Dari WC Umum ke Ruang Konseling

Gusta

Kalau misalnya “tahi di dalam perut” kita analogikan sebagai stres, maka proses masuk WC, duduk di atas kloset, dan akhirnya releasing itu persis kayak proses konseling.

“Eh, eh, Pak! Pelan-pelan nyetirnya, aduuh kok kebut-kebutan banget sih? Takut aku.”

“Duh, emergency ini. Urgent! Tuh di depan ada pom bensin. Sebentar ya, aku udah gak tahan nih.”

Tin-tin-tin!

Klakson kubunyikan berkali-kali, seolah bisa menyapu mobil-mobil di depan.

Ckiit!

Mobilku belok mendadak dan ngerem tepat di depan tulisan WC Umum.

Rem tangan kutarik barengan sama handle pintu yang kubuka. Ambil recehan dua ribu, lompat dari kursi supir, lari-lari sambil buka sabuk dan kancing celana, nyari plang bertuliskan WC Pria. Begitu nemu pintu yang terbuka, langsung masuk tanpa pikir panjang. Tutup pintu, celana dilorotin, pantat diposisikan pas di atas kloset.

Prrrt prrrt prrt
Dengan wajah penuh kelegaan, keluarlah suara lega paling universal sejagat:
“Aaaah.”
Pertanda bahwa beban yang ditahan akhirnya lepas juga.

Sepuluh sampai lima belas menit kemudian, setelah tombol flush ditekan, pantat disemprot, celana dipasang, sabuk dikencangkan, kalimat otomatis kedua pun keluar:
“Nikmat mana lagi yang kau dustakan.”

Dengan wajah bahagia kayak baru lolos dari pertempuran tanpa luka, aku berjalan ke luar dari toilet.

Langkahku enteng banget. Napas teratur. Perut kuusap-usap penuh bangga. Dalam hati rasanya pengen teriak,

“Aku bebas, oh oh!” atau “Aku merdeka!”

Masuk mobil, kulihat muka istriku yang asem sambil scroll reels di Instagram.
“Udah?” tanyanya ketus.
“Udah dong. Maaf ya, tadi udah diujung banget, makanya ngebut.”

“Makanya, lain kali kalo mau jalan, buang dulu. Repot jadinya kalo mesti bawa beban ke mana-mana. Bahaya tahu gak?”

Denger itu, otakku langsung nge-klik sesuatu, bertepatan dengan kami yang lagi OTW ke seminar yang harus kuisi. Judulnya “Pentingnya Konseling Bagi Gen Z untuk Tetap Sehat Mental di Lingkungan yang Toxic.”

“Eh, muka aku berubah gak sih, sebelum dan sesudah ke toilet tadi?” tanyaku ke istri.

“Hah? Kenapa emang?”
“Jawab aja. Berubah gak?”
“Iyalah! Tadi tuh muka tegang, merengut, nyetir juga kebut-kebutan. Sekarang? Senyum-senyum, geraknya pelan, malah sempet minta maaf.”

“Emang iya?” pancingku sambil senyum.
“Emang enggak?” balasnya sambil melotot.
“Yuk, jalan lagi. Pake sabuk pengaman.”

Sejak mobil keluar dari pom bensin dan kembali ke jalan, aku mikir jawaban istriku tadi. Tentu sambil tetep fokus nyetir ya, biar gak nabrak. Mau tau apa yang kupikirin?

Menurut Carl Rogers, bapaknya psikologi humanistik, dalam teori Person-Centered Therapy, konseling itu menyediakan ruang aman (safe space) bagi klien untuk ngalamin catharsis—pelepasan emosi. Di situ klien bisa tumbuh, diterima apa adanya, dan pelan-pelan nemu kepercayaan dirinya lagi.

Stres sering muncul (satu diantaranya) karena kita ngerasa gak diterima. Tapi, di ruang konseling, ada sosok profesional yang empatik, gak nge-judge, dan bikin kita nyaman buat buka diri. Kayak… pas kita masuk kamar mandi. Aman. Tertutup. Bebas.

Kalau misalnya “tahi di dalam perut” kita analogikan sebagai stres, maka proses masuk WC, duduk di atas kloset, dan akhirnya releasing itu persis kayak proses konseling. Kita ngerasa aman di ruang pribadi, bisa melepas semua yang mengganjal. Dan, yes, saat beban-beban itu keluar… lega banget, kan?

Proses ngejan—sampai nahan napas dan mikir “ayo dikit lagi!”—itu bisa dibilang bentuk kecil dari terapi. Perlu kepercayaan diri dan keberanian buat ngeluarin beban. Sama kayak waktu kita cerita soal trauma atau kecemasan kita ke psikolog. Kita diterima. Diarahkan. Dikasih tanda-tanda—kayak tulisan di WC:

Jangan jongkok di kloset duduk. Jangan buang pembalut ke dalam kloset. Putar tuas untuk menyiram.

Petunjuk-petunjuk itu yang ngebantu kita buat gak bingung lagi.

Setelahnya, kita keluar dari ruangan itu dengan wajah yang beda. Lebih tenang. Lebih yakin. Lebih tahu arah hidup sama seperti abis berak.

Kita jadi lebih rasional. Perasaan lebih nyaman. Percaya diri naik. Dan yang paling penting, kita gak nyusahin orang lain cuma karena emosi belum kelar. Kita bisa ngomong dengan kepala dingin.
Se-relief itu proses konseling.

Makanya, aku suka bingung, kenapa banyak orang takut ke psikolog atau konselor. Takut dicap gila?
Atau yang sering aku denger:
“Sayang amat bayar cuma buat ngobrol doang?” “Gak dikasih obat lagi?”

Woy, kawan-kawan, kami sebagai konselor tuh belajar bertahun-tahun buat bisa jadi profesional. Yang kami katakan, saran yang kami kasih, semua itu bukan asal bacot. Kami ada buat ngebantu kamu keluar dari masalah. Kami bukan adu nasib. Kami bukan pahlawan.
Kamu-lah tokohnya. Kami cuma penunjuk jalan biar kamu bisa lebih paham: siapa dirimu, kekuatanmu, kelemahanmu. Kami bantu kamu problem solving, bukan ngasih solusi instan.

Sekarang coba bayangin ini:
Kamu lagi duduk di angkot, atau bis, gak ada toilet. Atau toiletnya rusak. Tiba-tiba perut melilit, pengen berak. Tapi perjalananmu masih jauh. Dan kalian lagi di jalan tol. Harus nahan sampai rest area berikutnya. Akhirnya, setelah sekian lama, sampai juga.

Tapi di depan WC-nya ada tulisan:

Berak Rp50.000.”

Apa yang bakal kamu lakukan?

Ngedumelin harga yang mahal banget cuma buat berak itu, berak sembarangan dan nanggung malu, atau,

“Gak peduli deh, yang penting beban ini keluar.”

Kalau konseling bisa bikin kita ringan, lega, dan kembali ke jalan dengan senyum…
Apa masih perlu ditanya: “Semahal itu, memangnya worth it?

Konselor, aktor, terapis, enterpreneurship, dan berpuisi. Sedang merakit akun jasa konseling dan terapis psikologi di temendeket.co sejak 2024, menjadi pelatih basic acting di Teater Topeng Maranatha sejak 2019 - 2023, Menjalankan bisnis es kopi dengan merk gustaandco sejak 2015, Malam Puisi Cikampek juga.

Related Post

No comments

Leave a Comment