“Coba kamu pikir, deh. Emangnya mereka Vendetta a la-a la Jigsaw gitu?!” Jayanti bicara sendiri sambil memegang bingkai foto Theo
“Seluruh kota jadi berantakan, tahu! Pembunuhan di mana-mana! Acak-acakan dan berantakan. Bau bangkai menuhin jalan. Aku harus gimana?” Jayanti masih meracau sendiri.
Suasana di Karawang memang tak lagi kondusif. Sekolah bahkan sudah diliburkan. Pemberontakan ada di semua tempat. Di kota, pinggiran, dan perbatasan. Semenjak Keparad membajak televisi dan aktif melakukan publikasi di semua lini media sosial, Karawang saat ini lebih mirip seperti kota zombie.
“Jay, besok kamu jangan ikut-ikutan aksi di Pemda lah, ya. Bahaya.” Farid mengingatkan melalui telepon
“Kamu ngeremehin aku?”
“Yeh bukan gitu. Maksudku kalau kamu kenapa-kenapa kan nanti gak ada yang bikin tulisan! Kamu mah suka gitu da!”
Jayanti menutup teleponnya. Meskipun beberapa kali Farid menyalakan daya hidupnya, tapi Farid gak jarang bertingkah seperti kakek-kakek yang melarang cucunya jajan.
“Kamu denger kan Si Farid itu bilang apa?! Kenapa sih hobi banget ngelarang-larang orang?! Dia tuh gak suka kali ya kalau orang lain lebih banyak bisanya daripada dia?!” Jayanti terus-terusan meracau sampai ia tertidur sendiri.
***
“Jay, Bapakmu butuh obat.” Ibu membangunkan Jayanti.
Jayanti melirik jam. Sudah jam 8. Ia bergegas mandi sebelum terjadi pembunuhan lagi di jalan. Masalahnya, penyakit jantung bapaknya lebih membebani pikirannya. Ia tidak mungkin membiarkan Ibunya yang payah mengendarai motor itu berkeliaran di jalan. Bisa jadi Ibunya yang justru jadi penyebab orang terbunuh karena salah kasih lampu sein.
Jayanti menyelah motor bebek karbunya. Ibunya berbisik dengan khawatir, sedangkan adiknya hanya melihat di ambang pintu.
“Jay, hati-hati, ya.” ucap Ibunya
Jayanti cuma menyepelekan.
“Ibu yang hati-hati kaleee. Inget, kalau ada apa-apa, itu golok ada di kolong kursi. Tembakan paku juga.”
Jayanti melaju. Pikirannya dipenuhi suara batuk Bapak yang gak berhenti-berhenti. Dengan uang yang ia dapat dari menulis skrip film porno ke rumah produksi video dewasa teraktif di dunia, ia tentu saja gak lagi membutuhkan gadunnya.
Ia sampai di kota, namun ia membelokkan motornya ke Gedung Pemda di Bypass. Beberapa kelompok massa sudah memenuhi Pemda. Beberapa ada yang berdemo menuntut keamanan di kota, beberapa ada yang mendirikan stand pendaftaran volunteer Keparad, dan beberapa orang masih sempat-sempatnya berjualan batagor dan orson.
“Jon!!!” Jayanti memanggil Jon Pistol yang berada di kerumunan orang yang sedang berpuisi.
“Eh, Jay! Sini!”
Jon Pistol, teman Jayanti di komunitas literasi berkumpul bersama pegiat lainnya meneriakkan puisi yang dalam suasana seperti ini, Jayanti sebetulnya sudah gak ngerti apa fungsinya.
Jon tak sendiri. Yuda, Ian, dan Resti yang juga teman lama Jayanti menunjukkan arah menuju gerombolan mural.
“Tuh, anak-anak mural di sana. Ikutan, noh! Udeh, sono … Kapan lagi nyoret-nyoret tembok Pemda?”
Jayanti memutuskan melipir. Aneh. Suasana yang aneh. Beberapa ASN ditemukan mati beberapa minggu setelah orang Dishub yang ia incar mati di tangan Keparad. Kota menjadi gak keruan. Pembunuhan merajalela. Pejabat, begal, ormas, dan preman ganti-gantian jadi korban, dan orang-orang masih sempat-sempatnya mencari validasi yeuh aing, dan yeuh skena aing.
“Hai.” seseorang yang sedang memegang kuas menyapanya.
Jayanti tersenyum balik. Ia mengerti, seseorang itu pasti mengajak Jayanti mural. Dari celananya yang dipenuhi beberapa coretan cat, orang pasti sudah tahu bahwa Jayanti bermain dengan cat. Ya, meskipun cat tembok kiloan yang bukan jadi standar anak mural Purwakarta. Tapi, Jayanti begitu senang. Barulah ia tahu bahwa seseorang yang tadi menyapanya bernama Danu. Temannya Farid ternyata.
“Mau ke mana?” Danu bertanya saat Jayanti melangkah pergi dengan entengnya.
“Beli obat buat Bapak,”
“Gak takut sendirian?”
“Kalau mau ikut, ikut aja.”
Jayanti gak suka basa-basi. Ia tertarik dengan Danu, tapi basa-basi begitu melelahkan dan Jayanti rasa ini waktu terbaik untuk kencan sebelum ada yang mati diantara mereka. Jayanti kemudian membiarkan Danu mengendarai motornya dan memastikan Danu gak keberatan menemani Jayanti sebentar ke apotek.
***
Jayanti memberikan resep pada seorang yang berjaga di meja. Jayanti gak yakin, itu resepsionis atau apoteker, atau apalah ia gak peduli. Sembari menunggu, ia melihat-lihat rak obat dan memilih-milih kondom yang mungkin akan segera ia pakai bersama Danu entah malam yang mana.
Di tengah-tengah percakapan dengan Danu yang mulai menyenangkan, seseorang yang menerima resep itu memanggil,
“Obatnya sudah, Kak.”
Jayanti pun membawa sekotak kondom ke meja kasir. Namun, tiba-tiba …
Boom! Dor, dor, dor!
Orang-orang di luar berhamburan. Berlarian. Jalanan di luar berasap. Asap yang hitam dan mengepul. Ledakan ada di seluruh sudut kota. Resepsionis atau apoteker itu bahkan berlari melalui pintu belakang. Beberapa orang masuk ke dalam apotek. Tidak beraturan. Berantakan. Semua orang panik, termasuk Danu.
Jayanti langsung mengambil obat Bapak yang tergeletak di meja. Sudah tentu ia tidak perlu membayar. Maka, ia masuk ke dalam ruangan obat di belakang meja kasir mencari obat Bapaknya lebih banyak.
“Anjrit kalau udah gini pasti bakal susah cari obat! Gue ambil aja semuanya!” Jayanti bergumam dalam hati
Sisa-sisa gas air mata masuk ke dalam apotek. Jayanti memasukkan obat Bapak, kondom, dan beberapa obat lain yang ia ambil secara acak ke dalam tasnya. Ia menjarah.
Danu sedari tadi menariknya keluar lewat pintu belakang. Mata Danu sudah perih. Ia sudah tidak sanggup. Jayanti mengambil sekotak pasta gigi. Suara ledakan dan tembakan terdengar sangat kencang. Suaranya menggelegar di sepanjang jalan.
Jedor! Kreeeeng!
Pintu kaca apotek pecah. Beberapa orang dengan topeng teroris atau game counter strike membawa senjata dengan sembarangan menembakkan ke seluruh sudut ruangan. Danu panik. Ia terus menarik Jayanti menuju pintu keluar belakang.
Sedangkan di tengah-tengah ruangannya, puluhan orang yang tadi bergerombol masuk berteriak. Beberapa ada yang sudah tertembak. Jayanti masih dengan santai mencari kemasan obat Bapaknya sebanyak-banyaknya.
“Jay!” Danu berteriak dan menarik Jayanti kencang. Danu ketakutan.
Jayanti mengoleskan pasta gigi ke wajah Danu, menyuruh Danu merunduk dan bergegas menuju pintu keluar yang ada di bagian belakang apotek itu.
“Pemerintah telah kalah! Anak bupati telah kami sandera! Menyerahlah kalian semua! Bergabung bersama kami!” teriakkan seseorang yang berada di apotek terdengar begitu nyaring.