Minggu lalu, saya pergi ke klinik kecantikan. Di ruang tunggu, saya berpikir:
Kenapa ya gue merasa harus ke sini?
Lalu pikiran saya melayang ke beberapa tahun yang lalu, waktu saya masih melihat Catwomanizer alias Andrea Gunawan muncul di Youtube Lifetime dengan kontennya Relate or No Relate yang menjadi titik mula saya menjadi orang yang tertarik dengan isu perempuan, berbarengan dengan seringnya saya nonton Afutami dan Sisilism. Iya, saya kembali ke masa-masa itu.
Saya lalu mengingat ada 1 momen yang bikin saya “agak gimana” gitu sama Catwomanizer setelah doi memutuskan untuk implan payudara.
Di dalam pikiran saya waktu itu (yang masih goblok, ya meskipun sekarang juga saya masih goblok sih), saya mikir gini:
“Halah. Lu ngapain sih selama ini nge-embrace perempuan dan bawa-bawa isu perempuan kalau misalkan lu sendiri aja malah gak bebas dari stigma masyarakat kebanyakan, dan melanggengkan stigma itu.”
Bahwa perempuan yang dengan badan tipis dan payudara kecil adalah perempuan yang tidak cantik.
Saya berhenti mengikuti Catwomanizer pada saat itu. Saya lalu berpikir ulang,
“Lah yaudah sih ya dia kan implan pakai duitnya, dan gak ada yang tahu betul alasan dia implan itu apa, terus kenapa gue harus kecewa sampai unfollow, sih? Orang dia begitu juga buat ngeimboost kepercayaan dirinya, ya ngapain juga ya gue larang-larang?” begitulah kata saya. Ya meskipun Catwomanizer tentu saja gak akan rugi kehilangan 1 followers goblok seperti saya.
Lagian please lah, gua tidak lebih baik dari dia. Dia sudah menyuarakan suara-suara yang sebelumnya senyap, mungkin. Dia sudah meng-embrace perempuan-perempuan lain untuk speak up, untuk berani! Sedangkan gue naon?!
Waktu berlalu, usia saya bertambah dan saya mulai menemukan banyak teman-teman yang menggunakan produk skincare, atau melakukan perawatan khusus untuk mutihin wajah atau tubuhnya. Ada yang wajahnya putih tangannya masih hitam, ada yang wajahnya putih tapi rusak karena pakai krim yang racikannya gak jelas, pokoknya segala macam.
Saya mulai bingung lagi: ih anjir ngapain sih orang-orang tuh? Segala pengen diputih-putihin sampai jadi belang gak jelas, kulit jadi rusak, padahal mah ya udah sih.
Lalu, saya mengulik masa lalu saya yang dari remaja sampai saat ini gak pernah pakai produk-produk sejenis dan saya menyadari satu hal: saya itu gak pernah dibully dari kecil.
Kepercayaan Diri
Waktu kecil, badan saya paling pendek diantara teman-teman saya (sampai sekarang sih), tapi saya gak pernah diledekin. Saya tidak pandai olahraga dan nilai olahraga saya selalu rendah kecuali aquatic, dan teman-teman saya gak pernah ngeledek saya.
Dewasa sedikit, saya mulai khawatir dengan pertumbuhan tinggi badan saya. Tapi itu murni karena saya melihat kakak saya yang tinggi. Bukan karena saya diledek. Saya lalu diperiksakan ke dokter. Setelah dicek, tulang-tulang saya itu ibaratnya seperti rekat, karena kebanyakan membawa beban berat setiap hari. Make sense.
Sejak SMP dari kelas 1-kelas 3 saya selalu membawa laptop. Setiap hari. Maklum, SMP SMA saya sekolah di RSBI. Maka gak heran pertumbuhan tulang saya sepertinya terhambat dan bahkan badnewsnya, saya memang tidak akan bisa nambah tinggi lagi. Hal itu juga alasan postur tubuh saya kadang bungkuk. Nah, kalau sudah gini kan rasanya enak nyalahin negara:
“RSBI RSBI pedut, lah. Nih, tinggi badan gue terhambat dan jadi bungkuk grgr RSBI!”
Dan sebetulnya saya dianjurkan untuk melakukan pengobatan, tapi ya namanya juga Arini. Berobat kalau merasa sudah pingsan dan drama saja. Tapi tetap, saya tidak dibully dan gak ada yang bully saya juga.
Dewasa muda, saya alergi debu. Mampus saya kaligata gara-gara thrifting di Gedebage tapi gak dicuci bener-bener. Berobatlah ke dokter. Dari situ menyesal dan akhirnya gak pernah nge-thrift lagi. Masih tidak dibully juga ketika masih pengobatan meskipun bekas kaligata di mana-mana.
Dewasa betulan, saya tiba-tiba alergi lagi. Sekarang dibarengi dengan bisul di beberapa bagian tubuh. Ini paling hectic. Saya gak tahu itu debu dari mana, tiba-tiba saya alergi dan bisul di mana-mana, terlebih kalau dingin. Saya inget banget saya sampai nangis dan semua kulit saya perih karena saya garukin.
Waktu itu saya tinggal di Dago, tapi beberapa kali saya tidur di mess di tempat saya kerja. Sampai sekarang saya gak tahu apa alasannya, tapi waktu saya sakit alergi itu, saya masih tidak dibully dan pasangan saya yang baik hatinya itu merawat saya dengan baik.
Saya insecure dan gak pede karena bekas luka saya banyak dan menghitam. Saya menangis, lalu Gil bilang,
“Ehh gakpapa kok. Aku nih dulu sama tau waktu kecil. Sama banget kayak kamu gini nih sekarang. Gatel, sampai nanahan, sampai aku garukin bener-bener percis kaya kamu gini, tapi nanti juga sembuh kok.”
YA NAMANYA ARINI DIKASIH KALIMAT GITU BUKANNYA DIAM MALAH MAKIN MENANGYS.
Ini alasan orang-orang bilang Gil adalah raja terakhir. Ya karena saya sesayang itu dan memang kayanya cuma dia deh yang bisa nerima saya bahkan di masa-masa saya alergi dan begitu menjijikan. To my beloved one, terima kasih, Sayang. Sampai saat ini kalimat penyemangat itu masih melekat.
Di awal-awal perjalanan kami, Gil pernah tanya noda hitam di ujung mata saya.
“Itu apa, sih?”
“Oh, ini kokoloteun.”
Iya, waktu itu belum zaman orang bilang freckles. Jadi saya bilang kokoloteun meskipun dia gak ngerti juga apa artinya. Tapi saya langsung ciut dong, mana waktu itu awal-awal banget pula
“Kamu gak suka, ya?”
Tau apa yang dia bilang?
“Enggak kok, aku suka. Lucu. Natural gitu bulet-buletannya.” Anything, dan iya. Semua yang Gil katakan adalah hal yang membangun dan gak pernah bikin insecure.
Sejak kecil, saya tidak pernah diledek soal apapun itu. Postur tubuh, warna kulit, bentuk mata, bahkan tahi lalat sekalipun. Dan ketika bertemu teman yang suka meledek di masa dewasa, saya sudah ajeg dengan kepercayaan diri saya.
Konsumsi saya terhadap sesuatu pun gak pernah berlebihan kecuali rokok, dan Indomie. Saya gak mudah termakan iklan, atau gak pernah iri melihat seseorang yang kulitnya putih, kulitnya coklat, atau apapun itu.
Dari kecil gak pernah dibully, besar sedikit pasangannya baik bukan main gak pernah bikin insecure, pantas saja diri ini overpede.
Kesehatan dan Kecantikan
“Anjir, kuru pisan! Maneh dahar teu, sih?”
“Ya Alloh siga nu ruksak kitu awak teh.”
“Maneh teu bahagia, nya? Gening kuru?”
Woy please, lah. Saya itu 2022 hampir tewas, jadi maklumi. Dari 52kg ke 38kg itu emang pasti kelihatan banget, tapi kan lo tau gue sakit, coy. Nya dahar mah dahar, tapi nya teuing atuh, ah.
Berdasarkan kabar yang beredar, saya menjadi tidak bahagia dan jarang makan. Tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar juga dalam kasus saya. Ya memang ketika saya bersama my one and only, Gil, saya banyak makan. Pokoknya mulut harus ngunyah terus. Jajan ini jajan itu, gas! Perut nomor 1. Gabut dikit, makan! Gabut dikit, kulineran!
Ketika saya pisah, sudah tidak ada itu yang ajak jajan. Ya bisa sih beli jajan sendiri, tapi tentu saja tidak seseru kulineran keliling Bandung naik Bumblebee atau vesmat merah merona sambil pelukan dan pegangan. Uhuy.
Waktu kembali lagi, buktinya berat badan saya naik 7kg, dan saya banjir komentar,
“Nah, gitu dong. Lebih berisi kan enak dilihat.”
“Anjir jeung si eta mah bahagia deui euy.”
“Ngeunah meureun dibere dahar wae nya.”
Astaga. Saya itu mau berat badannya berapa aja cantik, weyyy! Sejak kapan berat badan yang cantik adalah yang sekian kilogram?
Iya, mungkin ketika saya sedikit lebih tembem saya kelihatan lebih sehat, tapi ada loh orang yang mau makan sebanyak apapun berat badannya segitu-gitu aja, dan gakpapa atuh jangan dikomentarin.
Eh saya sempat sakit hati banget loh pas dibilang kayak orang penyakitan (meskipun memang iya), tapi langsung saya confront dan orangnya udah minta maaf. Lah mending kalau saya, kalau orang lain yang gak bisa confront dan langsung jadi overthinking gimana?
Kenapa Merasa Harus ke Klinik Kecantikan?
Gak tau kayanya saya gabut dan merasa perlu, dan tentu saja berobat ke klinik kecantikan jauh lebih menyenangkan daripada berobat ke obgyn apalagi kalau dokternya tolol dan nyuruh cepat-cepat punya anak.
Saat perang pikiran karena merasa bersalah dan merasa bukan saya banget ke klinik kecantikan, pasangan saya bilang
“Ya kalau kamu ngerasa gak sesuai sama pikiranmu ya udah we, berhenti. Tapi kalau mau ya sok, lanjutin aja ya kalau mau, gak apa-apa kok. Kan kamu yang mau, bukan disuruh orang lain. Asal buat kamu sendiri, kan.” Gitu cenah.
Ya iya, sih. Selama hal itu bisa nge-imboost kepercayaan diri saya, ya kenapa enggak? Ibaratnya saya ingin beli sesuatu, ya beli lah. Mau dibilang jelek atau enggaknya barang yang saya beli, ya bodo amat. Toh, klinik kecantikan kan emang jualan. Perempuan mau perawatan mau enggak, ya udah. Mau operasi plastik atau enggak, ya udah. Mau operasi kelamin juga ya udah sih.
Kita gak pernah tahu orang lain setidak-percaya diri apa dan sudah melewati apa dalam hidupnya. Saya sadar gak semua orang punya akses lingkungan dan pendidikan sebaik saya yang gak pernah ada bully-bullyan.
Sejak kapan Arini mendengar orang lain lagian? Azan memanggil saja tidak didengar ☹ Ya Tuhan maafkan aku.
Akhirnya, saya memutuskan untuk terlebih dahulu konsultasi ke dokter onkologi dan obgyn. Saya sedang terapi hormon, dan kata dokter kecantikan di klinik itu, saya harus terlebih dahulu konsultasi karena ada perawatan yang sepertinya akan berdampak pada terapi hormon saya.
So, yeah. Here I am. Intinya, apapun yang kamu mau lakukan, lakukan saja. Sila cari makna cantik menurutmu sendiri. Kalau kamu merasa kamu cantik pakai baju ini, pakai! Kalau kamu merasa kamu cantik pakai lipstik warna A, pakai! Kalau kamu merasa cantik pakai skincare, pakai! Ketika kamu merasa sudah cantik dan tidak perlu apa-apa, iya gakpapa, jangan pakai apa-apa, kamu udah cantik!
Yang penting dan harus diingat adalah tidak ada tubuh yang benar-benar ideal, gak ada yang bener-bener sempurna, semuanya gimana penerimaan kita. Yang jelas, jaga tubuh dan pikiranmu tetap sehat, ya! Jangan lupa, otak juga perlu diisi, jangan lupa baca buku dan beli buku baru aku 🙁
With love,
Cc.