Saya baru pulang kerja, keringat belum kering. Langsung duduk di sofa kesukaan saya, sembari menyelonjorkan kaki. Hening. Di saat mata terkatup, istri saya membangunkan.
Saya masih berkunang-kunang, tapi saya bisa lihat raut wajahnya. Saya tanya ada apa, istri saya nyerocos, “Ayook Mas, bantu Abah Komar!”
Di kantor, atasan saya menumpahi saya dengan berkas-berkas kerja yang harus saya bereskan segera. Hari dimana saya kerja harusnya lebih senggang, namun atasan saya menjelaskan kalau perusahaan kami sedang bagus-bagusnya tahun ini. Banyak perusahaan lain menawarkan kontrak kerjasama. Jadilah saya keteteran mengejar deadline.
“Bantu bagaimana?” Tanya saya, “Kan sudah dikubur. Saya harus bantu apa? Menggalinya kembali dari liang kubur?” Jujur saja, saya sedang capek sekali. Saya heran, bukannya Abah Komar dikabarkan meninggal tadi subuh melalui corong masjid? Saya ingat betul. Tak cuma mendengar, saya juga ada di masjid itu.
Istri saya kelebihannya memang suka melebih- lebihkan cerita. Saya sudah sering bilang supaya tidak usah ikut-ikutan tren ibu-ibu tetangga yang lain, yang suka ngegosip dan melebihkan cerita.
“Mas! Abah Komar tidak jadi meninggal”
Tuh, kan. Istri saya suka melebih-lebihkan cerita. Saya sering kesal dalam hati kalau sudah begini. Meski begitu saya tetap cinta. Mau bagaimana lagi. Kami pacaran dari jaman kelas 1 SMA hingga lulus dari kampus yang sama. Lalu memutuskan berumah tangga.
Saya iyakan saja. Saya turuti apa maunya. Dengan Honda Beat kami, kami ke rumah Abah Komar. Bahkan saya belum sempat ganti baju. Jarak rumah kami ke rumah Abah Komar sebetulnya memang tidak terlalu jauh. Berjalan kaki saja sepuluh menitan sampai. Cuma karena istri, saya nurut saja.
Sampai di halaman rumahnya banyak sekali orang berkerumun. Saya kira ini cuma tahlilan biasa. Tapi ternyata memang betul, mayat Abah Komar belum dikubur. Abah Haji keluar dari rumah
Abah Komar menghampiri saya, lalu menjambret tangan saya. Saya lihat mayat Abah Komar yang terbaring berbalut kafan. Matanya melotot, muka pucat, hidung disumbat kapas, dengan setengah badan ditutup kain batik.
Di sebelah Abah Komar ada anak-anaknya terisak menangis dan cucu-cucunya yang ketakutan bersembunyi di balik punggung ibu mereka.
Saya bingung. Kalau Abah Komar tidak jadi meninggal bagus dong harusnya. Tapi entah kenapa mereka menangis. Anehnya lagi malah bawa-bawa saya. Saya tidak punya urusan dengan Abah Komar. Oh, kecuali…
“Mas! Ayo sana,” perintah istri saya. Begitu juga Abah Haji, seperti malah mendukung istri saya. “Silakan nak. Dari tadi Kang Komar terus-terusan menyebut nama sampeyan,” kata Abah Haji.
Akhirnya mau tidak mau saya mendekat ke sebelah Abah Komar. Tubuh tuanya peot-pucat. Matanya melotot menatap langit-langit rumah atau mungkin kipas gantung yang terus berputar memotong cahaya lampu.
“Saya harus apa?” Tanya saya ke Abah Haji. “Coba tanya langsung ke Abah Komar,” bisiknya. Saya mendelik ke anak-anak Abah Komar,
tatapan mereka seperti menunggu-nunggu reaksi saya. Saya tak tahu harus apa. “Bah, Abah kepingin apa dari saya?”
“Cincin..! Uhokhh..” jawab Abah Komar kemudian terbatuk disertai cairan hijau yang muncrat dari mulutnya dan mengenai kemeja saya. Sebagian kena muka saya.
“Oh.. cincin, Bah,” jawab saya. “Sayang mana cincinmu,” pinta saya pada istri saya.
“Kok cincinku sih, mas.” Istri saya jelas tidak rela. Seperti dugaan saya memang.
“Nanti aku ganti. Sayang…”
Istri saya mencomot cincin dijarinya lantas memberikannya kepada saya. Gerakannya seperti ogah-ogahan.
“Cincin. Ini Bah.” Saya persembahkan cincin milik istri saya dengan kedua tangan saya. Tapi entah kenapa Abah Komar menggeleng menolak.
Saya memandang bingung istri. Istri saya tersadar lebih dulu dengan cincin yang saya kenakan. Isteri saya mengambil cincinnya dan memasangnya kembali.
“Sayang bukan cincinku. Tapi cincinmu.” Istri saya mencopot cincin yang terpasang di kelingking kiri saya. “Yang ini kan, Bah” tunjuk istri saya, dan Abah Komar mengangguk-angguk. Entah kenapa saya jadi agak kesal dan rasanya ingin membogem Abah Komar.
Saya juga baru teringat cincin di tangan saya memang pemberian Abah Komar saban hari waktu kami bertemu di selasar Masjid Gede selepas
jum’atan.
Masalah lainnya muncul, Abah Komar minta ia dikuburkan dengan cincin miliknya. Saya sih tidak masalah. Abah Komar mau dikubur dengan cara apapun. Dibakar pun silakan. Itu urusan keluarga bersangkutan.
Hanya Abah Haji yang sejak semula duduk di sebelah saya menahan tangan saya ketika saya mau membuka kafan yang membalut Abah Komar untuk memasangkan cincin dijari Abah Komar. Katanya, tidak boleh seorang muslim membawa barang dunia ke alam kubur kecuali sehelai kafan dan amal perbuatan.
“Bah, ini bukan kehendak saya. Ini maunya Abah Komar,” terang saya. Tapi tetap saja, Abah Haji teguh dengan prinsipnya yang aneh itu. Anak- anak Abah Komar makin deras menangis melihat saya dan Abah Haji yang malah adu urat.
Hingga Anak tertua Abah Komar angkat bicara, “Sudah. Sudahlah, Abah Haji. Mau bagaimanapun kami sekeluarga hanya ingin bapak kami tenang. Biar semua cepat beres. Cincin itu, memang jimatnya bapak dulu waktu ikut mengusir penjajah. Dulu bapak pernah bilang, kalau cincin itu bikin bapak kebal peluru dan bisa menghilang dari kejaran musuh. Bapak juga pernah bilang, kalau dia sudah mendekati ajal harus dikubur dengan cincin miliknya. Biar tenang.” Jelas panjang lebar Mbakyu Marsinah, anak tertua Abah Komar.
Betul kata Mbakyu Marsinah, yang penting cepat beres. Jadi saya masukan saja cincin Abah Komar ke lobang mulutnya. Abah Komar kembang kempis ketika saya memaksa cincin masuk ke mulutnya. Aga sulit, tapi berhasil juga.
Entah cincin itu nyangkut di tenggorokannya atau langsung mampir ke lambung. Terserahlah. Tugas saya sudah selesai.
Saya menempelkan kuping ke dada Abah Komar.
Tidak ada detak jantung. Kali ini betulan mati.
Saat saya melihat sekitar, semua melongo, termasuk istri saya. Saya tidak tahu salah saya apa.