Barangkali setelah sebatang dua batang rokok bareng Asrul Sani dan Rivai Apin, ditambah kebencian pada polah penyair Pujangga Baru, Chairil Anwar tiba-tiba kepikiran buat mendirikan komunitas Gelanggang. Kelak, komunitas yang awalnya berisi tiga orang itu jadi penanda kelahiran angkatan ’45, dengan Chairil sebagai sosok yang berdiri di puncak.
Tiga sekawan itu kurang lebih seperti kita. Muda, membara, dan senantiasa muak pada kestabilan yang tengah dipertahankan generasi sebelumnya. Selebihnya, seperti cerita-cerita sejarah, lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu. Sedikit yang diingat, banyak yang dilupakan.
Sebul barangkali ingin seperti Chairil. Ia (atau mereka?) kecewa karena tidak menemukan visi organisasi yang sesuai dengan angan-angan di kepala. Awalnya bara itu dipendam saja, sampai jadi kobaran api, membesar jadi ketergesaan hingga pada puncaknya ia menulis bersama amarah. Seandainya Sebul mau sedikit bersabar, mau sebentar saja memberi jarak teks dari emosi, tentu tidak akan ada respons berlebihan atas tulisan penuh saltik miliknya. Hanya ada dua hal yang terjadi saat tulisan tidak jernih ditayangkan: jadi kontroversi, atau melahirkan teks tidak jernih lainnya. Dua-duanya sama saja, sama-sama sampah.
Sebul barangkali ingin seperti Chairil. Hanya ingin. Bukan Chairil. Apalagi tanpa dukungan koneksi om Sjahrir. Kapasitas Sebul jauh di bawah Chairil. Tulisannya hanya kesombongan belaka yang kelak akan mengantarkan ia “tenggelam beratus ribu”. Gerakan literasi bukan kompetisi tinju, bro, kenapa perlu ada babak baru? Kalau betul ia bawa “babak baru” seperti judul tulisan penuh saltiknya itu, bagaimana jalan cerita babak lama? Kenapa perlu babak baru? Siapa yang “lahir seorang besar” dan siapa yang “tenggelam beratus ribu”?
Soalnya kami sudah bosan dengan narasi kebaruan. Presiden Jokowi baru juga, kan? Dia orang baru dalam politik sekaligus bukan bagian dari orde baru. Dua periode dia memimpin, apakah kebijakan orang baru dalam politik ini beda dengan kebijakan orde baru? (Sengaja dibuat kalimat tanya, biar aman). Dari mulut politisi, minimal kami belajar bahwa narasi kebaruan tidak selalu diiringi dengan perubahan.
Dear Embul dan siapa saja yang menanggapi tulisannya pakai amarah, sel-sel dalam darah kita merekam informasi soal dosa pertama di surga. Bukan pembangkangan Adam-Hawa terhadap larangan Tuhan, jauh sebelum itu, dosa pertama di surga adalah kesombongan iblis terhadap penciptaan Adam. kesombongan itu berbuah pada pengusiran iblis dari surga. Selamanya. Bukannya belajar dari kesalahan iblis, kesombongan yang sama membawa manusia pada dosa pertama di bumi. Qabil menolak menikahi saudara kembar Habil. Ternyata dari awal penciptaan, kita secara alamiah tidak pernah mau belajar dari kesalahan makhluk lain. Jadi saat ini, wajar saja kalau kita masih sayang pada orang yang sama yang pernah bikin hati kita patah berkali-kali yang kita benci sampai mati tapi diam-diam kita kangeni setiap malam sebelum tidur. Ingat, sahabat, sel dalam darah kita merekam bagaimana sifat sombong memicu petaka. Itu mengapa kita benci pada orang sombong.
Dari mana sifat kesombongan itu berasal? Dari amarah. Yuk istigfar 33x.
Kenapa kemudian kami yang di Karawang ikut-ikutan menanggapi Embul dan isu Gerakan Literasi Purwakarta, tidak lain karena kami juga sama sampahnya. Sejak awal, dunia ini dikuasai segelintir orang, kita semua hanya debu di bawah keset rumah mereka. Oleh karena itu kita melarikan diri dari ketidakberdayaan itu, mendirikan komunitas, berkonflik, mendirikan komunitas baru, berantem lagi, bikin lagi, terus begitu sampai mati, dan di luar sana segelintir orang itu menumpuk modal dari hasil pengisapan kelas pekerja. Beberapa dari kita, seperti Kamerad Egi Polontong dan serikatnya, berupaya melawan kapitalisme internasional ini. Meski akhirnya kalah juga.
Ketua kami, yang terhormat yang dipertuanagungkan yang disayang Ahmad Farid, yang mulia saudari Neng Mayang (semoga Allah senantiasa menerangi jalannya) bilang begini, “serang semua komunitas literasi”. Kalimat itu keluar tidak lama setelah kami mengabari akan menulis tanggapan atas tulisan Embul. Tafsiran kami, “serang semua”, berarti semua termasuk Semesta Literasi sendiri. Oke, baiklah.
Semua komunitas baru selalu merasa bahwa kelahiran mereka adalah jawaban dari keresahan dan ketidakberesan komunitas-komunitas lama. Wajar jika mereka merasa lebih superior dibandingkan yang lain. Hal ini juga dialami Semesta Literasi, sejak lahir tahun 2016, sampai sekarang. Sebagai gambaran, Ahmad Farid yang dijuluki “nabi sastra Purwakarta” itu sudah lama kami rekrut sebagai anggota Semesta Literasi. Karena apa? Tentu saja karena kesombongannya. Kurang lebih, semua anggota Semesta Literasi adalah orang yang berani menulis “tidak ada yang menulis sebaik saya di sekitar Purwasuka” di esai mereka. Ya, kami tidak ada bedanya dengan iblis.
Kalau kita mau memisahkan pasir dari air, tulisan Embul sebenarnya ingin mengajak komunitas literasi se-Purwakarta agar mau berkolaborasi. Yuk jalan bareng, jangan sombong, jangan sendiri-sendiri. Tapi kita keburu terpercik bara dan menanggapinya seperti orang kesurupan.
Melalui pesan WhatsApp, Ketua FTBM Karawang, Bapak Nurul Ilmi bilang kalau kondisi komunitas literasi Purwakarta yang dipaparkan Embul sama dengan apa yang saat ini terjadi di Karawang. Dia menyingkat kondisi ini dengan istilah “ego komunitas”. Sebagai komunitas eksklusif yang mengasingkan diri dari dunia luar, kami wajib percaya pada analisa Pak Nurul. Di luar sana di bawah sinar matahari yang sama, kondisinya bisa saja serupa.
Pada akhirnya, ketimbang bicara soal progres komunitas literasi dalam menghasilkan nilai besar, lebih penting bicara soal bagaimana komunitas literasi bisa menjadi ruang efektif bagi kehidupan sehari-hari pegiatnya. Tai kucing dengan meningkatkan minat baca masyarakat, itu tugas pemerintah, bukan kita. Tugas kita adalah memiliki satu sama lain.
Mari hindari obrolan soal siapa lebih benar dari siapa, siapa lebih penting dari siapa. Lebih penting kita saling mengulurkan tangan dan memberi kehangatan. Komunitas literasi bukan negara apalagi agama, ia bisa dibuang dan diganti, bisa mati dan terbelah dua. Ia jembatan, bukan dinding, ia tangga, bukan ular. Ia rumah, tempat kita ditunggu pulang.
Comments 2