Jayanti kira cuma dirinya yang perlu sesi ke psikiater, tapi ternyata mangsa-mangsanya lebih membutuhkan waktu dan biaya untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis kejiwaan.
“Bukan, bukan itu masalahnya.”
Jayanti lantas mengingat-ingat, “Sejak kapan ya, BPJS cover pengobatan jiwa?” ia mengobrol dengan dirinya sendiri.
Masalahnya begini, ia tahu betul pengobatan ke poli jiwa menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Ia juga tahu, gak semua orang punya kesadaran bahwa mentalnya sakit. Kebanyakan orang hanya akan mengatakan, “Makanya ibadah, berdoa sama Tuhan.” “Kayaknya kamu perlu dirukiah, deh.” “Healing dong biar gak hallucinating.”
Ya, hal-hal semacam itu, lah.
Jayanti pernah berada di sebuah sanatorium tempat orang-orang dengan gangguan jiwa dirawat. 80% diantaranya adalah orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas. Akhirnya, Jayanti memiliki kesimpulan kurang lebih seperti ini,
Kalau 80% orang yang ada di sanatorium adalah orang dengan ekonomi menengah ke atas, dan 20%nya adalah orang dengan ekonomi menengah ke bawah dengan sedikit keberuntungan dan sisa-sisa warisan, lantas ke mana orang-orang menengah ke bawah dan tidak beruntung yang punya gangguan jiwa?
Jawaban yang muncul di kepala Jayanti cuma 2; mereka ada di jalan, atau berakhir menjadi pembunuh sepertinya.
Jayanti jadi sedikit ketawa. Bisa-bisanya mangsa buruan itu menyebut-nyebut julukan yang payah seperti Bocah Penyimpang, Para Penyimpang, atau apa pun lah itu. Ia lantas berpikir, orang-orang Keparad itu kebanyakan nonton film atau gimana?
“Siapa juga yang mau membunuhmu di ketinggian,” Jayanti menyeret-nyeret mayat yang lebih berat dari badannya dengan tergopoh-gopoh.
Ia berada di kegelapan Pertamina yang sudah lama kosong di daerah Kopel, Klari. Jayanti juga gak gitu ngerti alasan pom tersebut ditutup selain soal kecelakaan yang sering terjadi tepat di depannya sampai memakan korban jiwa. Di dunia yang sudah kacau seperti sekarang ini, tentu jha gak akan ada yang peduli. Semua orang pun sudah takut untuk keluar rumah.
“Ah, anjing. Berat banget tolol.” Jayanti menaruh mayat yang sudah dipotongnya menjadi 3 bagian itu ke dalam gedung bekas ruang administrasi pom.
Di sana sudah ada beberapa patung dari kertas-kertas bekas yang ia kumpulkan dari kantornya sebelum tutup akibat pandemi Keparad. Upaya menyelamatkan bumi dan climate action, pikirnya.
Danu membantunya membuat manekin dari kertas itu beberapa hari yang lalu. Selain karena Danu seniman, Danu juga langsung mengiyakan permintaan Jayanti karena ia sangat menikmati goyangan Jayanti di kali pertama bercinta. Danu benar-benar tidak ingin kehilangan Jayanti.
Jayanti lalu menyambungkan 3 potongan tubuh itu ke 3 manekin yang sudah sangat sempurna. Jadilah 3 buah mahakarya. Kepala asli dengan manekin dada, bagian tengah tubuh asli dengan kaki manekin, dan kaki asli dengan bagian tengah tubuh manekin.
Kelamin korbannya sudah ia simpan buat souvenir nanti. Jayanti menyalakan lampu tumblr yang tersambung dengan baterai.
Setelah nyala, gedung bekas kantor administrasi pom itu menjadi mirip dengan cafe. Jayanti sudah mempersiapkan semuanya. Lampu-lampu pun menyala, tertera tulisan “Solo Art Exhibition: A Quarter Century by Sugarbaby.” berwarna pink neon.
Beberapa hewan menjijikan menempel di instalasi seninya. Lukisan dengan darah-darah korbannya, paper mache dengan mata biji testis beberapa korbannya dihinggapi belatung, hidung yang jadi saluran aquarium ikan cupangnya, dan terakhir manekin yang baru ia buat.
Ini adalah studionya.
Jayanti ngeleos pergi. Menyebarkan poster “Solo Art Exhibition: A Quarter Century by Sugarbaby.” di sepanjang jalan yang sepi.
Ia merasa senang bukan main. Semua orang harus melihat studio dan karya seninya. Di dalam hati, ia berpesan anggota Keparad yang tersisa harus mengurangi nonton Marvel.