Payung di Ujung Surup
Tidak ada Subjudul karena ini cerpen pendek
Bagaimana membaca “semangat zaman” kiwari?
Tentu saja melalui isi kepala dan keresahan dibentuk menjadi karya-karya seni. Di sinilah Para Penyimpang mendokumentasikan seanagt-zaman mereka.
Entah itu tulisan, visual, audio, atau bentuk-bentuk lain yang belum punya nama. Di sini kami berkarya tanpa banyak aturan—asal jujur, berdaya, dan bikin mikir (atau minimal bikin senyum sendiri).

Sore itu, langit cukup kelabu. Seorang wanita berdiri kaku di depan gerbang rumah tua dengan desain arsitektur kolonial Belanda di Jalan Cipaganti, Bandung. Kedua jemarinya bergetar menggenggam surat yang disertai amplop merah. Wanita itu bernama Diana, berusia 32 tahun, seorang penulis novel, tinggal di Jakarta. Surat yang berada di genggamannya tertulis atas nama seorang laki-laki […]

menguap di antara janjiku padamu dalam dingin perasaan ini mengukir di antara suara parau

Sore itu, istriku masih menangis. ia masih tak mau makan. Ada sayur daun singkong di meja. Itu makanan favoritnya padahal, tapi ia masih diam saja. Ia mungkin terkejut waktu dokter menyimpulkan sakitnya. Sakit orang kaya.

dan kita mulai bertanya: hendak bawa yang mana, dari semua luka yang tersisa?

“Aku tidak menghendaki anak darimu, Dik.”“Kenapa, Mas? Sebab aku mantan pelacur?”

Lalaki curiga pamajikanana salingkuh, nepi ka nuturkeun nyumput-nyumput.



Di dalam, semua barang masih ada di tempatnya, kecuali satu hal—sosok yang seharusnya ada di sana.
