Menjelang Pilpres, saya semakin muak dengan orang yang nanya pilihan saya. Masalahnya cuma 1, saya gak suka politik. Hidup saya dan keluarga saya hancur karena Bapak saya pernah menginvestasikan sebagian dana pensiunnya sebesar 500 Juta untuk membangun pesantren dan disalah gunakan buat nyaleg. Sejak saat itu, saya sadar bahwa hidup saya dan keluarga kecil saya pernah dihancurkan orang politik, dan saya gak akan membiarkan orang politik lain menghancurkan hidup saya dan keluarga saya lagi.
Saya gak gitu peduli dengan politik dan tetek bengeknya karena toh siapapun presidennya, ngurus apa-apa ke dinas masih lambat kalau gak pake duit. Toh, siapapun presidennya, kalau KTP saya hilang dan bikin laporan ke kantor polisi saya masih harus bayar 15k kalau lagi kucel, kalau agak rapi dikit belum tahu belum pernah hilang lagi. Toh siapapun presidennya, saya masih sering dilabeli perempuan nakal karena merokok. Padahal ngerokoknya ge gak di dekat orang yang rentan.
Saya aktif ngonten, aktif bikin vlog Arireza juga, menulis, aktif bekerja buat bayar cicilan, saya aktif berhubungan dengan teman-teman saya: mendengarkan cerita, berkreasi bersama, kadang liburan, dan kadang juga mabuk dikit. Terus, apalagi yang harus saya pikirin dan saya urusin? Hidup saya mah udah rame atuh.
Pada banyak ruang di sekitar, gak jarang saya menemukan beberapa orang yang selalu memaksakan pikirannya untuk ablus ke pikiran saya yang tentu saja berbeda warna, kapasitas, dan kecepatannya sama si pemaksa itu. Terlebih, saya adalah orang yang aktif mengutarakan apa yang ngganjel di kepala saya ke khalayak. Entah itu berbentuk story berisi tulisan marah-marah, atau video saya ngedumel, atau sampai jadi konten tulisan di Nyimpang. Saya tentu bukan orang yang alergi terhadap kritik, saya gak pernah baper ketika tulisan/video saya dibilang jelek/gak guna dan gak ada isinya. Toh, mungkin memang pada faktanya seperti itu.
Yang saya gak suka adalah, ketika orang gak setuju dengan apa yang saya tulis dan dia memaksakan diri saya buat memiliki alternatif berpikir seperti dia, barijeung bisana cuma ngabaceo doang dan barang tentu orang yang ngabaceo doang adalah orang yang sama sekali gak punya kemampuan untuk memengaruhi cara berpikir saya kecuali kalau dia mampu menghasilkan diskusi/tulisan yang mampu memberikan wajah pikirannya sendiri.
Saya lagi sering pansos. Saya senang bersaing dengan Sidik Karim dalam rangka pabanyak-banyak viewers dan balapan growth akun IG. Segala cara yang saya anggap praktis ya saya lakukan. Diantaranya, aktif mengomentari postingan terkait Capres-Cawapres di akun-akun besar. Tentu saja dengan bahasa saya yang tengil-tengil dikit. Uniknya, terjadi interaksi saya dan buzzer yang membuat banyak orang juga turut ikut-ikutan berantem. Di saat buzzer dan akun betulan berantem, saya aktif membalas komentar-komentar itu sesuka saya sambil tersenyum melihat insight saya yang kian tinggi dan menjulang. TAH TINGALI SIDIK!
Saya gak peduli-peduli amat sama politik dan kehidupan saya yang nelangsa gak akan bisa diselamatkan Presiden manapun kecuali saya sendiri. Pada tulisan saya sebelumnya Sefruit Review Debat Pertama Capres 2024, saya bilang kalau setiap kontestan punya dosa masing-masing. Tentu saja punya circle masing-masing. Sama seperti saya dan Sidik. Iya, memilih presiden bakal punya dampaknya sama kestabilan ekonomi, isu lingkungan, dan wacana-wacana feminisme. Tapi tidak ada yang benar-benar berpengaruh segitunya sama diri saya yang selalu bebeledagan ini.
Presiden terpilihnya aja gak betul-betul ngaruh, terus ngapain saya harus dengarin orang sampai berantem sama orang yang cuma pendukungnya doang? Orang mau nyoblos, mau enggak, bukan urusan saya. Urusan saya mah jaga turet. Orang mau nyoblos nomor 1, 2, 3, bukan urusan saya. Urusan saya mah julidin siapapun nanti yang kepilih.
Saya gak peduli mau dibilang golput kek, apatis kek, atau apalah. Saya gak peduli mau dibilang AIUEO sama seperti saya gak peduli sama urusan orang lain. Oh, come on. Segabut apa kamu sampai harus berdebat sama orang hanya untuk Pilpres? bacotanmu yang dangkal itu kamu lempar ke Nyimpang aja biar saya yang balas seperti saya membalas tulisan Wira.
Lagipula, kita tuh gak punya kewajiban untuk meluruskan POV kamu terhadap satu hal biar bisa disetujuin orang lain. Selama itu gak ngerugiin ya udah. Kamu pilih nomor 1, tetanggamu pilih nomor 3, ya udah. Kamu punya alasan, tetanggamu juga punya. Kamu bukan juru kampanye, dan kalaupun iya kamu juru kampanye, kamu gak harus melakukan infiltrasi doktrin ke tetanggamu atau followersmu dengan ledekan, cacian, yang heyyy meledek dan mencaci di Nyimpang teh lebih asyik aisia!
Buat saya, kita harus berhenti bertanya dan mulai jaga jarak sama hal-hal privat seseorang. Gak usah nanya “Kamu Islam atau bukan?” ke perempuan yang gak pake jilbab. Itu bukan urusanmu. Berhentilah berantem untuk hal-hal yang gak berpengaruh sama diri kamu. Dikasih berapa M sih emang?
Toh di mata saya semua orang politik itu kotor, semua orang politik itu najis. Titik.