingatkan bahwa pendidikan yang otoriter justru memperbanyak siklus penindasan. Anak-anak yang belajar untuk patuh tanpa bertanya akan sulit memahami hak-haknya sendiri, apalagi membela hak orang lain. Pendidikan macam ini bukan membebaskan, melainkan menindas dengan wajah yang lebih rapi.
Barak militer di sekolah berarti memperkenalkan konsep kekuasaan sepihak sejak dini. Berpikir bahwa guru bukan lagi fasilitator tumbuh kembang pikiran, tapi justru perpanjangan tangan dari sistem kontrol yang lebih besar. Dalam jangka panjang, ini membentuk generasi yang lebih mudah tunduk terhadap perintah otoritas, apapun bentuknya, tanpa daya kritis.
Lebih parah lagi, bila kekerasan mulai diterima sebagai “bagian wajar” dari proses pendidikan. Masyarakat perlahan akan kehilangan sensitivitasnya terhadap praktik-praktik represif di ruang publik yang lebih luas. Apa yang dimulai di ruang kelas, tidak akan berhenti di sana.
Horor Sistem Komando dalam Dunia Pendidikan
Hannah Arendt dalam analisanya tentang kekuasaan dan kekerasan menjelaskan bahwa kekerasan cenderung muncul ketika otoritas moral telah runtuh. Dalam konteks ini, pendidikan berbasis militer bukan tanda kekuatan pendidikan, melainkan kegagalan mendasar dalam memahami jiwa manusia dan kompleksitas pembelajaran.
Sebuah demokrasi hidup dari nalar warganya, dari keberanian individu untuk mempertanyakan, mengkritik, dan memilih jalan hidupnya sendiri. Militerisme di bangku sekolah menggerogoti semua itu dari akar. Ia melatih generasi muda untuk percaya bahwa hubungan sosial terbaik adalah hubungan yang dibangun atas dasar komando, bukan diskusi atau negosiasi.
Sejarah berkali-kali menunjukkan betapa mudahnya masyarakat yang dibesarkan dalam kultur militeristik terjebak dalam siklus otoritarianisme. Generasi yang terbiasa taat karena takut akan lebih sulit membangun komunitas yang adil dan bebas.
Program Dedi Mulyadi ini, meskipun dibungkus dengan niat baik seperti anggapan pendukungnya “membina anak nakal,” pada akhirnya menjadi pintu masuk bagi pengeroposan demokrasi itu sendiri. Ruang kelas yang semestinya menghidupkan mimpi dan harapan justru mengajarkan ketakutan, rasa malu, dan ketaatan absolut.
Pendidikan Bukan soal Menaklukkan Siapa-Siapa
Saat ruang kelas mulai menjelma barak, kita tidak hanya kehilangan anak-anak kita—kita kehilangan masa depan kita sendiri.
Pendidikan adalah upaya membebaskan, bukan mengurung. Ia menuntut kesabaran, kreativitas, dan empati. Anak-anak yang berperilaku sulit bukan musuh untuk ditaklukkan, melainkan manusia muda yang butuh dipahami, diberdayakan, dan dibimbing menuju potensinya yang utuh.
Karena itu, kita perlu mengambil sikap. Menolak normalisasi kekerasan dalam pendidikan bukan sekadar soal membela hak anak, melainkan membela hak seluruh masyarakat untuk tetap hidup dalam nalar, kebebasan, dan demokrasi.
Kita perlu mendesak pemangku kebijakan untuk mengevaluasi program ini secara kritis. Kita perlu menguatkan suara guru, psikolog, dan masyarakat sipil lainnya yang menolak militerisme dalam dunia belajar. Kita perlu memperjuangkan model pendidikan yang menghormati setiap individu—termasuk mereka yang sedang berjuang menemukan jalannya.
Hari ini, ruang kelas mungkin tampak jauh. Tetapi, keputusan yang diambil tentang ruang kelas akan menentukan wajah masyarakat kita esok hari.
Maka, jangan diam! Pendidikan yang membebaskan harus kita rebut, sebelum terlambat.
Leave a Comment