“Jos, enak kali ya berak sambil isap ganja.”
Aku menoleh patah-patah ke arahnya seperti kipas angin.
“George, bukan Jos,” kataku kesal.
“Pernah ga kamu habis makan terus sebatnya ganja?”
John Abate orangnya kelewat tengil. Badannya pendek, rambutnya potongan poni kuda yang bakal bikin warga Jamaika gemas mengikat dan mengerek kepalanya sebagai pengganti bendera upacara hari Senin.
Jika kebetulan angin bertiup agak kencang, semua yang ada di badan Pak John berkibar-kibar seperti bendera. Termasuk rambut hijaunya itu. Kebiasaannya mengenakan baju kedodoran, pengakuannya, merupakan sikapnya menyindir kebijakan pemerintah. Jangan tanya hubungannya apa. Aku pun sama bingungnya. Lagian, semua orang di dunia ini bingung. Aldi Taher sudah benar.
Di tongkrongan, selain duo J, aku dan John—perlu dicatat, namaku George, anak-anak di tongkrongan, entah karena lidah kampungan mereka atau sengaja mengolok imperialisme yang dilakukan nenek moyangku, memanggilku Jos—ada juga Ahmad “Racing” Farid, Regi “Admin” Gilang, sama Arini S. “Bambang Yudhoyono”.
“Racing” pada nama Farid, seperti dugaanmu, melekat karena dia anaknya senang motoran. Dia sempat dijuluki Ahmad “Racing Samurai” Farid “dari Purwakarta” saat berusia belasan. Julukan itu tidak bertahan lama karena XTC, gank motor tempat dia menancapkan reputasi sebagai tukang balapan sekaligus samurai, beralih fungsi jadi ormas. Saat rekan-rekannya kemudian diberi pembinaan di kantor polisi dan kodim, Farid menyingkir ke Karawang, menyamar sebagai ojek online sambil membuang nama “Samurai dari Purwakarta”. Kini, di usia 30-an, hanya nama Racing yang berbekas dari sisa kejayaan masa lalunya.
Sedangkan “Admin” di tengah nama Regi melekat karena dia memupuk dosa sebagai admin. Regi tipikal manusia yang menjiwai profesinya. Dari pagi sampai sore, dia meng-admin-i Nyimpang.com, situs separatisme berkedok pengarsipan karya tulis anak muda Purwakarta. Setiap hari di jam 13.35 lebih 15 detik, sampai 13.40, kalau beruntung, di pojok kanan atas situs www.nyimpang.com akan muncul kolom pencarian warna biru terang yang mengarahkan pengunjung ke laman jual beli senjata api.
Buku-buku jualan Nyimpang semata kamuflase belaka. Oday Ingin Jadi Anjing, misalnya, adalah kode untuk AKM, si gesit anti rewel senapan serbu favorit teroris. Jam Segini untuk M416, senjata all rounded, enak dipakai spray jarak dekat, nyaman untuk membidik jarak menengah.
Malam harinya, kira-kira dari jam enam sampai satu dinihari, Regi jadi admin situs judi online maxxxwin2023.com. Regi mengibaratkan pelanggan situs judi online seperti anak SD yang diberi PR mencari buah khuldi. Taruhan yang penuh risiko, namun sepadan, dan mengutip Sutan Sjahrir, hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan dimenangkan.
Regi tidur tiga jam dalam sehari. Perkara kurang tidur ini kemudian merekatkan hubungan Regi dengan Pak John. Regi barangkali satu dari sedikit orang di dunia ini yang tahu dan mengerti jejaring senjata api, namun di hadapan Pak John dan jejaring sabu-sabunya, Regi hanyalah anak kemarin sore.
“Nih Reg, bubuk kenikmatan,” kata John pada suatu malam di sebuah kontrakan Jalan Veteran, Perum Bumi Panorama Indah, Purwakarta. John menutup pintu, melepas jaket, dan mengenakan masker. Ia tidak pernah tahan pada bau mesiu campur belerang yang bersumber dari ruang bawah tanah kontrakan itu.
Tanpa menoleh dari layar komputer, Regi menolak tawaran John.
“Kayak baru kenal aja kita. Aku tahu banget seorang chauvinis seperti kamu tidak pakai narkoba. Makanya aku tawari ini,” balas John tidak menyerah.
Regi melirik bungkusan mencurigakan di atas meja. Serenceng bungkus putih, bergambar nyamuk, penuh simbol-simbol larangan tergeletak di situ.
Sahabat-sahabat pembaca sekalian, di usia berapa kamu masuk ruang gawat darurat sebuah rumah sakit sebagai pasien? John di usia delapan tahun.
Ibu-ibu berpakain cokelat, mirip seragam ibu kepala sekolah, muncul begitu saja di ruang tamu rumahnya. Ibu John yang berada di dapur berbisik di telinga John kecil.
“Ibu sedang tidak di rumah, ibu-ibu bisa kembali besok atau besoknya lagi,” kata John menyampaikan pesan ibunya.
Ibu-ibu cokelat itu tanpa basa-basi mengulurkan serenceng bungkus putih, bergambar nyamuk, penuh simbol-simbol larangan ke tangan mungil John.
“Tolong kasih ini ke ibu. Bayarnya boleh besok.”
John angguk-angguk saja. Setengah bingung. Bungkusan putih ini di luar skenario yang dirancang ibunya.
Bungkusan putih tersebut menarik perhatian John. Sekilas, bentuknya mirip Finto. Fanta abal-abal yang dijual amang-amang warung samping sekolah.
Selagi ibunya masih bersembunyi di dapur, John sedang menuang isi bungkusan putih itu ke gelas.
Tegukan pertama, seratusan pasukan semut menyerbu tenggorokannya. Sensasinya persis saat ia menenggak Finto. Lidah kecilnya mencecap rasa dominan asin, sedikit manis, pahit di ujung.
Tegukan kedua, segalanya terasa ringan. Kepalanya seperti copot, seperti balon gas yang perlahan-lahan menjauh dari tubuhnya, terbang sendiri dalam kehendak bebas.
Tegukan kedua, ia merasa tititnya hilang.
Tegukan ketiga, seekor jin berukuran empat kali pria dewasa jatuh dari atap rumahnya. Jin itu mengenalkan diri, mengajak John jalan-jalan.
“Hahaha aku adalah jin dari Timur Tengah, hahahaha.”
Dalam ingatannya, John dibawa menyusuri lorong panjang, gelap. Seberkas cahaya di ujung lorong itu.
Bangun-bangun, John sudah berbaring di ruangan rawat inap. Ibu bapaknya menangis, duduk di pinggir ranjang. Seorang lelaki tua berpeci berdiri dekat tirai, mulutnya terlihat komat-kamit baca doa.
“Bu, Om Jin mana?”
“Om Jin siapa, Nak?”
“Itu, lho. Om Jin yang dari Timur Tengah Hahahaha.”