“Sayang, gadein HP kamu dong.”
“Ya udah kita nikah tapi kamu aja yang cari uang, ya.“
“Yang, ke rumah dong. Kosong, nih.”
“Kamu pegang duit cash gak? aku laper.”
“Yang, minta 50 dong aku mau nyelot.”
“Ih kok kamu pelit banget, sih!” dan yang lebih parah, “Nya sia lah nu gawe. Hakan weh tah feminis!” katanya sambil menghisap rokok menang menta,
dan kata-kata ngemis tolol lainnya yang keluar dari mulut manusia paling gak berguna, toxic, dan bersifat parasit itu. Atau bisa juga kata-kata seperti,
“Iya, nanti aku cari kerja.” nanti-nanti begitu terus sampai Prabowo jadi Pemred Nyimpang.
Teman saya kemarin cerita begini,
“Geus mah duit dipake, tanaga dipake, otak dipake, awak dipake.” katanya misuh-misuh sambil rada ceurik saeutik dan melirik ke saya. Sedikit menyindir, tapi gakpapa lah.
Saya dikelilingi dengan perempuan-perempuan hebat yang nihil untuk jajan tinggal namprak. Diantara teman-teman perempuan saya, siapa yang begitu? gak ada tuh. Sudah menikah, belum menikah, ataupun memutuskan buat tidak menikah, gak ada teman saya yang ahhhh duit mah tinggal menta. Tapi, yes. Semua teman perempuan saya adalah tulang punggung keluarga. Sekali lagi: belum menikah, sudah menikah, ataupun tidak menikah. Semuanya adalah tulang punggung. Ke depannya, mungkin saya akan bikin paguyuban dengan nama Arin and The Backbone(?)
Meskipun ya saya akui kadang banyak juga kok yang mikir gitu. Ketika hidup terasa sulit, kita justru terjebak dengan mindset semacam,
“Duh kalau nikah kayaknya semua beban finansialku sebagai generasi sandwich akan mereda.”
“Kalau nikah, aku gak usah kerja dan aku tinggal minta duit sama suamikyuhhh,”
“Duh, enaknya nikah. Tinggal diam di rumah, beres-beres, selesai deh~”
Saya adalah satu diantara yang ketika capek sempat punya pikiran seperti itu, dan saya akui itu adalah ketololan. Padahal, tidak semua laki-laki yang punya duit adalah laki-laki waras. Tidak semua laki-laki yang punya duit adalah laki-laki bertanggung jawab, tidak semua laki-laki yang punya duit adalah laki-laki yang peduli dengan kebahagiaan kita.
Saya gak peduli sama urusan rumah tangga orang lain, proses PDKT orang lain, tapi ketika ada yang curcol ke saya, entah kenapa mulut ini begitu gatal dan merasa perlu mengeluarkan kata-kata kotornya.
Bayangkan ketika kamu berperan sebagai tulang punggung, lalu kamu harus menghidupi 1 orang lain yang bisanya hanya meminta makan dan rokok. Bayangin ketika kamu harus bekerja sambil menahan rasa lapar untuk memilih ngisi bensin supaya besoknya tetap bisa berangkat, PDKT-anmu seenaknya memilih menu di GoFoodmu, dan ketika dia sudah telanjur menghabiskan uang kita terlalu banyak lalu kita mengingatkannya buat cari uang, dengan petantang-petenteng mulutnya ngomong,
“Ah, aku sih gak percaya bisa masuk kalau gak pake orang dalem.”
“Ah, aku gak kerja sama kapitalis,”
“Ah, blablabla.”
“Ah, nyanyanyenye.”
Nyalah-nyalahin sistem dan berlindung dibalik mental malas dan kegamblingan “Ah, gampang lah masih ada hari esok. Rezeki mah gak akan ke mana.” Sampai uh-ah-uh-ah tapi gawe hanteu, usaha ge hanteu. Sakalina usaha, dipake meuli mabokan da dahar jeung rokok mah bisa menta keneh ka si sayang. Enyahlah ke neraka. Laki-laki atau perempuan, tubuhmu adalah tanggung jawab kamu, kebutuhanmu adalah tanggung jawab kamu. Semua yang kamu gunakan untuk keberlangsungan hidup kamu adalah tanggung jawab kamu, bukan pasangan. Gak malu emang kalau namamu diomongin di forum? eh iya lupa kan memang gak punya malu. Xixixi.
Keren!! Sangat representative 👍
Halo terima kasih sudah membaca artikel Nyimpang:)