Ulasan

Kita mau ngulik dan ngenalin karya-karya (dari film, musik,  dan buku) sampai ke akar, dan menjadikannya “personal”.

Untuk kamu yang ingin melihat atau mencoba “membaca” karya dengan kacamata lain, yanglebih jujur, lebih dalam, lebih nyimpang. Inilah

The Witch: Mitos dan Sumber Segala Kejahatan

Ia tak punyai kemampuan survival yang cukup untuk bertahan tanpa pertolongan orang lain: hasil panen jagungnya buruk, gagal menembak kelinci dan malah melukai diri sendiri, menjual cawat perak istrinya diam-diam, dan tak bisa mengurusi keluarganya. 

Alasan Young Sheldon Gak Boleh Diremehin Lagi

Mimik dan raut wajahnya Sheldon di sini sangat tepat, sesuai naskah, gak kurang gak lebih, dan astaga! Caranya berbicara kata-kata formal seperti brasserie, genuinely, criticism, initiating, detest, principles, dan assummed di percakapan sehari-hari tuh bikin saya salut. Bayangkan kamu lagi nonton film tapi kamu berasa TOEFL, dan percakapan TOEFLnya diucapin sama anak kecil pula.

Pesan Pembebasan Rasial dalam A Quiet Place: Day One

Di film-film apokaliptik, biasanya tokoh utama adalah tokoh yang kuat, cerdas, bisa berantem, punya channel dengan pemerintah atau orang penting lah. Seolah-olah yang bisa bertahan dalam keadaan porak poranda adalah mereka yang punya privilege aja biar dijemput pakai helikopter pemerintah gitu~

Dibuat Kesal sama Murakami

Saya punya dugaan: Haruki Murakami ini orang yang seksis. Ini baru kecurigaan lho, ya. Lagian gak mungkin kan saya nyimpulin sifat/karakter penulis berdasarkan 1 buku aja.

Sangkan Paran Pelukan: Potret Buruh Migran Indonesia dalam Sebuah Puisi

Para Penyimpang, maukah kuceritai tentang sebuah puisi? Bukan puisi unyu tentang cinta, apalagi puisi yang melulu bicara mengenai senja. Bukan, bukan itu, melainkan tentang realitas dalam kehidupan berumah tangga. Inilah dia, Sangkan Paran Pelukan judulnya:   Jeng, berapa lama kita tak jumpa? Satu, dua, tiga dasa, Atau telah beratus purnama?   Andai esok kita jumpa […]