“Sejauh apapun kamu pergi, jangan sampai lupa kampung halaman, dan ingatlah untuk pulang,” itulah kalimat yang diucapkan oleh banyak orang tua waktu melepas anaknya ke perantauan. Hal itu pula yang selalu diucapkan oleh orang tua saya. Bagi saya, kalimat tersebut bermakna agar kita bisa memberikan kontribusi untuk kampung halaman.
Saya jadi teringat suatu kejadian …
Suatu hari ketika saya sedang bermain di sungai. Kemudian speaker masjid berkumandang menyampaikan berita duka. Tidak berselang lama, terdengar suara sirine ambulans lewat. Saat itu, saya masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 4.
Sesampainya di rumah, saya menanyakan kepada Ibu siapa yang meninggal, sebab tidak ada nama tersebut di desa saya. Lalu ibu menjelaskan bahwa orang tersebut sudah lama merantau, hidup di perantauan hingga memiliki anak dan cucu, dan sudah lama sekali tidak pulang kampung. Waktu itu karena saya masih kelas 4, saya jadi cuma “Oh,” saja
Tapi dewasa ini, saya dihadapkan pada sebuah realita di pedesaan yang kira-kira begini lah kalau dibunyikan
Jika ingin sukses maka pergilah merantau, dan tentu saja Jakarta menjadi tujuannya.
Maka tidak mengherankan, banyak dari orang kampung, selepas lulus sekolah menengah memilih untuk pergi merantau.
Menurut saya, secara umum ada 2 tipe perantau. Tipe pertama adalah mereka yang masih sering pulang kampung. Umumnya, si tipe pertama ini mereka yang berkeluarga dengan orang di kampung halamannya juga.
Bikin rumah di kampung halaman, anak-istri/suami tinggal di kampung halaman, kartu identitas masih kampung halaman. Meskipun jarang di rumah, mereka masih tetap memberikan kontribusi untuk kampung halaman, seperti iuran pembangunan masjid, dan iuran lainnya.
Tipe kedua adalah mereka yang jarang pulang kampung. Umumnya mereka berkeluarga dengan orang jauh, bikin rumah di tanah rantau, kartu identitas pun bukan lagi kampung halaman, melainkan tanah perantauan. Biasanya pulangnya cuman 1 tahun sekali, bahkan ketika sudah tidak ada orang tua di kampung halaman, memutuskan tidak pernah pulang ke kampung halaman.
Ketika saya pergi merantau untuk keperluan pendidikan, saya banyak menemui orang yang ternyata masih satu daerah, dan kebanyakan mereka adalah tipe perantau kedua.
Saat itu, saya sedang naik Transjakarta, mungkin karena tampang saya begitu kentara sekali, bapak-bapak yang duduk di samping saya langsung mencerca dengan pertanyaan
“Kamu aslinya Tegal?”
Tentu saja saya menjawab iya. Yang terjadi selanjutnya, bapak-bapak tersebut bercerita penuh antusias kepada saya. Dari cerita tersebut, saya tahu kalau ternyata bapak-bapak tersebut masih satu daerah dengan saya, tetapi ia sudah menetap lama di Jakarta hingga punya anak cucu.
Kemudian saya menanyakan pertanyaan semacam,
“Ada rencana pulang dan tinggal di Tegal lagi gak, Pak?”
Ia pun menjawab bahwa dirinya ingin ketika meninggal dimakamkan di kampung halaman.
Ternyata, 2 orang teman sekelas saya di kampus juga berasal dari Tegal, namun sejak lahir hingga saat ini mereka tinggal di Jakarta. Kemudian saya pun mengajak mereka untuk bergabung IMT (Ikatan Mahasiswa Tegal) namun mereka malah menolaknya. Yowis. Gakpapa, gak ada yang salah, lagipula berkontribusi untuk kampung halaman gak hanya dengan masuk organisasi. Tapi melihat fenomena demikian, saya jadi berpikir. Orang pergi merantau, tidak memberikan kontribusi ke kampung halaman, tapi giliran meninggal dimakamkan di kampung halaman. Membuat saya bertanya-tanya,
Masa iya sih kampung halaman hanya menerima mayitnya saja?
Saya rasa kampung halaman lebih daripada tanah untuk kita mengubur diri. Lebih dari itu, kampung halaman sudah seharusnya jadi tempat mengabdi.
Maka, jangan sampai lupa kampung halaman. Merantau boleh saja, tapi harus memberikan kontribusi untuk kampung halaman. Bagaimanapun caranya, apapun yang kalian lakukan, jangan lupa untuk selalu melekatkan diri dengan asal kalian. Mulailah bangga jadi bagian dari kampung halaman, dan jangan lupa pulang:)