Kalau Kecemasan adalah Warisan, Kita Kelola Aja Gimana?
"Nak, kamu harus sukses ya," kata Ibu sambil menguleni adonan bakwan di ember, "...biar nggak kayak Ibu sama Bapak."
Kolom ini berisikan esai opini mengenai kejadian-kejadian terkini dan personal. Ditulis sesantai yang kami mampu, seserius yang kami bisa.
Harapannya, suatu hari nanti kita bisa melihat kembali bagaimana kita mencatat peristiwa-peristiwa yang telah lewat.
"Nak, kamu harus sukses ya," kata Ibu sambil menguleni adonan bakwan di ember, "...biar nggak kayak Ibu sama Bapak."
Wuhu! Orde Baru 2.0! Welcome to Indonesia Neo-Orba. Bahaya Laten Pikunis!
Saya memiliki asumsi bahwa orang-orang yang terjebak dengan masa lalunya adalah orang-orang bodoh. Ia tidak bisa mengentaskan dirinya sendiri dari kubangan kotor seolah ia betah di tanah lumpurnya itu. Ya, mirip seekor babi.
Rakyat tidak didorong untuk bertanya, "Kenapa saya miskin?" melainkan diajak merasa bangga, "Meski miskin, saya tetap Sunda, saya tetap mulia."
Padahal kalau direnungkan lagi, sebenarnya sesuatu yang kita anggap “butuh” itu, gak kita butuhin banget.
Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika di saat yang sama bencana ekologis mengintai, dipicu oleh aktivitas pertambangan yang tak terkendali?
Lalu mereka membawa semua itu ke dalam pernikahan, berharap pasangan bisa menyembuhkannya.
Kementerian Kebudayaan di bawah komando ngab-ngab tidak berbudaya alias Fadli Zon(k) ini seolah bergerak tanpa kenal tidur (read: abang-abangan sok nocturnal) membangun sebuah mega proyek: penulisan ulang sejarah “resmi” Indonesia.
Saya sepenuhnya setuju kalau ada yang bilang kata-kata adalah senjata.
Pada akhirnya ibu itu menyusui di toilet meskipun aku nggak tahu siapa yang pertama kali berpikir itu ide yang bagus? tapi nya kumaha deui, sok?!