Dari Pantura sampai Lintas Sumatra

Aku ini cuma supir truk lintas Pantura-Sumatra. Hidupku sederhana kelewat miskin. Meskipun begitu, aku masih rajin beribadah. Biarlah maksiat kulakukan, yang jelas salatku jalan. Ya, aku memegang prinsip STMJ dalam hidup.

Sarung, sajadah, dan kopeah selalu tergulung rapi di belakang kursi. Kadang kujadikan bantal dan selimut juga jika baju-bajuku keburu asam baunya. Maklum, saya termasuk supir yang tidak begitu mementingkan jumlah baju yang dibawa kalau harus antar barang ke lokasi nanggung. Untuk ke luar pulau, paling saya hanya membawa sebuah kaos. Kalau dengan yang saya pakai berarti dua. Kalau waktu muatnya bakal melewati Jumat, tentulah aku akan membawa baju koko yang disiapkan istriku yang cantik dan rajin salat seperti suaminya ini.

Istriku juga suka menyiapkan air mentah yang ia masukkan ke dalam botol mineral besar untukku bersuci. Salat buatku adalah satu-satunya yang bisa mengimbangi rasa berat di kepala selain rokok dan pekerja warung remang-remang.

Tidak. Aku tidak akan menyebutnya pelacur meskipun pada kenyataannya memang begitu. Mereka, perempuan-perempuan itu maksudku, adalah orang yang bekerja. Sama sepertiku. Ada yang begitu karena sudah terlahir dari lingkungan yang sama dan tidak berdaya untuk mencari pekerjaan lain, ada yang dijual orang tuanya, ada yang ingin berhenti menjadi beban orang tua dan membantu orang tua, sisanya ada yang ingin bertahan hidup di tanah rantau karena di perjalanan kena PHK, atau lain sebagainya. Ya, sama sepertiku dan teman-teman supirku, dan mungkin seluruh pekerja di muka bumi ini. Ada yang terpaksa, dipaksa, sukarela, atau ya berniat bertahan hidup saja.

Oh iya, aku sudah lama menjalani karir sebagai supir truk lintas pulau ini. Betapa bangga hatiku. Pekerjaan ini adalah pekerjaan orang-orang kuat dan hanya bisa dilakoni oleh raja jalanan sepertiku. Tahta tertinggi seorang supir adalah supir mobil-mobil besar lintas provinsi sepertiku.

Aku bekerja pada seorang juragan tajir dari Subang. Truknya banyak. Kebanyakan mengangkut pasir, mesin-mesin pabrik, dan komoditas sembako seperti padi belum dikupas, beras, atau barang-barang warung lainnya.

Saat ini, aku sedang dalam perjalanan dari Brebes menuju Padang. Membawa 7 ton bawang merah di trukku. Membawa bawang merah tidak serumit membawa sayur, karena sayur adalah muatan yang bikin bos jadi rewel. Kalau aku membawa sayur, setiap jam aku akan selalu diteleponi si Bos.

“Sudah di mana?”

“Sampai mana?”

“Sekarang di mana?”

Padahal, sayur-sayur yang dimuat pasti akan diberikan kapur untuk mengawetkannya. Jadi kurasa si Bos memang hanya kangen mendengar suaraku dan memastikan uangnya bisa ia terima saja.

Baca Lainnya: Menangani Patah Hati

Kini aku berada dekat dengan loading deck pelabuhan Bakauheni. Ya ada banyak preman yang menagih jatah, ada komplotan maling yang menunggu motor-motor tangkapan begalnya diturunkan dari truk lain, ada juga beberapa supir yang repot mencari-cari surat jalan sambil merokok. Ada yang sedang melamun saja, ada juga laki-laki yang mencari-cari korek di sakunya. Aku pun merokok saat ini, sambil menunggu giliran trukku bisa segera berjalan lagi.

Aku nemu bocah laki-laki. Badannya kotor, matanya lebam, dan beberapa titik di tubuhnya biru-biru seperti habis dipukul. Dia cuma membisikkan kalimat begini,

“Pak, tolong aku.”

Kurus dan kecil sekali badannya. Anak kecil yang keirng kerontang ini tak tega sekali aku melihatnya. Meskipun aku mabuk solar seharian dan harus jauh dengan keluarga, tapi aku begitu kasihan melihat anak itu. Jadi kubawa saja dia masuk kabin.

Aku single-driver! Ya maklum, senior! Aku tak butuh kernet yang malah memberiku keribetan di perjalanan. Ya karena aku sendiri juga, aku lalu mengajak anak kecil itu naik ke truk dan aku juga harus mulai memajukan trukku. Kalaupun dia bagian dari komplotan, biar kucekik langsung saja lehernya. Anak kecil segede upil begitu mana berani macam-macam sama supir yang masih kekar begini.

Sepanjang perjalanan, aku mengobrol dengannya. Aku anggap dia seperti anakku sendiri. Ya meskipun aku thau betul tentu tak ada supir yang tega membawa anaknya bekerja lelah dan menempuh resiko sebesar ini.

Kubagi roti murah yang isi coklatnya bisa membuat gatal tenggorokan, kukasih sarung juga supaya dia gak kedinginan. Kasihan sekali kulihat.

“Pak, truk ini jalannya jauh banget ya? Kalau sampai di Padang, aku bisa ikut makan sate?” katanya memulai percakapan

“Heh, kau ini. Masih kecil sudah mikirin sate. Kalau bosku kasih uang tips, kita mampir lah. Tapi sate Padang itu pedes, hati-hati.”

“Lho, aku suka pedas, pak! Eh, bapak  kuat ya bawa truk segede ini sendirian? Kenapa nggak ada temennya?”

“Bapak nggak suka ribet. Kernet biasanya banyak maunya. Kalau capek, ya berhenti, saalat, tidur sebentar. Itu sudah cukup.”

“Kalau Bapak tidur, aku jagain boleh?”

“Hm, kamu bisa jagain apa? Badanmu kecil begitu.” kataku meledek anak cerewet ini

“Jagain Bapak supaya gak sendirian dan gak ke warung remang-remang.”

Aku tercekat, rokokku hampir jatuh. Hening sebentar. Suara mesin mendengung stabil seperti jalan yang lurus saja terus. Ya maklum, kan baru sampai! Belum melewati jalan Sumatra yang berkelok-kelok itu!

Si Anak laki-laki itu menyandarkan kepalanya di kursi.

“Pak, Bapak punya anak?”

“Punya, tapi dulu. Sekarang sudah meninggal. Laki-laki. Umurnya hampir sama kayak kamu.” Aku lalu tersenyum dan anak kecil itu bertanya lagi

“Bapak kangen dia?”

“Ya, jelas lah. Tiap hari Bapak kangen. Mungkin itu sebabnya Bapak kerja terus, biar nggak kepikiran.”

“Kalau begitu, jangan sedih. Aku kan di sini nemenin Bapak.”

“Nah, sekarang kamu mau ikut sampai mana?” tanyaku pada anak gembel itu

“Nah, sekarang kamu mau ikut sampai mana?” tanyaku pada anak gembel itu. Suaraku masih setengah bercanda, tapi sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal di dada.

Anak itu menatapku lama, lebih lama daripada tatapan siapa pun yang pernah duduk di kursi samping supir ini.

“Aku mau ikut Bapak ke mana aja deh!”

Aku kaget. Kukira dia bercanda. Tapi ekspresinya serius, bahkan wajahnya pucat seperti lilin meleleh. Mungkin ini gembel korban penculikan, korban perdagangan manusia yang kepisah dan kabur, anak pelacur yang dijual buat nebus utang mamaknya atau apa, lah!

Aku memalingkan pandanganku di jalan lurus, memalingkannya untuk melihat anak itu dan memastikan bahwa ia baik-baik saja.

Anak itu tersenyum, lebar sekali. Seperti senang. Aku juga jadi kasihan melihatnya. Aku melihat ke jalan lagi, lalu memperhatikan apakah dia membawa narkoba atau bom, tapis ama sekali tidak ada apa-apa, dan ia hanya membawa tubuhnya saja.

“Bapak lupa ya sama aku?”

Aku terkejut dan sambil terus melihat bulak-balik ke jalan, ke wajahnya, lalu ke jalan, kemudian ke wajahnya lagi.

“Aku ini anak Bapak. Anak yang dulu Bapak marahin, Bapak pukuli sampai biru. Anak yang lari ke warung remang-remang itu lho, Pak.”

Tanganku yang menggenggam setir tiba-tiba dingin. Jalan aspal di depan terasa seperti kabur karena air mataku muncul.

“Maksudmu apa?!” bentakku.

Anak gembel itu tetap tenang. Kepalanya bersandar, lalu kakinya ia naikkan ke kursi. Sarung yang kuberikan tadi ia tutupi ke kakinya.

“Bapak ingat gak? Aku dulu nggak mau disuruh ngaji sama Ibu. Aku malas salat, lalu aku disabet sapu lidi sama Ibu. Jadi aku lari. Aku cari Bapak ke warung, karena Bapak sering di warung Pak Ruslan. Aku tanya ‘Bapak mana?’ ke orang-orang, lalu orang-orang tunjuk pintu itu. Pas aku buka, ternyata Bapak lagi peluk perempuan lain, sambil ketawa. Aku marah. Aku kecewa. Tapi Bapak malah pukul-pukulin aku. Keras sekali. Aku nggak kuat lagi. Aku mati malam itu, Pak.”

Aku terdiam. Dengan segera aku mengarah ke kiri jalan dan memberhentikan truknya. Suara mesin truk mendengung keras sekali di telingaku, tapi entah kenapa, jantungku lebih bising daripada mesin.

“Terus maumu apa?!” bentakku lagi

Anak itu menatap ke luar jendela. Lampu-lampu pelabuhan menjauh. Malam menelan semuanya termasuk nyaliku.

“Aku cuma ikut nemenin Bapak. Biar Bapak nggak sendirian di jalan.” anak gembel itu tersenyum di akhir kalimatnya.

Rokokku jatuh ke lantai, padam sendiri di dekat pedal gas. Aku ingin meraih anak itu dan memeluknya. Tapi ketika kucoba, bangkunya sudah kosong. Hanya sarungku saja tergeletak di sana. Dadaku sesak mengingatnya. Aku lanjut melintasi jalan Sumatra panjang, berkelok, dan sepi. Lalu istriku menelepon,

“Pak, jangan lupa pulangnya beliin si Ade sate Padang! Beli aja di depan kantor Dukcapil! Hari apa Bapak pulang?”

Astagfirullah! Aku cuma mimpi ternyata. Ah! Ini sih gara-gara belum ngopi! Aku lalu mencari warung remang-remang lagi di sepanjang jalan Sumatra.

 

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!