Cancel Culture di Mata Saya
Memang ada garis tipis pada cancel culture antara melucuti kredibilitas karena terbukti melakukan kesalahan atau belum terbukti melakukan kesalahan.
Kolom ini berisikan esai opini mengenai kejadian-kejadian terkini dan personal. Ditulis sesantai yang kami mampu, seserius yang kami bisa.
Harapannya, suatu hari nanti kita bisa melihat kembali bagaimana kita mencatat peristiwa-peristiwa yang telah lewat.
Memang ada garis tipis pada cancel culture antara melucuti kredibilitas karena terbukti melakukan kesalahan atau belum terbukti melakukan kesalahan.

Kami pernah berbagi mimpi tentang masa depan yang utopia tanpa kelas, kami pernah menghidupi mimpi tersebut dengan membangun kolektif, membangun koperasi yang kami percaya bisa kami gunakan untuk bertahan di hidup yang tak menentu ini. Rasa sayang saya yang besar terhadap sahabat laki-laki saya inilah membuat saya semakin tidak percaya cancel culture.

Padahal kekerasan mental yang kerapkali dilakukan menggunakan video vulgar, rekaman sarkastik yang dimanipulasi, dll. itu perlu diatur juga.

Kamu memilih menyebut "praktik cuci tangan" untuk orang yang menolak berdiri bersama kamu sebagai pelaku? playing victim jenis baru atau apa ini tuh? IQ dengkul.

Bagi saya—mungkin orang lain juga, banyaknya isu kecurangan pemilu di tahun-tahun sebelumnya jadi penyebab utama munculnya ‘hilang kepercayaan’ atau lose faith tersebut. Entah, di dalam hati mengendap semacam perasaan paranoid atau trauma.

Saya perempuan, dan saya bukan hewan liar. Saya memiliki akal yang bisa saya isi, memiliki pikiran yang bisa saya asupi. Saya tidak butuh diajari bagaimana saya harus bertindak oleh pasangan saya (yang dalam kasus saya adalah pasangan laki-laki), siapapun itu. Dunia sudah mengalahkan saya berkali-kali, dan kenapa sebuah hubungan harus menjadi arena pertarungan menang-kalah?

Oh iya, saya rasa saya harus pamerin ulang geng terbaru saya: Femme Fatale Purwakarta. Cukup menyedihkan sih, karena cita-cita Femme Fatale itu kan jadi yayasan, bukan geng! huft.

Di umur yang menginjak 26 tahun ini, mayoritas teman saya yang masih hidup di kampung hanya tinggal tersisa dua golongan saja. Sebagian jadi mama muda calon influencer Facebook, sebagian sisanya jadi anggota KPPS.

Lagi-lagi saya merasa bersyukur dikelilingi sahabat-sahabat terbaiq saya. Yang tidak pernah menambah beban hidup saya dengan beban hidupnya mereka. Yang mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Yang bekerja sekaligus berkarya. Yang gak ngejadiin proses berkarya sebagai tameng dari kemalasan mereka cari cuan.

Ada yang bilang kalo feminis itu benci cowok. Lah, gimana sih? Gue yang cowok aja ngerasa perlu banget dukung feminisme. Kenapa? Ya, karena feminisme itu tentang kesetaraan gender, bukan ninggi-ninggiin satu gender.
