Pada Rabu, 20 November 2024, akun Instagram @ckpinfo melaporkan kasus begal payudara di Cikampek yang sedang marak-maraknya. Di kolom komentarnya, perempuan-perempuan yang menyaksikan kejadian tersebut hingga yang mengalami mengonfirmasi hal serupa.
Salah satu netizen, @jihanputr__, turut bersuara. Menurutnya, sehari sebelum unggahan tersebut terbit, seorang buruh Koito menjadi korban begal payudara sepulang kerja shift kedua di daerah Bakan Bogor, Dawuan, Cikampek, Kabupaten Karawang. Lokasi kejadian berada di dekat sebuah SD yang gelap (sayangnya, netizen tersebut tidak merinci SD yang dimaksud).
Tapi yang bikin mirisnya adalah banyak banget orang yang menjadikan postingan @ckpinfo, itu sebagai “candaan.” Aku bisa estimasiin, dari ratusan komentar yang terdapat di postingan itu, tiga per empatnya atau sebagian besarnya adalah komentar dengan cara mention ke temen/temen-temen mereka untuk dilihat sebagai “pelaku” untuk bahan tertawaan.
Ini tuh nggak ada empatinya sama sekali! Mereka nggak berpikir gitu bagaimana perasaan penyintas maupun keluarganya yang membaca komentar mereka.
Begal payudara merupakan bentuk kekerasan seksual yang dapat menimbulkan trauma mendalam bagi korban, dan “candaan” dari masyarakat yang nir empati berpeluang semakin membuat korban larut dalam kesedihannya
Trauma Mendalam Korban
Yunita Adinda, Wulandari, dan Yusuf Saefudin, dalam jurnal “Dampak Psikologis dan Sosial pada Korban Kekerasan Seksual: Perspektif Viktimologi,” menyatakan bahwa korban kekerasan seksual (termasuk korban begal payudara, red.) sering kali mengalami masalah kesehatan mental, seperti Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan depresi.
PTSD menimbulkan beragam efek yaitu korban terus dihantui bayangan peristiwa traumatis sampai rentan merasa cemas secara terus-menerus. Sementara itu, depresi membuat korban kehilangan makna hidup, kehilangan semangat bekerja, dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya.
PTSD juga dapat memengaruhi kesehatan fisik korban. Gangguan tidur akibat PTSD menurunkan kekebalan tubuh. Selain itu, dalam jangka panjang, kondisi anxiety atau gangguan kecemasan di atas berisiko merusak kesehatan jantung dan ginjal. Ini tentu yang tidak kita harapkan. Korban berhak tetap hidup secara sehat.
Selain itu, dampak emosional seperti kehilangan keceriaan pada korban juga sangat membuat kita sedih. Korban yang tenggelam dalam depresi bisa terjebak dalam duka mendalam selama bertahun-tahun. Hal ini diperparah dengan “candaan” dari masyarakat
Supaya hal ini bisa diatasi, selain memberikan pendampingan psikologis, pendampingan hukum, dan berhenti menormalisasi “jokes” seksis, kita juga perlu melacak penyebab begal payudara.
Kenapa Begal Payudara Terjadi?
Begal payudara dapat terjadi karena berbagai faktor. Pertama, objektifikasi tubuh perempuan, di mana tubuh perempuan dipandang semata sebagai objek pemuas hasrat seksual tanpa memedulikan kenyamanan, dan keamanan korban.
Objektifikasi ini berakar pada patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi superior, sementara perempuan dianggap inferior. Selain itu, kapitalisme turut menopang patriarki dengan memperlakukan tubuh perempuan sebagai komoditas. Contohnya, penggunaan umbrella girls di sirkuit balap untuk menarik perhatian penonton laki-laki—yang merupakan bentuk normalisasi objektifikasi tubuh perempuan.
Kedua, kurangnya penanaman nilai feminisme dalam institusi sosial, seperti keluarga dan sekolah. Kesadaran bahwa tubuh perempuan adalah miliknya sendiri dan tidak boleh disentuh tanpa izin (consent) masih minim diajarkan, padahal ini merupakan faktor penentu seorang laki-laki bisa lebih menghargai perempuan.
Ketiga, keterbatasan political will dari para pembuat kebijakan. Tidak adanya peraturan daerah (perda) atau peraturan bupati (perbup) yang spesifik menanggulangi masalah objektifikasi tubuh perempuan menunjukkan kurangnya perhatian terhadap isu ini.
Minimnya perhatian pada kekerasan seksual juga tampak saat pemilihan legislatif waktu itu, di mana hanya sedikit calon yang menyuarakan keprihatinan terhadap masalah tersebut. Para cabup di Karawang juga belum ada deh yang membawa secara spesifik masalah objektifikasi tubuh perempuan di dalam kampanye-kampanye mereka saat momentum pilkada ini.
Mengembalikan Ruang Aman Perempuan
Perempuan berhak mendapatkan ruang aman untuk beraktivitas tanpa rasa takut. Bekerja di industri ritel, otomotif, atau kesehatan, misalnya, membutuhkan mobilitas yang sering kali membuat perempuan harus ke luar rumah.
Ruang aman di Cikampek dapat terwujud jika ada political will dari pembuat kebijakan, seperti DPRD Karawang dan bupati Karawang. Mereka perlu menyusun peraturan yang anti objektifikasi tubuh perempuan, dengan melibatkan aktivis gerakan perempuan misalnya.
Dengan kebijakan yang tepat, perempuan Cikampek dapat kembali merasa aman dan bebas dari ancaman begal payudara (karena sumber utamanya yaitu objektifikasi telah diatasi oleh pendekatan pencegahan lintas sektoral).