Apa kabar kawan-kawan mahasiswa Purwakarta?
Di zaman yang serba cepat, banyak hal yang perlu untuk diperbaharui. Apalagi perubahan yang terjadi dewasa ini begitu signifikan, terutama di dalam perkembangan teknologi dan digitalisasi yang begitu masif. Saya kira itu juga yang terjadi di kampus-kampus kita secara samar-samar. Kuliah setengah zoom setengah face-to-face, program Kampus Merdeka, dan lainnya.
Youval N. Harari menggambarkan dalam bukunya Homo Deus bahwa kehidupan kita sampai di titik yang ganjil. Bayangkan, bagaimana angka kematian tertinggi di zaman ini bukan lagi karena kelaparan, melainkan karena obesita. Dan angkakematian kelebihan makanan ini malah melebihi jumlah korban perang dunia ke -2. Kita tidak mati kelaparan, melainkan mati kekenyangan.
Hal serupa juga dapat kita lihat pada Covid-19, yang notabene menjadi pandemi di seluruh dunia, namun hari ini manusia bisa mengatasinya dan meminimalisir angka kematiannya. Tidak seperti wabah Maut Hitam yang meletup pada dekade 1330, yang mana 75-200 juta jiwa mati, melebihi populasi Eurasia. Bahkan pada tahun 1979 Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan manusia telah menang melawan wabah cacar dengan vaksinasi cacar.
Dari kurun antara 1330, 1979, dan 2022, kita melihat perbedaan yang signifikan. Artinya, manusia berkembang dan berevolusi; baik dari sosial, ekonomi, politik dan kultur berubah seiring perubahan zaman dan ilmu pengetahuan. Kita bisa makan dan mengatasi wabah dengan lebih baik dari zaman-zaman yang lampau.
Hari ini bagaimana langkah yang akan diambil oleh kita sebagai masyarakat yang memiliki status sosial sebagai “mahasiswa” mengenai perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar kita?
Isu-isu mengenai Bonus Demografi, Generasi Z, SDGs atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Pembangunan Berkelanjutan, serta Revolusi Industri 4.0. Hal-hal ini merupakan isu strategis dalam menentukan berbagai langkah menjemput kemajuan.
Dalam menghadapi bonus demografi misalkan, pada 2030 usia produktif akan menjadi mayoritas populasi. Dalam kasus ini kita bisa mengambil peran untuk menyiapkan usia-usia produktif ini sebagai mayoritas yang berkualitas. Sehingga mampu bersaing dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang akan terjadi di masa mendatang.
Belum lagi berbicara 17 point pembangunan berkelanjutan yang menjadi prioritas seluruh negara di dunia, contoh mengenai pendidikan berkualitas.
Pertama-tama: Pendidikan Berkualitas
Bagaimana kita hari ini ikut terlibat sebagai subjek yang merasakan bahwa pendidikan hari ini perlu adanya evaluasi, maka peran kita sebagai subjek harus berperan lebih untuk menciptakan suatu pendidikan yang berkualitas.
Oleh karenanya banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai “mahasiswa” dalam mempersiapkan diri dan masyrakat untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Kuncinya adalah kita sebagai “mahasiswa” yang memiliki kesadaran lebih awal melakukan langkah-langkah yang strategis dalam menghadapi perkembangan zaman.
Sebagai warga masyarakat Indonesia, khusunya di Kabupaten Purwakarta apalagi yang memiliki tittle sebagai mahasiswa maupun sarjana, untuk mengembangkan dan mengeksplorasi dengan ilmu yang dimiliki dalam melakukan perubahan dan penataan di lingkup daerah. Maka perlulah forum-forum yang mengkaji secara inplisit mengenai potensi dan peluang yang di miliki oleh daerah kita dalam menghadapi, dan mempersiapkan generasi yang akan datang.
Tanggung jawab sebagai agent of change, social control, dan iron stock itu terdapat pada mahasiswa. Bagaimana mahasiswa menjadi agen perubahan di desa-desa, mengontrol dan mengawasi sistem sosial-politik yang berlangsung, serta menyiapkan generasi-generasi unggul untuk masa yang akan mendatang. Berangkat dari kesadaran diri akan tanggung jawab yang begitu besar sebagai “mahasiswa”, perlu diadakannya forum-forum untuk menyatukan persepsi.
Kesadaran kolektif yang perlu dipupuk
Kesadaran kolektif menjadi kunci dari keberhasilan gerakan perubahan. Jika tidak ada kesadaran kolektif perubahan itu akan sulit terjadi. Maka kesadaran kolektif yang sudah dibangun di dalam organisasi kemahasiswaan, atau paguyuban perlu dipersatukan menjadi satu kekuatan.
Bayangan saya, gerakan yang dilakukan cukup sederhana, menyesuaikan dengan kemampuan dan keahlian diri ataupun kelompok. Misalnya setiap golongan akan dikelompokkan menjadi kelompok kerja, dimana dari masing-masing kelompok akan terjun sesuai kemampuan dan keilmuan yang dimilikinya.
Purwakarta memiliki 17 kecamatan, terdiri atas 9 kelurahan dan 183 desa. Dari masing-masing kelompok akan memilih pos atau tempat penelitiannya disesuaikan dengan bidang yang akan diteliti dan daerah representatif penelitian tersebut. Maka dari hasil penelitian akan ditemukan suatu persoalan dan solusi yang harus dilakukan, dengan metode tersebut kita akan lebih tepat sasaran, sebab sudah sesuai data dari hasil penelitian.
Namun sangat disayangkan, kesadaran ini tidak dimiliki oleh setiap individu maupun kelompok, dari individu dan kelompok mempunyai egosentris yang kuat serta mengakar. Kita lupa filosofi gotong-royong. Padahal pepatah bilang, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Apabila memikulnya secara bersamaan maka akan lebih mudah menciptakan suatu perubahan. Namun jika semua berjalan masing-masing, maka perubahan itu tidak akan tercipta. Karena yang ada adalah berebut kekuasaan untuk menunjukkan bahwa kelompoknya-lah yang mampu membawa perubahan.
Kalau sudah begini, perubahan hanya akan menjadi utopia (ilusi) belaka. Perubahan yang diharapkan tidak akan terwujud ketika masih mempertahankan egosentris kelompok. Hal ini akan terwujud apabila kita meleburkan egosenterisnya menjadi suatu gerakan bersama dalam mewujudkan suatu perubahan yang nyata. Tidak ada superman di dunia ini, yang ada hanyalah super-tim.
Bukan perihal siapa yang memimpin, tapi ini perihal seberapa solid tim ini bekerja. Bukan Anne atau Dedi Mulyadi yang hebat, tapi tim yang membersamai dan bekerja dengan solid di berbagai lini. Ini bukan ajang untuk menunjukan kelompok kami-lah yang paling hebat, namun kesadaran atas nama dan tanggung jawab yang diemban sebagai mahasiswa.
Tidak perlu membanggakan sejarah yang sudah berlalu, karena sejarah belum berakhir. Sejarah terus berjalan ke depan. Jangan hanya membanggakan apa yang dilakukan dan diraih oleh para pendahulu, sudah tentu hari ini dan hari lalu berbeda. Tinggal bagaimana kita hari ini menjadi pecipta sejarah yang baru. Tssaah!
Comments 1