Debu di Rumah Mohtar

Terik, debu, dan teriakan membelah jalanan yang sunyi.

“Oi, bajingan! Bosmu harus tanggung jawab!” kata Mohtar sambil terbatuk-batuk.

Gagang pel di tangannya diangkatnya tinggi-tinggi sesaat sebelum memaki setiap kali ada mobil truk melintas di jalan raya depan rumahnya. Mohtar tahu apa yang ia lakukan sia-sia. Ia hanya ingin merasa puas, meskipun hanya sementara.

Sejak pabrik semen itu berdiri, mobil truk tidak henti-henti melintas di jalan raya depan rumahnya. Truk itu acap kali meninggalkan debu di rumahnya. Ia merasa debu itu tidak pernah mau minggat. Pagi dipel, siang datang. Siang dilap, sore mampir. Sore disapu, malamnya menginap. Begitu setiap hari.

Terkadang Mohtar bernostalgia kepada hari-hari sebelum pabrik itu berdiri. Ia tidak pernah mengenal debu sebelumnya; pepohonan lebat, sumur menjamur, dan sungai mengalir bersih. Tetapi, kini sebaliknya. Sepanjang jalan raya menuju pabrik itu, debu mengepul membuat pepohonan kehilangan warnanya. Jangankan berharap kepada mata air, selokan di sepanjang jalan raya itu hanya dialiri air saat hujan tiba kelewat melimpah, yang akhirnya membikin banjir.

Hari-hari Mohtar di rumahnya penuh dengan debu. Ruang tamu berdebu, ruang makan berdebu, kamar tidur berdebu, dapur dan MCK berdebu. Mohtar pernah berdamai dengan debu dan membiarkan makhluk itu bersantai lebih lama dari hari-hari sebelumnya. Namun akibatnya, Danang dan Robiah, kedua anaknya, harus akrab dengan penyakit ISPA ketika usianya masih belia. Dengan demikian, Mohtar dan istrinya harus bolak-balik ke klinik demi mengurus pengobatan anak-anaknya. Kekhawatiran istrinya berubah menjadi seorang pesakitan menyusul kedua anaknya.

Pada suatu siang, ketika istrinya hendak menyebrang jalan, sebuah mobil truk oleng melindas tubuhnya. Lukanya lebih besar ketimbang kemungkinan keselamatannya. Istrinya meninggal dunia di tempat kejadian perkara. Kemudian pabrik semen itu bertanggung jawab dengan memberikan Mohtar sejumlah uang. Namun, sejumlah uang tersebut tidak dapat menghidupkan kembali istrinya atau bahkan melenyapkan debu pada kehidupannya.

Mohtar yang pada awalnya berdamai berubah menjadi murka sebab debu tidak pernah berhenti menyakitinya, bahkan berkali-kali hingga kini usianya hampir senja.

Pernah pada suatu malam, ketika Robiah mengeluh sakit luar biasa di tenggorokannya, Mohtar segera menuju rumah tetangganya bermaksud meminjam kendaraan untuk membawa anaknya ke klinik terdekat. Namun sayang, tetangganya pun mengeluhkan penyakit yang sama.

Lalu Mohtar lekas pulang beserta kekhawatiran yang dipikulnya setiap waktu. Sesampainya di rumah, ada sesosok makhluk yang sedang menunggu tepat di depan pintu.

“Kau siapa? Ada apa malam-malam datang ke rumah saya? Saya sedang kesusahan. Tolong jangan membuat saya semakin repot.” Mohtar membelalak.

“Aku Debu. Maksud kedatanganku ingin menginap di rumahmu,” katanya.

“Makhluk sialan! Tidak ada lagi tempat bagimu di rumah ini. Dunia ini harusnya tidak memberikan tempat bagimu.”

“Tapi, kali ini aku bermaksud baik. Biasanya aku datang tanpa izinmu.”

Mendengar itu, Mohtar lekas membuka pintu lalu lari menuju dapur, mengambil gagang pel yang sudah dibasahi dengan sabun lantai.

“Cepat pergi dari sini atau akan saya musnahkan kamu sekarang juga.” tangan Mohtar seolah memegang tombak untuk berperang.

Debu kemudian lenyap, atau lebih tepatnya membiarkan tubuhnya terbawa angin.

Mohtar lekas menuju kamar Robiah. Batuk anaknya semakin parah. Mohtar berlutut memandang Robiah yang kesakitan.

Malam itu, Mohtar bersama anak lelakinya memapah Robiah ke klinik.

Hari-hari Mohtar dipenuhi oleh debu, meski berkali-kali ia meminta debu untuk tidak menetap di rumahnya. Mohtar tidak pernah berani mengosongkan rumahnya kecuali karena terpaksa harus mengurus anak-anaknya untuk berobat. Jika rumahnya kosong, debu-debu akan berpesta. Semakin lama Mohtar meninggalkan rumahnya, pesta akan semakin meriah.

Saudaranya menyarankan Mohtar untuk pindah saja karena kondisi rumahnya tidak aman untuk dihuni lagi. Anak-anaknya memang butuh udara yang baik demi pemulihannya. Namun, Mohtar selalu menanggapinya dengan kebingungan sebab uangnya tidak pernah cukup untuk sekadar menyewa kontrakan, apalagi membeli sebuah rumah.

“Cobalah merantau ke kota, Kang. Barangkali di sana lebih aman. Lagipula pabrik semen punya majikanmu itu ilegal. Kalau terjadi musibah, Akang tidak akan dapat jaminan apa-apa,” tandas saudaranya.

Mohtar tahu, tetapi pada usianya kini akan sulit mendapatkan pekerjaan. Hanya di tempat itu ia diterima. Lagi pula kota jauh lebih jahat daripada rumah yang ia huni sekarang. Begitu pikir Mohtar.

“Bagaimana jika anak-anakku tinggal di rumahmu untuk sementara waktu?” Mohtar mengajukan opsi lain kepada saudaranya.

“Tidak bisa, Kang. Kamu tahu sendiri anak-anakku ada lima dan tiga di antaranya masih kecil. Masih kecil!” saudaranya berkelit.

Mohtar memahami keadaan saudaranya. Memang tidak ada jalan lain kecuali bertahan di rumah sendiri daripada merepotkan orang-orang.

Urusan Mohtar dengan debu seolah tidak pernah selesai. Mohtar tidak pernah ingin berdamai dengan debu untuk kesekian kalinya. Ia akan bangun dari tidurnya ketika matahari belum benar-benar menyundul langit. Ia harus memastikan debu tidak menginap dan anak-anaknya bangun dengan keadaan baik.

Sehabis menunaikan salat Subuh, ia berbagi tugas dengan kedua anaknya. Danang bertugas mengepel teras dan menyapu pelataran rumah. Robiah bertugas membersihkan dapur sebelum menyiapkan sarapan.

Sedangkan Mohtar bertugas mengambil air dari sumur yang jaraknya dua ratus meter jika air di rumahnya sedang kering. Jika semuanya sudah ditunaikan, Danang dan Robiah akan berangkat ke sekolah dan Mohtar akan berangkat ke tempat debu lebih pekat daripada rumahnya sendiri.

Mohtar hari-harinya dipenuhi debu, bahkan di tempat ia bekerja. Pabrik semen itu berada di kaki bebukitan. Hanya butuh perjalanan tiga puluh menit untuk sampai di lokasi. Jika sedang beruntung, Mohtar akan ikut mobil bak yang akan mengangkut bongkahan batu kapur. Di sana Mohtar bertugas menghancurkan serpihan batu kapur yang telah dipanggang untuk diproses menjadi semen.

Suatu hari, ketika ia sedang beristirahat untuk yang kesekian kalinya, sesosok makhluk yang dulu sempat meminta izin menginap di rumahnya muncul kembali.

“Saya minta izin tinggal di rumahmu.”

“Anak-anakku sudah lebih baik sekarang. Terakhir kau datang, Robiah batuk parah,” Mohtar enteng meresponnya.

“Tetapi, kami tinggal di rumah-rumah tetanggamu.”

“Saya tidak peduli. Jangan mengganggu keluargaku lagi!” Mohtar mengibas-ibaskan tangannya kepada makhluk tersebut.

Kemudian tubuh makhluk itu berputar-putar membentuk sebuah pusaran berwarna pekat seperti angin topan. Pasir beserta benda-benda ringan di dekatnya terjerembab dalam pusaran tersebut lalu bersatu membentuk sebuah tubuh—beserta kepala yang memancarkan mata berwarna merah—tanpa kedua lengan dan hanya satu kaki sebagai pijakan.

Mohtar mundur tiga langkah, tetapi matanya tidak bisa berpaling dari makhluk di hadapannya.

Lalu setelah beberapa saat, barulah muncul dari sebelah kanan dan kiri makhluk itu pusaran angin kecil membentuk lengan. Bukan mundur, makhluk yang membentuk tubuh semakin mendekat lalu tangan itu menangkap leher Mohtar. Mohtar yang awas berusaha menggenggam lengan makhluk itu, tetapi percuma karena yang ia genggam hanya angin diselimuti debu. Pekat.

Makhluk yang menjelma angin berdebu itu mencekik Mohtar, mengangkatnya tinggi-tinggi. Kaki Mohtar berusaha menggapai bumi tetapi percuma. Setelah puas mengangkat Mohtar, makhluk itu masuk ke lubang hidung Mohtar. Mohtar menahan rasa perih pada mata dan hidungnya. Dada Mohtar sesak. Mohtar terkapar. Di tengah ketidakberdayaan itu, Mohtar memburu sesuatu yang merasuk ke dalam dadanya. Ia terbatuk-batuk.

Makhluk itu meninggalkan luka: sebuah penyakit paru-paru kronis yang membuat Mohtar tidak bisa lagi bekerja di sana sebab setiap udara yang ia hirup selalu membahayakan tubuhnya.

Kini ia lebih sering melap setiap sudut ruangan rumahnya. Sesekali memaki ketika ada mobil truk melintas untuk melampiaskan kekesalannya. Mohtar melihat makhluk itu bergelantungan pada badan truk, lalu turun di depan rumahnya. Gagang pel di tangannya tidak pernah ia lepaskan.

Pada usianya yang senja, Mohtar tidak mendapatkan jaminan apa-apa dari pabrik semen itu selain menjadi seorang pesakitan.


Related Post

No comments

Leave a Comment