Kepada teman-teman menyenangkan di IAT Pascasarjana UIN Bandung & kawan-kawan mahasiswa IAT di STAI Al-Muhajirin. (Khususon Hariri, Acep, Aldi, Sigit, Maolidya, dan Lael. Dua nama terakhir saya sebut, biar tidak dirujak peminat tafsir feminis. Nama lain tidak disebut, karena belum akrab saja. Terutama yang menyebut dirinya “Petualang Cinta”. Tobatlah, Nji. Tahun berapa ini? Wkwk
Dasar dari surat terbuka ini sederhana. Saya ingin meyakinkan diri bahwa di hari saat memutuskan mengisi formulir Pascasarjana IAT UIN Bandung, saya tidak sedang mengambil keputusan yang ceroboh. Kemudian, karena Acep berkali-kali bilang:
“Mang ajakin kita semua rajin baca dan nulis, biar lincah menulis dan tahan membaca.”
Yang pertama mudah saja. Yang kedua agak tricky, ini jelas bukan tanggung jawab saya, lha wong saya tidak sejago dan serajin yang dikirakannya, plus ada yang lebih tepat mengambil role itu. Tapi ya sudahlah. Senang rasanya punya alasan untuk berkorespondensi (dalam bentuk tulisan dan bacaan) dengan teman-teman penstudi Alquran dan Tafsir. Lagipula, ngomongin sastra, politik lokal, dan skena kesenian melulu kadang bikin hopeless.
Baiklah, karena itu saya ingin sampaikan tiga hal, dan berharap anda mau bertahan sampai poin kedua saja. Biarkan poin ketiga untuk orang-orang yang stok energinya melimpah-limpah seperti Icun saja.
Pertama: Mengambil jenjang S2 adalah pilihan yang besar
Saya yakin melanjutkan kuliah di masa ini bukanlah keputusan yang setara dengan check-out barang-barang unik di Shopee. Beberapa dari kita mesti bersiasat dalam banyak hal, tabungan, pos-pos energi, dan budget waktu. Membagi antara belajar dengan bekerja, nugas dengan mengurus keluarga, dan seterusnya.
Jika ada yang merasa semua ini terlalu overwhelming, saya yakin itu valid. Tiga bulan lalu saya terpaksa menolak project yang bikin gigit jari. Setiap teringat itu rasanya ingin mencebur di kolam tengah kampus 2 UIN. Menjadi angsa atau ikan mas sepertinya lebih menarik.
Kemudian saya merefleksikan semua ini perlahan, dan saya mau ajak teman-teman juga menyusuri perasaan semacam ini.
Saban kali kita mengambil keputusan sebesar ini, di usia ini, bukan cuma diri kita yang berkorban. Ada calon pasangan yang rela menunda keinginannya hidup bareng kita; atasan yang memberikan kelonggaran jam kerja; saudara yang memberikan subsidi semampunya; dan daftar ini bisa lebih panjang lagi. Poinnya, ada orang lain di sekitar kita yang juga berkorban dan kadang kita kurang notice karena terlampau fokus pada diri sendiri.
Saya tidak bilang, bahwa kebaikan mereka seperti pinjaman yang wajib dikembalikan. Melainkan percaya, bahwa saat kita memimpikan sesuatu, maka Allah gerakkan semesta untuk membuka jalan. Dengan cara yang acapkali kita gak notice.
(Astaga. Saya terbaca seperti sedang menceramahi. Maafkan.)
Intinya jika semua kadang terasa nyaris tak tertanggungkan, saya harap kita semua mengerti, kita sedang lakukan hal yang bermakna.
Kedua: Jika Alquran adalah jawabannya, maka apakah pertanyaan-pertanyaannya?
Berikut pertanyaan-pertanyaan yang bisa saya kumpulkan.
Apa yang kita baca sejak kecil dan terus-terusan mendebarkan dada kita?
Apa yang kita baca sampai sekarang tapi masih sering membuat dahi kita berkerut?
Anda boleh menambah jumlah pertanyaan ini sesuai dengan pengalaman personal masing-masing. Dan setiap pertanyaan ini saya yakin akan menegaskan kembali, kenapa kita masih mau-maunya memaksa diri masuk kelas, meski dalam keadaan dongkol. Atau beradu argumen saat ngopi di luar kelas dengan gairah yang meluap-luap.
Mau diakui atau tidak. Kita didorong oleh gairah untuk lebih dekat dengan Alquran. Dengan tingkat obsesi yang ganjil, nyaris sepadan dengan obsesi remaja kita pada tipe-tipe kekasih idaman–atau silakan buat perumpamaan lain. Yang jelas, kita memikirkannya, membicarakannya, mendebatkannya, sekaligus menertawakannya. Semalam saya merasa lucu sendiri masih berdebat tipis-tipis dengan Icun dan Acep soal bedanya metodologi dan corak tafsir.
Saya kadang membayangkan percakapan kita mungkin mirip-mirip obrolan Phil. Sahiron dan teman-temannya saat mereka masih sarjana muda dan suka mengutang di warung kopi. Saya percaya obsesinya pada hermeneutika Alquran tak mungkin lepas dari budaya obrolan di circle pertemanannya.
Karena jujur saja membayangkan bakal nongkrong dengan teman-teman adalah satu hal paling menyenangkan meski harus berserapah setiap mandi jam 3 pagi dan pergi mengejar kereta Purwakarta-Bandung.
Jadi, alangkah baik jika kita mau temukan alasan-alasan (rangkai tanya dan jawab) yang paling relate dengan hidup kita, berikut perkawanan dan percakapan yang menyenangkan dalam journey ini.
Ketiga: Jika Anda punya waktu …
Saya mengajak teman-teman untuk menulis topik-topik dalam Alquran dan tafsir sebagai bentuk refleksi diri di portal ini.
Sebuah interaksi dan renungan yang personal, yang unik, yang mengekspresikan obsesi dan gairah kita pada salah satu fenomena (untuk tidak menyebutnya buku) paling tua, dan memiliki ikatan mendalam dengan hidup kita.
Tidak perlu serius dan akademis. Kita sama tahu menulis dengan format begitu bisa melelahkan, bahkan bikin sebal sendiri.
Kita coba saja dengan topik-topik ringan, dan gaya menulis yang suka-suka–asal kaharti. Seperti bagaimana ayat-ayat tertentu punya makna khusus bagi hidup kita secara personal, karena “menguatkan” diri kita di masa-masa sulit. Atau percakapan unik orang yang tak sengaja kita curi dengar di kafe-kafe sambil bawa-bawa ayat al-quran. Apa pun. Asal tidak memberatkan diri, dan membuat kita semakin ringan hati atau sambil haha-hihi membicarakan kajian Alquran dan tafsir seperti di tongkrongan dan kedai kopi.
Dengan cara begini saya percaya, bakal terbangun engagement yang personal dan mendalam pada al-quran sekaligus melatih kelincahan menulis dan daya tahan membaca. Hal yang secara inheren harus ada pada seorang penstudi Alquran dan Tafsir.
Ngomong-ngomong saya tertarik ingin tahu apa yang Ust. Hariri temukan dengan kebiasaan orang Sudan saat ramadan. Apakah mereka seperti di kita, menyetel rekaman Syaikh Misyari Rasdyid di TOA masjid saat jam 2 dini hari?
Membikin kita bingung, mau ikutan tadabur, atau mengutuk takmir masjid yang solehnya keterlaluan itu.
Ala kulli haal… begitulah.
Ps: Jika anda tertarik, anda bisa kirim tulisan Anda ke kontak personal saya. Santai saja. 🙂
Beberapa contoh tulisan yang menurut saya santai dan mudah ditulis bisa dilihat di link-link berikut:
- Ayat-Ayat Pencela Ahok oleh Ahmad Farid
- Keniscayaan Tafsir Sosial oleh Zulkarnaen