Di Tengah Keributan Ini, Izinkan Swarsa untuk Ikut Log-in
Aku suka keributan. Begitulah kira-kira kalimat yang diucapkan saat melihat perang saudara antara komunitas anak muda yang membawa obor literasi di Purwakarta. Dari sekian komunitas yang saling membalas pesan itu, saya cukup akrab dengan Nyimpang dan Kopel, karena selain pernah menjadi koordinator Sastra Kopel zaman heubeul, saya juga sempat jadi kontributor di laman Nyimpang saat masih belajar menulis sampai sekarang (kalau mau).
Tapi, bukan berarti saya dekat dengan dua komunitas itu, lantas saya akan membela Hadi dan Farid apalagi dengan mengaku-ngaku jadi Faridisme atau Hadisme kayak si Rey.
Sebagai anak bawang yang nggak tahu banyak soal literasi, saya kira, keresahan yang dibawa Amar bisa jadi membawa berkah. Katakanlah, jika interaksi balas-balasan pesan ini terus terjadi, orang akan rajin menulis dan membaca, hal ini bisa jadi peluang untuk membangun ruang terbuka agar saling bertukar pikiran (di samping pamer ego dan kontribusi) lalu dibawa ke tempat ngopi dan terjadilah ruang kolaborasi yang diinginkan Amar. Jangan lupa ajak Duta Baca Purwakarta sekalian. (Editor: kita ge penasaran mereka sebenarnya ngapain aja)
Amar cukup beruntung sebab keresahannya direspon dengan tulisan lagi. Berbeda dengan saya yang pernah menulis surat terbuka untuk HMI, boro-boro dibalas tulisan yang ada malah tumpukan daftar misscalled dari nomor yang nggak dikenal dan dikirimi banyak pesan protes agar tulisannya di take-down. Hih. Nggak seru banget~
Melihat orang-orang ini saling beradu sungut, membuat saya ingin mencurahkan isi hati dan isi kepala yang saya pendam bertahun-tahun.
Kita tahu ada banyak sekali komunitas yang menjamur di Purwakarta, lalu saya berpikir:
“Apakah komunitas-komunitas ini sudah menjadi ruang aman bagi anggotanya?” Terserah masa depan literasi ini mau kalian bawa kemana, tapi,
“Apakah komunitas- komunitas ini sudah menjadi ruang aman bagi anggotanya?”
Sengaja saya ulang dua kali, mengingat ruang aman seringkali jadi persoalan yang diabaikan. Bisa jadi karena tidak teredukasi, bisa juga karena denial bin bebal. Ruang aman; bisa terbangun jika literasi komunitas itu sudah oke. Sebab jangan-jangan kita jadi terlalu banyak bicara soal masa depan yang masih panjang, namun juga masa bodoh dengan hal-hal kecil di sekitar kita.
Ruang Aman di Lingkaran Komunitas, Penting nggak, sih?
Pada tahun 2020, Swarsa menerima beberapa email yang berisi laporan kekerasan seksual di Organisasi dan komunitas Purwakarta. Itu pun yang baru terlapor, karena dicurigai masih ada kasus lain yang belum terungkap.
Pelaku rata-rata adalah 1 orang yang memegang jabatan di Organisasi atau Komunitas tersebut. Tuh kan. Itu artinya, motif dari adanya kasus kekerasan ini tidak lain adalah ketimpangan relasi kuasa. Alasan yang cukup familiar di kasus-kasus KS yang lain.
Jujur, sebernarnya dari sekian banyak jenis kolaborasi, saya amat berharap untuk bisa membahas pentingnya ruang aman di lingkaran komunitas. Sebab, usaha-usaha yang dilakukan swarsa terasa sia-sia jika tidak menembus sistem komunitas itu sendiri alias alasannya udah kayak anak ormek (organisasi mahasiswa eksternal) yang mau nyaleg dengan alibi mengubah sistem dari dalam. Anjay~
Justru, keberadaan ruang aman di lingkaran kecil–bahkan besar sekalipun, menandakan komunitas itu sudah maju dan manusiawi. Karena ada banyak sekali literatur yang menjelaskan bagaimana batasan antar anggota yang dibangun dalam gerakan. Ngaku si paling literasi tapi masih ngerasa pang-aingna di hadapan anggota lain, apalagi sampai modus minta berduaan di sekre dengan alasan bahas proker. Halah, tai pedut, lah!
Jalan untuk membangun kesadaran itu ada buanyak kok, nggak melulu harus manggil Swarsa si paling gender (sumpah ini mah bukan editor yang bilang). Bisa diawali dengan menggelar bedah film/buku yang membahas isu KS, mengadakan lingkaran cerita yang jadi andalan Swarsa kalau setiap kumpul: kami melingkar dan saling mendengarkan anggota yang bercerita tentang kejadian apa yang membuat gelisah. Secara tidak sadar, kebiasaan itu akan membuat bonding dan ikatan antar anggota jadi semakin kuat.
Jadi, daripada fokus melulu soal proker dan target, coba sesekali anggotanya tanya, bahagia nggak berada di komunitas ini? Ada perkembangan nggak selama bersama- sama disini? Apa yang membuat kamu nggak nyaman?
Soalnya, kalau terlalu fokus sama proker apalagi ditekan dengan kejaran deadline bertubi-tubi, yang ada bukannya mengembangkan bakat, malah kayak buruh pabrik bari jeung teu dibayar.
Sekali lagi, di luar konteks masalah literasi yang kalian ributkan, saya cuma menyampaikan keresahan yang saya bisa dan saya tahu. Apalagi Swarsa sudah empat kali di sebut di esai mereka membuat saya terbangun dan menggebrak meja sambil bilang “Euh, kudu miluan nulis ieu mah!”
Akhir kata, saya berharap banyak pada kalian para wali songo literasi Purwakarta agar membangun lingkaran yang sehat dan jauh dari kekerasan. Pesan saya cuma satu: cik atuh Kopel teh ngarekrut editor, wak.