Aleh duduk bersila di pinggiran kolam ikan mujair sambil melempar pakan dan cengar-cengir sendiri. Ratusan kepala ikan mujair berukuran siap panen dan gemuk-gemuk itu cuap-cuap dan saling tindih di permukaan kolam berebut jatah makan. Meskipun pandangan Aleh memang lurus menatap ikan-ikan yang ia rawat dengan penuh perhatian, namun yang muncul dalam penglihatannya adalah segambar wajah jelita dengan senyum semanis gula aren dan mata yang selalu berbinar-binar, seakan-akan sekelompok kunang-kunang terperangkap di kedua bola mata wanita itu.
Wajah cantik itu tersenyum padanya, mengedipkan mata, mengajak main ciluk ba, melemparkan kiss bye, pura-pura manyun lalu tertawa lagi dan sederet tingkah lucu lainnya.
“Oh, manisnya!” teriak Aleh dalam hati.
Saking dalamnya Aleh jatuh pada imajinasinya sendiri, ia sampai tak menyadari kemunculan Asep dengan setelan celana batik bahan bersepatu pantofel yang segera duduk di sampingnya.
Asep yang awalnya bermuka masam sebab ingin melampiaskan kekecewaannya pada Aleh segera tersenyum ketika menemukan kesempatan untuk menciptakan komedi: Asep ikut cengar-cengir sambil menatap Aleh.
Tak lama kemudian Aleh kembali ke alam nyata dan terkejut melihat Asep yang tersenyum begitu dekat dengan pipinya.
Huah!
Butiran pakan ikan dalam genggamannya meloncat jauh dan beberapa masuk ke mulut Asep.
Hueeek!
“Kampret!”
“Duh-aduh-aduh. Hampura dulur! Ulah ngareureuwas wae atuh,”
Asep bersikap santai atas insiden itu. Ia meludah berkali-kali dan menyucihamakan mulutnya dengan berkumur-kumur menggunakan air empang. Sedangkan Aleh penuh selidik mengamati pakaian Asep yang sudah rapi seperti hendak kondangan.
Asep merebut ember berisi butiran pakan ikan dari Aleh dan dengan wajah sendu melemparkannya agak jauh. Kepala ikan muncul lagi berebutan menyambar.
“Padahal kita itu temenan dari orok. TK kita bareng, SD kita bareng, Tsanawiyah kita bareng, Aliyah juga bareng, bahkan kuliah pun bareng. Kita banyak lewatin momen suka-duka bareng, tapi aku masih aja gak dianggap sebagai sahabat,” keluh Asep.
“Apaan sih?” tanya Aleh begitu heran.
Angin berhembus kencang menggugurkan daun-daun pohon jambu yang jatuh di permukaan kolam membenturkan pantulan gambar tembok tetangga dan gambar daun-daun pohon. Asep berpaling dari air kolam yang bergelombang untuk mencari mata Aleh. Dibenamkan pandangan matanya ke mata Aleh hingga ia bisa melihat wajahnya sendiri di pupil sahabatnya itu.
“Kamu minggu depan mau lamaran dan gak ngasih tau aku?” pertanyaan Asep ditekan rasa jengkel.
Aleh memalingkan pandangannya. Sekonyong-konyong perasaan bersalah angslup ke dadanya. Memang benar sahabat sekaligus sepupunya ini sangat baik. Dulu semasa kecil apabila ia ingin jajan namun tak memiliki uang, maka Asep selalu berbagi dengannya. Apabila ia bersedih Aseplah yang pertama kali menghiburnya. Ketika ia sakit di pesantren, Aseplah yang merawatnya, menyuapinya bubur, obat, dan mencucikan pakaiannya.
Jauh dalam lubuk hatinya, Aleh tak bermaksud demikian. Ia hanya malu untuk bercerita. Sebab Ini adalah pengalaman pertamanya untuk urusan asmara. Sejak dulu Aleh tak begitu tertarik pada urusan cinta-cintaan. Ia telah berniat untuk memberi tahu Asep secara langsung, ia menunggu momen yang tepat, tapi nyatanya terlambat. Asep telah tahu lewat orang lain.
“Siapa nama wanita itu?” pertanyaan Asep yang bernada riang membuat beban di hati Aleh sedikit terangkat.
“Suci,” jawab Aleh.
“Kenal dari mana kau dengan Suci ini?”
“Ya, pas ngajar bareng di Cikeris.”
“Oh, guru juga,” respons Asep pelan, “Sudah pernah ciuman belum sama dia?”
Aleh terkejut dengan pertanyaan itu.
“Hahah.” Asep tertawa puas menggoda sahabatnya. Aleh cuma senyum sedikit.
“Sebentar deh, aku mau nanya serius nih. Emang kamu udah yakin mau nikah? Baru juga 23 tahun. Ngebet amat?”
Aleh tersenyum bijak dan menepuk dengkul Asep sebelum menjawab, “Kalau kamu sudah ketemu orang yang tepat kamu gak bakal ngerasa ragu sedikitpun. Perasaan itu yang selalu muncul sejak aku berjumpa dia.”
Asep mengangguk dan mengembalikan ember pada Aleh. Untuk ukuran manusia yang belum pernah pacaran, sahabatnya lumayan filosofis juga. Ia menepuk-nepuk tangannya untuk menggugurkan sisa serbuk umpan dan pamit pergi.
“Mau ikut gak?”
“ke mana?” Tanya Aleh.
“Menghadiri pernikahan mantan.”
“Mantan yang mana? Mantanmu kan banyak.”
“Mila Karmila.”
Oh. Aleh langsung tahu perempuan itu. Karmila adalah mantan Asep sewaktu Tsanawiyah dulu. Yang rumahnya di Gang Kamboja dekat Toserba Yogya Pasar Jumat Purwakarta. Aleh jadi terkenang lagi pada masa yang lalu, masa yang sudah jauh terlewat tapi terasa seperti baru kemarin terjadi. Aleh ingat sekali saat sahabatnya itu pacaran dengan Karmila, Asep jadi sering nyanyi lagu Karmila.
Aleh menolak ajakan Asep. Ia tak bisa kemana-mana sebab selepas Ashar ia mesti mengajar mengaji untuk anak-anak di lingkungannya.
Seperginya Asep, Aleh kembali ditarik bayang-bayang surgawi akan keindahan paras Suci, namun angin yang semakin kencang membangkitkan kewaspadaannya. Aleh menatap gumpalan awan gelap mirip perut keledai yang luncai. Sebentar lagi hujan akan turun dan ia beranjak masuk rumah.
****
Di perjalanan, hujan mulai turun rintik. Asep mulai menyalakan wiper, lagu di radio mobilnya memutar lagu Goodbye My Lover-James Blunt. Ia ikut menyanyi pada lirik-lirik yang ia tahu.
Ketika melewati jalan di sekitar ranca darah ia melihat seorang wanita berhijab ungu sedang menuntun motornya. Didorong rasa iba, kepedulian dan tenggang rasa yang begitu tinggi, Asep menepi untuk menolong wanita itu. Ia turun dari mobil dan wajahnya langsung disiram gerimis.
“Punten, Teh. Motornya mogok?” tanya Asep dalam tempo cepat.
“Iya A. Teu apal kunaon jug-jug paeh weh mesinna.”
Dengan gerak yang tangkas Asep mulai memeriksa kondisi motor bebek itu. Ia membuka tangki untuk memeriksa bensin, ternyata masih cukup penuh, ia menyalakan starter dan mengengkol motor si gadis tapi mesin keparat itu tak kunjung menyala juga. Ia memeriksa busi dan tak menemukan kejanggalan apapun. Ia curiga pada satu keteledoran biang kerok mogoknya motor tersebut, dan benarlah apa yang ia duga: olinya habis.
Dalam hati Asep misuh-misuh soal kelakuan orang-orang yang bisanya cuma mau make aja terhadap kendaraan mereka tapi gak punya kemampuan untuk merawat. Lebih spesifik ia misuh-misuh untuk orang-orang yang meminjam mobilnya tapi tak mengisi bensin atau mengembalikan dengan kondisi lebih kotor dari sebelumnya. Dan sekarang ia menghela nafas untuk mensuplai sejumlah kesabaran ke hatinya.
“Olinya kosong, Teh,” ujar Asep sambil sedikit tersenyum.
“Oh, gitu,” jawab wanita tersebut. Ia yang tak mengerti soal motor, hanya bisa menganga sebab tak tahu mesti berkomentar apa.
Asep mengetuk-ngetukan jari telunjuknya di behel motor si gadis. Pandangannya lurus ke depan dan mulai menelusuri ingatannya. Kira-kira di mana bengkel terdekat dari tempatnya sekarang?
Pengelihatannya melayang cepat seperti drone. Namun sebelum mendapat jawabannya, hujan turun begitu derasnya menimpa atap mobil dan menciptakan suara berisik. Mereka kaget. Sekonyong-konyong, tanpa disadari Asep menarik lengan si gadis untuk masuk ke mobilnya.
Di dalam mobil, keduanya terperangkap dalam kecanggungan yang cukup lama, sementara wiper terus bekerja menghalau air hujan. Si wanita terus merasa tak enak hati sebab telah membasahi jok mobil tersebut. Ia memerhatikan tetes air yang terjun dari ujung roknya dan membasahi karpet mobil.
Asep teringat, di bangku belakang ia menyimpan sarung. Ia mengambil sarung itu dan memberikannya pada si wanita.
“Nih, Pake.”
“Eh, gak perlu A. Aa aja yang pake. Saya gak kedinginan kok.”
Asep melebarkan sarung itu dan menyelimutkannya paksa. Si gadis tercekat oleh perlakuan istimewa lelaki yang baru ditemuinya ini. Pipinya memerah.
“Romantis, ya?” tanya Asep pada si gadis yang langsung bersambut senyum.
Merasa kecanggungan mulai mencair Asep mengirimkan pertanyaan untuk memancing obrolan.
“Nama kamu siapa?”
“Ainun,” jawab si gadis menyebut nama tengahnya.
“Ainun?” nada suara Asep mencoba meniru Reza Rahardian ketika memerankan BJ Habibie di film Habibie-Ainun.
Ainun tertawa hingga Asep bisa melihat gingsul yang bikin Ainun nampak lebih manis. Asep bisa merasakan sesuatu yang keras di dadanya melumer setiap kali menatap paras jelita tersebut. Mungkinkah ia jatuh cinta?
Tapi masa secepat ini, sih? Gak mungkin. Ini cuma seneng aja. Sergah Asep dalam hati.
“Kalau Aa namanya siapa?”
“Nama saya Asep, tapi Ainun boleh panggil saya Cayang.”
Ainun tersenyum lebar.
“Asep.” Ainun menyebut nama pria di hadapannya.
Asep mengangguk.
“Kamu tinggal di mana?”
“Di Pondok Salam.”
“Sebelah mana Pondok Salamnya?”
“Pamundayan, A.”
“Oh, Pamundayan,” Asep merasa familiar dengan nama tempat itu, tapi ia agak lupa. Alhasil ia mengangguk-ngangguk seolah tahu, padahal aslinya ia tak tahu lokasi yang disebutkan.
“A Asep teh mau kemana?”
“Oh, mau ke kondangan di Purwakarta.”
Ainun kaget mendengar jawaban tersebut, “Waduh. Berarti saya ganggu, dong. Harusnya kan A Asep bisa nerobos hujan tapi tertahan karena nolongin saya. Saya keluar aja ya, A.”
Ainun membuka pintu mobil, air hujan segera menerjang kepalanya. Asep buru-buru memegangi tangan Ainun dan menahannya. Ainun tak mampu melawan tenaga Asep yang lebih besar darinya, ia duduk kembali dan tubuh Asep menyilang di depannya menutup pintu mobil. Ainun merasakan getar aneh saat tangan lelaki yang baru dikenalnya ini menggenggamnya.
Namun, Ainun juga merasa konyol atas kelakuannya tadi.
“Gak apa-apa. Santai aja. Gak buru-buru, kok.”
Ainun mengangguk dan menatapi kuku-kukunya.
Asep menimbang gagasan untuk membagi cerita lucu kepada Ainun.
“Kalau hujan gini aku jadi ingat sama temanku yang namanya Rizki. Dulu kami itu sekelas di Aliyah. Suatu hari pas hujan turun deras banget Rizki gak masuk. Aku bilang sama guru kalau Rizki sedang sakit. Ya, emang lagi sakit. Dia demam dan muntah-muntah terus. Tapi pas pulang sekolah, si Rizki malah main bola bareng anak-anak Tsanawiyah di halaman sekolah. Guru dan kami teman-temannya kaget menyaksikan pemandangan tersebut, tapi si Rizki malah cengar-cengir,” Asep menggeleng-gelengkan kepala di akhir cerita.
Ainun tertawa canggung, “Parah banget si Rizki.”
“Terus ada juga temanku yang namanya Aji. Coba bayangin pas lapar dia malah pura-pura kesurupan. Pas ditanya mau apa dia malah bilang: Pengen gorengan. Pake suara sok serem lagi. Hahahaha.”
Kali ini Ainun tertawa keras hingga Asep menyaksikan lagi gingsul imut Ainun.
“Kalau kamu ada cerita lucu, gak?” Tanya Asep.
Ainun berpikir sebentar membuka laci-laci ingatannya tentang hal-hal yang lucu. Ada banyak, tapi ia bingung memilih yang mana yang mesti ia ceritakan. Ainun menoleh melihat motornya lewat kaca spion dan memutuskan sebuah cerita yang akan ia tuturkan.
“Jadi aku dulu pernah….”
Baru saja memulai cerita, Asep langsung tertawa dan memegangi perutnya, “Hahahahah. Lucu banget.”
Ainun manyun dan menggeplak bahu Asep, “Belum juga cerita.”
“Oh, belum selesai. Ya udah lanjutin.”
“Gak mood, ah,” ucap Ainun sambil memalingkan wajahnya.
“Gimana kalau ceritanya dilanjut lewat Whatsapp?” Asep menyodorkan ponselnya.
Ainun tersenyum.
*******
Hari-hari berikutnya berlalu seperti episode terbaik dalam hidupnya. Kapanpun dan di manapun hatinya selalu berbunga-bunga. Kebahagiaannya meluberi hati dan membasahi di setiap jalan yang ia lalui. Asep jadi rajin sekali tersenyum terhadap apapun. Pada pelanggan kedai baksonya, pada mangkok-mangkok yang bertumpuk, pada bihun dan mi kuning dan tauge bahkan pada api yang menyala di kompor pun ia selalu tersenyum. Perkenalannya dengan Ainun telah menumbuhkan bunga paling indah di hatinya.
Dalam perjalanan hidupnya, sebagai playboy Asep telah puluhan kali berkencan dengan perempuan, misalnya dengan Nisa, Dewi, Wika, Putri, Maryam, Siti Saebah, Ulfah, Rahayu, Sisti, Aninda, Zulaeha, Lani, Fitri, Iin, Indah, Hastuti, Wina, Herni, Mila, Cantika, Fatma, Indri dan banyak perempuan lainnya. Tapi hanya pada Ainun lah ia merasakan sebenar-benarnya jatuh cinta sekaligus mabuk kepayang.
Setiap saat bila ada waktu senggang ia sempatkan untuk berkirim pesan dengan Ainun. Ainun pula menanggapinya seperti yang ia harap. Cerita-cerita lucu kembali Asep tuturkan pada Ainun. Sebelum tidur mereka sering telponan hingga berjam-jam. Tawa Ainun di seberang ponsel masih saja melambungkan hatinya. Asep terkenang lagi pada gingsul manis itu.
Namun tiga hari kemudian, tanpa alasan sama sekali, tiba-tiba Ainun memblokir nomornya. Asep kalang kabut, Asep tersiksa rindu. Ia tak tahu kesalahan apa yang ia perbuat sehingga Ainun menjauhinya. Suasana hatinya jadi tak karuan.
Baru kali ini Asep merasakan rindu yang begitu menyiksa, dadanya terasa sesak seperti dipenuhi adonan kue yang mengembang. Makan terasa tak enak, tidur menjadi susah. Bayang wajah Ainun selalu tampak di pandangannya.
Hingga kini, ketika ia menyupiri Aleh untuk melamar Suci. Perasaan itu masih menghinggapinya.
Asep baru tahu ternyata tempat tujuan acara lamaran adalah Pamundayan. Oleh karena itu ia jadi sedikit bersemangat. Ini adalah desa tempatnya Ainun tinggal. Dan sebagaimana adatnya di desa yang tiap orang saling mengenal, ia akan mencoba pencarian kecil untuk menemukan Ainun.
Ia memarkirkan mobil di tanah kosong sesuai arahan bapak-bapak berbaju batik. Aleh turun dan memimpin rombongan berjalan memasuki gang kecil menuju rumah Suci, sementara Asep melipir ke sebuah warung untuk membeli rokok.
“Teh punten numpang tanya. Kenal sama perempuan yang namanya Ainun gak? Seumuran saya.” tanya Asep kepada Ibu warung.
“Ainun? Lengkapnya Ainun apa A?” jawab si Ibu.
“Aduh, saya gak tahu nama lengkapnya, Bu.”
“Waduh. Sesah atuh A milarina pami teu terang nami lengkap na mah.”
“Oh, wios atuh. Hatur nuhun, Bu.”
“Sawangsulna, A.”
Asep kemudian bergabung dengan rombongan di belakang. Karena rumah Suci ternyata tak mampu memuat seluruh tamu, Asep terpaksa duduk di kursi yang telah disediakan di halaman.
Tapi tak lama kemudian Asep ingin masuk. Ia ingin menyaksikan moment bersejarah lamaran sahabatnya meskipun mesti mengintip dari jendela atau pintu.
Asep mengintip lewat jendela dan membentuk kanopi dengan jarinya agar pemandangan di dalam terlihat jelas. Seketika Asep terbelalak kaget. Ia melihat dengan jelas, lewat jendela yang dibuka gordennya, sahabatnya Aleh, memasukan cincin ke jari perempuan manis yang ternyata adalah Ainun.
Di dinding ruang tamu yang dijadikan tempat acara lamaran tersebut, Asep membaca tulisan yang dibuat dari balon-balon huruf berwarna emas: Acara Lamaran Salehudin Fauzi dan Suci Ainun Nufus.
Oh, Asep memegangi dadanya yang berdebar makin kencang. Adonan kue di dalam hatinya meledak.