Cinta, mati, dan pencarian makna dalam sunyi jiwa.
Danau di Bawah Laut

Danau Di Bawah Laut
Di balik indahnya kehidupanmu yang menjelma lembutnya danau,
Salahku, memilih merebahkan hati di sana,
Walau awalnya hanya telapak kaki sampai tumit,
Sebab lelahnya bertahun-tahun berjalan tanpa tujuan.
Tak kusangka, egomu dan egoku membentuk harmoni yang lembut.
Aku yang membutuhkan tujuan, dan kamu yang kesepian.
Kesepian karena terpisah dari danau keluarga, membentukmu
menjadi kubangan kecil.
Berpikir jikalau tidak akan ada yang tertarik dan memperjuangkanmu.
Alhasil, aku memilihmu sebagai rumahku. Aku penuhi egomu untuk
Menjadi besar, menjadi laut.
Aku curahkan keringatku untukmu. Kujegal mereka-mereka
Yang ingin mengambil buah dari danaumu.
Darahku bersedia tumpah-ruah kalau itu memang untuk membesarkanmu.
Karena egoku, hanya memanfaatkanmu agar aku mempunyai tujuan dan dihargai, Seremeh nasi yang minta dihabiskan sebagai kudapan pelengkap.
Kini danaumu sudah sempurna, pohon-pohon yang rimbun
Hasil semaiku membuahkan buah-buahan yang manis, berair, dan segar,
Siap dipanen.
Anehnya pula, label-label “Danau Mandiri” mengiang dengan tegas,
Terbawa angin sore yang hangat menuju kepalaku—bahkan, lebih besar dari keluargamu.
Sekarang aku yang merasa kerdil di hadapanmu, di hadapan dunia. Kesepian dan ditinggalkan pun mulai datang mengetuk sukmaku, ia membentuk api yang kecil dan hampir padam, namun jika dilihat dari jiwaku yang kelam, cahaya itu sangat benderang.
Mengapa kau tak bisa mengerti?
Dari egomu yang miliaran berguguran walau beratus-ratus daun egomu masih bisa kugapai.
Tapi, kau tak pernah merasa cukup.
Cukup untuk mengerti aku yang telah menjadi kerdil di hadapanmu.
Katanya
Katanya, aku tak bisa jadi penyair bila tak sakti.
Katanya aku tak bisa jadi,
Jika belum mati berkali-kali.
Katanya, aku belum mati,
Walau sudah menjadi-jadi.
Nyatanya, tak semenarik Dali.
Mati
“Mati, mati, matiii” selalu menjadi diksi yang paling aku nikmati.
“Mampus kau!” juga, tak kalah untuk disegani.
Tapi, ada kalimat yang bangkit dari hati,
Ia menjelma teror, datang untuk menghantui.
“Merdeka atau neraka.”
Leave a Comment