Cerpen Malam Minggu

Perjalanan sembilan remaja ke desa seberang untuk menonton layar tancap berubah menjadi pengalaman tak terduga yang menguji keberanian dan batas realitas mereka.

Cerita ini terjadi pada malam Minggu kala sembilan remaja dari Desa A pergi bersama menuju Desa B untuk menonton layar tancap. Mereka berjalan melewati areal persawahan yang luas membentang, yang diatapi langit bertaburan bintang-gemintang, yang dibatasi oleh pohon-pohon yang saking jauhnya jadi tampak begitu kecil. Di balik pohon-pohon itulah Desa B berada. 

Mereka berjalan di atas jalan yang cukup lebar. Bekas ban sepeda motor tercetak jelas di antara rumput-rumput liar. Tanaman padi yang baru saja ditandur menggenang di atas permukaan sawah yang airnya memantulkan bentuk rembulan. Suara kodok dan jangkrik bersahutan dan kunang-kunang beterbangan, bikin suasana terasa romantik.

Kesembilan remaja itu mengisi perjalanan dengan penuh canda tawa sehingga tak terasa bila mereka telah sampai di Desa B.  

Mereka langsung disergap rasa heran sebab merasa asing dengan suasana tempat tersebut. Tempat yang mereka akrabi sebagaimana mereka hafal denah desa sendiri kini telah berubah menjadi hutan belantara. 

Padahal mereka tahu bila begitu masuk lewat jalan tersebut mereka akan menjumpai sebuah kandang kambing di tepi sawah, lalu ada rumah besar milik mantan kepala desa, ada warung nasi uduk yang selalu ramai, dan di perempatan jalan ada pabrik penggilingan padi.

Akan tetapi yang mereka hadapi sekarang hanyalah jalan setapak yang penuh rumput setinggi betis dan di sekitar kanan kirinya hanyalah pohon-pohon tinggi yang tak mereka tahu jenisnya, sampai mereka disergap rasa takut dan memutuskan untuk balik arah ke asal mereka tiba. Namun, mereka dibikin kaget sebab jalan yang mereka lalui tadi telah berganti menjadi hutan yang tak terlihat ujungnya. 

Gagasan bahwa mereka tersesat ke alam gaib mulai memasuki pikiran. Mereka merapatkan diri satu sama lain di tengah kegelapan. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Perasaan takut melihat hantu bertengger di pikiran masing-masing. Perasaan ingin menangis ditahan-tahan seban merasa malu pada yang lain.

Pada saat itulah tiba-tiba mereka melihat sebuah pijar cahaya di kejauhan. Didorong rasa penasaran dan harapan semoga cahaya itu adalah jalan keselamatan, mereka perlahan mendekati cahaya tersebut. 

Ternyata cahaya tersebut berasal dari sebuah petromak yang digantung di muka warung. Mereka mulai lega hati dan mendekati warung tersebut. Yang menjaga adalah seorang gadis seusia mereka. Paras gadis itu begitu cantik sehingga mereka semua jatuh hati dibuatnya.

Mereka jadi lupa pada kesusahan yang baru saja menimpa mereka.  Mereka sibuk memandangi garis-garis halus kecantikan si gadis dan juga senyumannya yang amat manis. 

“Eh, Aa barade jajan naon?” suara si gadis begitu lembut sehingga tanpa sadar mereka semua tersenyum mendengarnya. Dan si gadis bertanya untuk kedua kalinya.  

Mereka memesan kopi, teh manis, goreng pisang, dan dibikin takjub lagi sebab rasa tiap hidangan begitu menakjubkan. Lebih-lebih nikmat tiga kali lipat dari yang biasanya mereka santap.  

Gadis itu bernama Imas. Rambutnya panjang sepinggul dan warna kulitnya kuning langsat. Bentuk mukanya kecil diisi mata besar penuh pesona, bibirnya mancung namun landai seperti perosotan kurcaci, bibirnya merah muda dan begitu ranum.

Mereka sibuk berebut bincang dengan Imas dan ingin mendapat perhatian dari Imas. Imas ternyata gadis periang yang ramah dan juga mudah tertawa sehingga hati mereka makin berdesir makin lama.  

Ketika sedang asyik bercanda dengan Imas, tiba-tiba dari belakang warung muncul seorang bapak-bapak paruh baya. Mereka kaget dan menghentikan tawa mereka sejenak. Bapak-bapak itu masuk ke warung dan Imas memcium punggung tangannya. 

“Saya bapaknya Imas,” begitu kemudian bapak-bapak itu memperkenalkan diri dan ikut nimbrung duduk bersama mereka. 

Bapak itu bernama Miraja. Orangnya periang dan suka sekali mendongeng. Kepada kawanan muda itu ia menceritakan cerita-cerita alangkah menariknya.

Mulai dari cerita sedih tentang seorang gadis Belanda yang jatuh cinta pada pemuda pribumi dan cintanya dilarang, cerita menakutkan tentang hantu dukun santet, cerita menakjubkan tentang nelayan yang berburu ikan paus, dan cerita-cerita lucu berbagai macam yang bikin mereka ketawa terbahak-bahak.  

Ketika sedang tertawa-tawa itulah mereka kedatangan seorang kakek berpeci putih. 

Assalamualaikum warrahmatullah!” 

Namun tak ada satupun yang menjawab. Para remaja itu saling pandang satu sama lain. Dalam batin mereka merasa mengenal kalimat tersebut, namun sekaligus juga lupa. 

“Anak-anak, ayok kita pulang.” 

Si Kakek hanya merangkul satu orang, namun ajaibnya seluruh remaja tersebut terdorong dan mengikuti langkah si kakek. 

“Jangan ada yang noleh ke belakang!” Perintah si kakek. 

Mereka semua menurut. 

Tiba-tiba mereka merasakan sesuatu berubah: jalan penuh semak sebetis hilang berganti jalan berbatu, pohon-pohon menjulang tinggi hilang berganti cahaya-cahaya dari neon rumah sekitar, di depan mereka sudah berkumpul para warga membaca ayat kursi bersama.

Si kakek menyerahkan remaja-remaja tersebut dan menyuruh mereka untuk dibawa ke baris belakang warga agar tak melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Namun, satu remaja masih bertahan di barisan paling depan dan menoleh ke arah warung tadi. Ia tiba-tiba jadi begitu rindu pada wajah Imas yang cantik.

Tetapi, apa yang dilihatnya kini sangat berbeda dengan apa yang ia lihat beberapa waktu lalu. Tak ada warung dari tempatnya tadi, tak ada lampu petromak yang begitu terang, tak ada Imas yang cantik dan tak ada bapaknya Imas yang jago mendongeng tersebut.

Yang ada di pandangannya hanyalah sekumpulan pohon pisang dan dua sosok pocong berdiri di depan pohon pisang tersebut. Yang satu lebih tinggi dari yang lainnya. Tangan remaja tersebut jadi bergetar dan ia jatuh pingsan.  

Lahir di Subang, 2 Maret 1994. Sekarang tinggal di Karawang. Seorang cowok sendu yang suka anime, suka melamun sambil memerhatikan berubahnya bentuk awan. Suka jalan-jalan sendiri~

Related Post

No comments

Leave a Comment