Pernahkah kamu duduk termenung, menatap layar ponsel, lalu tiba-tiba muncul rasa hampa yang sulit dijelaskan? Persahabatan yang selama ini kamu anggap cukup, tiba-tiba terasa hambar hanya karena melihat orang lain tertawa lebih lepas di video yang berlalu-lalang di layar ponsel.
Mungkin, kondisi yang awalnya terasa baik-baik saja mendadak terasa kurang. Kamu merasa belum punya apa-apa hanya karena melihat video orang lain yang sedang flexing pencapaiannya. Seketika kamu merasa ada yang kosong, ada bagian hidup yang harus diperbaiki.
Semua itu muncul hanya karena kita melihat kilasan kehidupan orang lain yang tampak lebih cerah, lebih indah, dan penuh warna. Tapi, benarkah mereka benar-benar bahagia? Mungkin itu hanya sekadar ilusi yang dipoles dengan sorot kamera yang indah?
Di zaman ini, ponsel bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan perpanjangan dari diri kita. Rasanya, benda itu sudah menyatu dengan jiwa kita. Bahkan, kita bisa lebih panik ketika ketinggalan ponsel dibandingkan dompet.
Ironisnya, ponsel yang memberi kemudahan justru perlahan mencuri waktu kita. Jam-jam senggang yang seharusnya menjadi ruang refleksi dan ketenangan malah habis bergulir sia-sia. Halaman demi halaman sosial media dirancang seperti labirin yang menawan.
Selalu ada sesuatu yang sesuai dengan selera kita. Kita terpaku, tertarik, terperangkap, hingga tanpa sadar waktu berharga yang kita miliki lenyap begitu saja.
Sosial Media: Racun Ketidakpuasan yang Tak Berkesudahan
Kenapa kita sulit melepaskan diri dari sosial media? Karena tanpa sadar, kita telah menelan racun ketidakpuasan.
Sosial media diam-diam menyusupkan perasaan iri dan gelisah. Kita melihat orang lain tertawa lebih lepas, berlibur ke tempat eksotis, atau merayakan pencapaian mereka. Perlahan, muncul pertanyaan yang menusuk:
“Kenapa keluargaku tidak sehangat itu?”
“Kenapa temanku tidak bisa seasyik mereka?”
“Kenapa aku tidak seberuntung mereka?”
Padahal, sebelum kita terpapar kesempurnaan fatamorgana itu, kita baik-baik saja. Kita tidak pernah merasa ada yang salah dengan keluarga, teman, bahkan dengan diri kita sendiri.
Membandingkan diri dengan orang lain mungkin bagian alami dari menjadi manusia. Namun, jika dibiarkan tumbuh liar, perbandingan itu bisa menjadi racun yang perlahan menggerogoti jiwa. Ia menyelubungi mata kita, membuat kita buta terhadap nikmat yang sebenarnya sudah ada di genggaman.
Kita terus membandingkan apa yang orang lain miliki dengan apa yang kita rasa kurang. Akibatnya, alih-alih merasa termotivasi, yang sering kita temukan justru rasa iri yang menyesakkan atau gelisah yang tak beralasan.
Menemukan Kebahagiaan yang Sesungguhnya
Kita perlu membuka mata dan hati untuk memahami bahwa apa yang terlihat di sosial media hanyalah potongan kecil dari panggung hidup orang lain. Itu bukan keseluruhan cerita—hanya cuplikan kebahagiaan yang sengaja dipilih untuk dipublikasikan.
Sama seperti dirimu. Mungkin ada tawa, kehangatan, dan momen bahagia yang kamu simpan rapat-rapat, tidak pernah diunggah ke mana pun. Tapi bukan berarti hidupmu kurang berarti. Kebahagiaan tak harus selalu terlihat, karena sering kali ia bersembunyi di balik hal-hal sederhana yang hanya bisa dirasakan oleh hati.
Mulailah menikmati hidupmu apa adanya, tanpa beban perbandingan dengan hidup orang lain. Cobalah berhenti sejenak, tarik napas dalam-dalam, lalu pandanglah sekelilingmu. Ada begitu banyak hal yang patut disyukuri: kesehatanmu, keluargamu, teman-temanmu, dirimu sendiri.
Nikmati dan syukuri setiap detik yang Tuhan berikan, karena di sanalah letak keajaiban yang sering kali terlewatkan. Rasa syukur adalah kunci kebahagiaan sejati—bukan pencapaian besar yang hanya tampak indah di permukaan.
Ingatlah, tidak ada satu pun kehidupan yang benar-benar sempurna. Namun, keindahan sejati terletak pada kemampuan kita melihat keajaiban dalam kekurangan dan menemukan kehangatan dalam apa yang telah kita miliki.