Woaaa! Saya senang karena muncul tulisan perihal cancel culture yang ditulis Kania Mamonto menyuarakan sudut pandang yang berbeda terkait itu, bisa kamu baca di sini.
Mau gak mau, kalau kita bicara cancel culture maka asbabun nuzul yang melandasinya pun bakal ikut-ikutan disebut. Katakanlah kekerasan (seksual/nonseksual), pencabulan, pelecehan seksual, plagiarisme karya, atau yang cukup dan masih sering (bisa jadi juga selalu) terjadi adalah tentu jha kasus-kasus perselingkuhan.
Namun karena saya gak tertarik ngikutin kasus perselingkuhan, jadi saya rasa kayaknya mending saya bahas cancel culture yang ada kaitannya dengan pelecehan seksual za.
2022 lalu, saya melihat unggahan pada sebuah akun pergerakan di Karawang yang memuat video teman laki-laki saya mengakui perbuatannya melakukan pelecehan kepada seorang perempuan. Lengkap dengan kronologi dan komentar-komentar yang kadang gak penting-penting amat sereceh minimal mandi dulu lah.
Apakah saya kecewa dengan teman laki-laki saya? tentu jha, terlebih saya dan pelaku baru ketemu lagi setelah terpisah sekitar 3 tahun sepertinya, dan pada 3 tahun itu kami semua sama-sama berada di titik terendah kami. Pas ketemu dan sama-sama merasa sudah lebih baik, ternyata teman laki-laki saya malah jadi pelaku pelecehan.
Merasa gagal? ya, tapi jujur saja saya tidak merasa gagal-gagal amat karena kedekatan kami pun sebatas teman yang gak pernah curhat dan gak ngomongin hal-hal pribadi.
Saya gak tahu bagaimana kejadiannya kalau pelakunya bukan teman saya yang ini. Saya gak tahu gimana urusannya kalau pelakunya teman saya yang itu atau si itu yang satu lagi tea.
Apakah saya menyayangkan sikap kolektif pergerakan tersebut? tidak. Saya justru merasa ada yang berpihak pada saya.
Saya merasa “Akhirnya, kasus pelecehan tidak hanya berhenti pada obrolan yang senyap di lingkaran tertentu. Akhirnya, kasus pelecehan gak jadi sesuatu yang terus-terusan ditutup-tutupi hanya untuk menjaga kepentingan saja.”
Kasus yang saya tahu memang hanya sebagian kecil, tapi dari sebagian kecil itu bahkan kebanyakan memang hanya jadi obrolan yang senyap di lingkaran dengan kondisi: korban membawa traumanya seumur hidup dan pelaku menjalankan hidupnya seperti biasa dan lagi-lagi melakukan hal serupa pada korban yang lain.
Sekarang bayangkan seperti ini:
Di sebuah blok komplek perumahan, kendaraan seorang warga (A) digondol maling tanpa ketahuan. Kondisi finansial si A ternyata gak begitu baik dan, si A memilih diam saja. Ia percaya bahwa melapor ke polisi adalah hal yang percuma, terlebih untuk orang yang gak berduit seperti dia. Ia lantas meneruskan hidupnya sambil mengurangi porsi makannya karena harus membagi penghasilannya buat cicilan motor baru atau ongkos ojol sehari-hari.
Besoknya, kendaraan warga yang lain (B) hilang. Si B kesal bukan main, keadaan finansialnya gak seburuk si A memang, tapi si B punya tekad untuk ke polisi. Dia melapor ke polisi tapi polisi malah bilang,
“Ikhlasin aja udah, motor susah banget soalnya kalau udah ilang. Lagian salah sendiri kamu, kenapa blablabla. Kan di kompleks itu pasti ada satpamnya kan,”
Si B pun berpikir pihak berwajib tidak pernah punya keinginan menyelesaikan laporannya.
Si B kembali ke rumah. Dia pun melaporkan kejadian itu pada RT dan satpam komplek yang lagaknya seperti menjaga di pos, padahal seringnya tutup mata. Semuanya bilang kalau itu cuma musibah dan menyarankan si B untuk lebih berhati-hati lain kali.
Si A sebagai korban pertama curanmor itu pun merasa “Oh responsnya juga sama aja deh kalau gini. Untung waktu itu saya gak bilang, nanti bisa-bisa saya yang dimarahin.”
Curanmor di komplek tersebut terus terjadi karena semua warga gak tahu malingnya itu beraksi di jam berapa, metodenya bagaimana, peralatan apa saja yang ia punya, apakah malingnya ini sama atau beda, dan perkara-perkara lainnya. Ada beberapa orang yang pindah, ada yang masih bertahan sambil bilang “Gapapa”
Sampai akhirnya, seorang warga (Z) membongkar rekaman CCTV di rumahnya setelah ia kehilangan motornya. Hingga muncul pengetahuan ke para warga,
“Oooh ini malingnya.”
“Oooh malingnya sekian orang. Yang satu jaga, yang satu eksekusi.”
“Oh caranya teh dicongkel kuncinya.” dan banyak oh-oh lain yang memunculkan pengamanan yang tepat.
Saya tahu ini analogi yang buruk dan kasus pelecehan seksual tentu za jauh lebih kompleks dan lebih menyakitkan daripada curanmor tadi. Mari kita imajinasikan seperti ini:
Satu blok komplek itu pasti sudah kosong jika semua orang diam dan tidak melaporkan kehilangannya. Developer rugi karena lahan yang sudah dibangunnya cuma berhasil jadi tanah kosong yang ninggalin desas-desus cerita AIUEO.
Itu mending, bagaimana jika tidak pernah ada warga B yang gak ngomong? dan gak ada warga Z yang memasang CCTV dan menyebarkannya, lalu pelaku curanmor dengan senang hati melakukan aksinya di blok-blok di komplek lain karena selalu lolos?
Saya belum pernah dengar pelaku curanmor bilang “Saya telah mencuri motor. Saya merasa sangat bersalah. Saya ingin menebus kesalahan saya. Gimana, ya?” sambil menyerahkan dirinya. Ya kecuali pelaku tabrak lari di serial Pocong Mumun yang itupun harus digentayangi dulu baru dia mengakui kesalahan dan menyerahkan diri. Apalagi pelaku kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Mungkin ada, tapi … emang ada? ya mungkin ada, tapi … emang ada?
Pelecehan seksual bisa jadi lebih jauh daripada itu
Pelecehan seksual bisa jadi lebih jauh daripada itu, belum lagi ancaman dan tekanan dari banyak pihak kepada korban untuk menunda kasus, menekan korban untuk melupakan dan meredamnya seolah-olah yang dirasakan korban adalah kelebayan, keyakinan bahwa korban cuma make up story, korban caper, korban bersalah karena pakai baju blabla, korban bersalah karena mau aja diajak, korban salah karena sudah cerita ke orang, dan banyak hal lain yang kita paham dan kita tahu itu selalu terjadi pada kasus pelecehan seksual.
Saya jadi ingat skorsing Melki BEM UI akibat kasus kekerasan seksual yang muncul di tengah panasnya hawa politik di Indonesia. Dari komentar-komentarnya, banyak yang merasa kasus ini janggal karena berdekatan dengan isu politik. Singkatnya muncul kasus-kasus seperti ini:
Woy gue yakin ini orang tuh gak gitu. Ini pasti perbuatan rezim!
Gila serem banget ya sekarang rezim kalau mau jatohin orang pakai kasus pelecehan dan KS
Melki gak mungkin gini! Gue tahu banget dia gimana,
dan komentar lain yang bunyinya serupa. Padahal, keputusan itu merupakan putusan dari Satgas PPKS UI yang sudah melalui tahap-tahap tertentu.
Seingat saya, kronologi kasus ini memang gak disebar, sih. Tapi apakah kemudian ketika kamu gak tahu kronologi satu kasus, kamu jadi menolak percaya kasus itu terjadi bahkan setelah ada putusan dari Tim Satgas PPKS?
Lalu bagaimana jika kronologi itu disebarkan dan diketahui? Apakah kamu bisa memercayai cerita itu? Atau menyalahkan korban dengan dalih-dalih lain seperti korban dibayar rezim gitu? Atau masih percaya itu karangan dan rekaan dari pihak lawan yang dianggap lebih berkuasa? Atau bagaimana?
Pada kasus yang lain, saya ingat Saipul Jamil, yang diagung-agungkan begitu keluar penjara. Padahal, Saipul Jamil terbukti melakukan pencabulan. Seolah-olah mengakui kesalahan adalah hal terbaik yang dipunya daripada mencegahnya terjadi? Bagaimana mungkin seorang pelaku pencabulan mendapat tempat di televisi bahkan setelah ia terbukti bersalah? Bagaimana perasaan korban dan keluarga? Gimana dampaknya kalau korban ke-trigger? Apa fungsi KPI?
Pernyataan sikap dan cancel culture
Pernyataan sikap dan cancel culture bisa jadi bukan jalan terbaik yang kita miliki di tengah gagalnya negara dan lembaga kepolisian menangani kasus-kasus serupa, di tengah kegagalan komunitas membangun ruang aman untuk setiap anggotanya, di tengah masyarakat tapi saya punya keyakinan bahwa 1 jalan memang harus dilewati untuk mencapai tujuan.
Pernyataan sikap dan cancel culture bukan berarti menolak hak berteman seseorang, apalagi hak hidup. Toh, semua yang berdosa juga punya kesempatan kedua, dan semua orang bebas memilih keberpihakan mereka tanpa harus mengesampingkan perasaan korban. Terlebih, apabila muncul kasus pelecehan bukan pertama dilakukan pelaku yang sama. Kok bisa itu terjadi berulang? Selama ini apakah kasus yang senyap itu memang tidak pernah selesai? atau merasa sudah biasa dan selalu memaklumi?
Saya lantas membayangkan selama ini diskusi-diskusi dan upaya yang dilakukan untuk memberi kesadaran pada akhirnya menguap dan hanya jadi omong kosong di ruang-ruang kolektif. Entah pelaku yang menolak partisipatif, entah teman-temannya yang menolak partisipatif, entah.
Padahal, gerakan cancel culture merupakan gelombang kemarahan yang muncul karena beberapa hal seperti:
“Astaga. Ternyata selama ini bukan cuma aku.”
“Ternyata yang aku rasain sama.”
yang sebelumnya tidak ada karena tidak ada yang bicara. Yang sebelumnya gak ada karena gak saling bicara, dan gak punya kemampuan atau kekuatan buat mengutarakan. Gelombang yang muncul untuk meningkatkan awareness dan bikin kita berani bilang,
“Sia tong kitu! Sia hayang siga si ieu? Nu bener ngelola napsu, teh!”
kalau ada yang bercandanya mulai ke arah negatif di tongkrongan.
Saya gak menampik fenomena gunung es pada kasus pelecehan seksual. Ada korban yang saat ini ke luar kota karena ada pelaku yang jadi “siapa” di kabupatennya, ya ada … ada korban yang saat ini gak bisa berkomunitas karena trauma sama pelaku di komunitasnya, ya ada … ada korban yang ini yang itu ya ada. Makanya saya selalu diingatkan sama teman-teman yang lebih berpengalaman sejak awal: “Selalu tanya kebutuhan korban. Pastikan korban baik-baik. Selalu tanya dia butuh dibantu apa.”
Toh, saya penyintas. 90% teman saya juga penyintas. duh bisa-bisanya lagi 90% teman saya. Yang 10%nya tidak mengalami karena berasal dari kalangan atas yang sepanjang hidupnya gak berteman sama orang lain pula. Tapi saya sempat mikir kalau yang 10% ini sebenernya mengalami, cuman pada punya uang untuk memprosesnya sejauh yang dia mau. Ya itu yang saya gak tahu lah, tapi anggap saja 90% udah.
Memang ada garis tipis pada cancel culture antara melucuti kredibilitas karena terbukti melakukan kesalahan atau belum terbukti melakukan kesalahan. Maka dari itu saya menolak gagap, dan ketika saya menerima satu kasus yang tidak bisa saya dan teman-teman tangani sendiri karena bingung, kami memilih melaporkannya ke pihak dan lembaga yang lebih mumpuni menangani kasus serupa.