Dear (yang ngakunya) Seniman, Berhenti Mengeluh dan Mulai Belajar seperti Rukiah

Arini

Berhenti mengeluh, mulai berkarya, dan belajar dari keteguhan Rukiah.

Dari semua perjalanan hidup yang membawa saya hingga saat ini, saya selalu percaya Tuhan selalu punya rahasia dan jalannya sendiri untuk menunjukkan takdir terbaik bagi kita.

Seperti weekend pada umumnya, saya meluncur ke Purwakarta untuk bertemu Yanyan dan Ade Subhan. Hari-hari sebelumnya saya mengajak dua orang tersebut untuk diskusi tentang Rukiah. Meskipun dengan susah payah dan sedikit guntreng (sebagaimana Yanyan dan Arini pada hari-hari biasa), saya langsung ngegas saja membuat poster diskusi kecil–kecilan.

Saya rasa ini penting. Mungkin banyak dari kita yang tahu Siti Rukiah, tapi sejauh mana kita mengenalnya?

Di perjalanan menuju Purwakarta, saya lantas mengingat sebuah momen tahun 2018. Saya sedang duduk di Jco Jatinangor Town Square setelah bermain danz-base ditemani pacar saya waktu itu. Ia lalu menyebutkan bahwa Bilven baru saja menerbitkan buku-buku penulis Lekra perempuan bernama Rukiah Kertapati. Saya yang menggeluti kajian sastra anak langsung tertarik.

Tak banyak berpikir, saya langsung minta diantar ke Cikutra. Saya dan si pacar waktu itu sampai di sebuah kompleks perumahan dan mengetuk-ngetuk rumah penerbitan yang temaram. Sempat mengira saya salah rumah, tapi kemudian seorang penjaga ke luar dan membukakan pintu. Saya lupa perangainya, yang jelas ia sudah cukup tua.

Kami diajak masuk dan sampailah saya di ruangan yang penuh dengan buku. Agak berantakan, tapi ya gapapa. Kami berbincang sedikit dengan Bilven. Ia cerita soal kepindahan Ultimus dari tempat sebelumnya sampai ke Cikutra itu. Akhirnya, saya membeli 3 buku Rukiah sekaligus. Tandus, Kejatuhan dan Hati, dan Pak Supi Kakek Pengungsi. Bilven kemudian menghadiahi sebuah naskah drama bersampul merah muda, saya lupa judulnya yang jelas buku itu adalah naskah drama perempuan-perempuan hebat terkait 65.

Setelah itu, barulah saya mengenal Rukiah. Si pacar yang waktu itu juga terus-terusan memutar lagu Dialita, begini liriknya,

Walaupun kini hujan deras menimpa bumi

Penuh derita topan badai memecah ombak

Gugur patria, tembok tinggi memisah kita

Namun yakin dan pasti, masa depan kan datang, kita pasti kembali

Saya masih mengingat momen-momen itu. Saya membuka lembar demi lembar buku-bukunya, dan saya mengingat betul tokoh Lukman dalam Kejatuhan dan Hati, nama yang sama dengan nama cinta pertama saya zaman sekolah dulu. Kalau kamu baca buku pertama saya ABAY, saya menulis begini,

Kejauhan dan Hati sampai di pangkuan. Ya tentu za sebagai anak baik, saya menghadiahi cinta pertama saya itu Kejatuhan dan Hati di hari ulang tahunnya. Angzay.

Beberapa waktu kemudian, betapa beruntungnya saya waktu Buruan.co membuat acara diskusi terkait. Saya masih ingat Pak Hawe dan Bilven datang dengan motornya yang melegenda itu. Menerjang kemacetan Bandung menuju Jatinangor.

Mengenang Rukiah di Aula PSBJ, dan banyak cerita yang mungkin tidak bisa saya sampaikan di sini. Menjadi sebuah kehormatan sendiri saya bertemu dengan anak Siti Rukiah yang bahkan menyamarkan namanya sendiri pasca 65. Terpisah dengan sanak saudaranya yang lain untuk menghindari kekejaman rezim saat itu.

Saya tidak menyangka saya akan seberuntung itu. Ia bercerita bagaimana perjuangan Bunda (Siti Rukiah) berjuang menghidupi keluarganya bahkan setelah ditangkap dan mengalami trauma, sampai akhir hayatnya tidak bisa bertemu lagi dengan cintanya, Sidik Kertapati. Saya mendengar Purwakarta, Rukiah, dan Hendra Gunawan dari cerita itu.

Tak menyangka, bertahun-tahun kemudian, saya malah aktif berkegiatan di Purwakarta bersama kawan saya Farid, Revi, dan teman-teman Nyimpang lainnya. Sampai sekarang saya bersama Yanyan dan Ade Subhan, kecil-kecilan membuka percakapan soal Rukiah.

Saya tak menyangka akan begitu dekat dengan Bunda Rukiah. Waktu itu nama Purwakarta memang bukan tempat yang asing-asing banget, in fact, Bunda saya pun KTPnya Purwakarta. Tapi saya juga gak ngerti kenapa akhirnya saya giat di Purwakarta. Hehe, dan dari semua perjalanan hidup yang membawa saya hingga saat ini, saya selalu percaya Tuhan selalu punya rahasia dan jalannya sendiri untuk menunjukkan takdir terbaik bagi kita.

Yanyan dan Ade Subhan sebagai big fansnya Rukiah pun turut memberi pengalaman dialog baru kepada saya. Diskusi itu kembali membuka jalur yang dilalui Rukiah. Mulai dari Bayu Asih yang kami yakini sebagai tempat Rukiah mengabdi, juga jalan dan tempat-tempat lain yang ditapaki Rukiah. Menyenangkan, bukan? Membaca buku dan kisah yang ternyata latarnya adalah kota yang sangat dekat dengan kita sendiri. Apalagi ketika bukunya mendapatkan penghargaan bergengsi pada masanya.

Kami lalu membayangkan pembicaraan-pembicaraan itu. Bersama dengan Aji Balong dan Jesswil yang turut menambah warna diskusi kami. Kami membayangkan seorang penulis dari kota kecil berada sejajar dengan para pejuang dan seniman besar lainnya. Kalau kata warganet sekarang sih, anak kabupaten, dan iya. Kami bangga jadi anak kabupaten karena “Anjay. Anak kabupaten junjungan kita mah Siti Rukiah nih, bos!”

Di tengah huru-hara RUU TNI, kami bercerita ngalor-ngidul ngomongin Siti Rukiah. Korban kekerasan rezim waktu itu. Biarlah namanya wangi, biarlah bukunya terus kami omongin, biarlah perjuangannya jadi contoh buat kita semua bahwa anak kabupaten juga bisa, kok. Blora punya Pram, Purwakarta juga punya Rukiah. Perjuangan gak cuma lahir di kota-kota besar, dan kita harus sadar itu. Perjuangan bukan cuma huru-hara dan berkarya ngejar ambisi buat viral, tapi juga senyap yang tiba-tiba harum, menjalar, dan berdampak buat sekitar. Seperti karya-karyanya beliau, seperti suara mesin jahit dan kue-kue kecil yang dijajakan buat terus menghidupi keluarganya pasca penangkapan. Perlawanan yang terus dilanjutkan lewat kata dan menyebar sampai saat ini.

“Rukiah aja bisa segitunya. Ya dari kota kecil yang kita kira gak ada apa-apanya gitu kan ya, tapi tetap dia bisa. Kita juga harus belajar ngeliat ke situ.” kata Yans.

Iya, betul memang. Selama ini kita selalu melihat peluang berada di kota-kota besar seolah kota sendiri gak punya apa-apa, ngeluhin kota sendiri tapi saking seringnya ngeluh, kita sampai lupa berjuang, kita sampai lupa sama kualitas karya sendiri. Dunia gak pernah berpihak, pemerintah gak akan pernah adil. Maka berhenti mengeluh dan mulai belajar seperti Rukiah. Jangan merasa agul ku payung butut dan terus-terusan ngeluh padahal berjuang aja masih setengah-setengah, masih bagi ego sama keinginan buat dikenal jadi yang paling ‘sebagai’ seperti diriku. Aiyo iyo iyo.

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik. Buku kumpulan puisinya As Blue As You telah diterbitkan di Pustakaki Press. Juni 2023 telah mengadakan Pameran Tunggal bertajuk A Quarter Century untuk mempertunjukkan hasil lukis sekaligus merayakan kelahiran buku keduanya, Jayanti. Buku ketiga, Notes of The Lost Sheep baru saja diterbitkan.

Related Post

No comments

Leave a Comment