Masih dalam penyelidikan, masih dalam penyelidikan, masih dalam penyeldikan. Itulah jawaban yang terus dikatakan Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol. Yan Munaya setiap melewati kerumunan awak media.
Lelaki tambun berkacamata yang baru 6 bulan diangkat jadi jenderal polisi ini makin lama makin kelihatan turun berat badannya, plus makin lebar bengkak hitam di matanya.
—
Dua Kompi Gabungan Densus 88 dan Tim Pasukan Khusus TNI AD Antiteror dikerahkan untuk menyergap jemaah Imam Mahdi Palsu alias Topik Esmael, Ketua Sekte Keparad, sebuah organisasi teroris yang tempo lalu mengklaim 7 ledakan serentak secara global, salah satunya ledakan yang gagal di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Indonesia.
Operasi gabungan minggu lalu digelar di gedung bekas Wisma Olahraga di Jalan Surawisesa Karawang Barat ini hasilnya nihil. Operasi gabungan termahal setelah perburuan Amrozi Cs ini akhirnya menjadi olok-olok warganet.
Mereka tak menemukan satu pun orang di sana, kendati sejam sebelumnya warga sekitar melihat tanda-tanda keberadaan orang dalam jumlah lumayan mencolok. Sekitar 50 orang dalam 30 motor berboncengan dan 4 mobil SUV APV tahun 2007. Mobil dan motor-motor itulah bukti kerasnya.
Dengan gerak malas-malasan tim gabungan bersenjata berat itu akhirnya hanya mengangkut puluhan motor dan 4 mobil jemaah aliran Keparad itu beserta beberapa peti yang sampai saat ini belum diumumkan apa isinya.
“Ada sekitar 50 orang di gedung itu. Saya dan Yuda yang memarkir motor mereka, Sir.” terang seseorang pada Nik.
Nik sering merasa perawakan bulenya membuat rikuh. Sering diminta foto bareng. Atau membuatnya dipanggil Sir. Yang membikinnya lebih dongkol, membuat tukang warung yang tidak mengenalnya, selalu menaikkan harga rokok saat ia membelinya.
“Niko saja, Pak.” tegur Niko lembut dan berusaha ramah.
“Oh, Mas Niko. Maklum Mas. Baru kali ini lihat bule lancar banget Indonesianya. Kayak di prank-prank Youtube. Ini prank bukan?”
Nik mendengus. Bosan dan dongkol sekaligus. Sebagai hasilnya, ia malah bertanya hal sepenting ini: “Yuda itu siapa, Kang?”
Itu, Mas Niko. Yuda yang jual bubur depan SD Bengle. Bla bla bla. Terang si penjawab seakan-akan semua orang mengenal Yuda itu seperti dirinya.
Nik mengangguk-angguk dan berlagak mencatat dengan serius. Ia menulis di note kecilnya: 50 orang ilang pusssh… kayak Kakashi Hatake. Imajinasi yang lumayan untuk tukang parkir.
Ia menatap kubah kecil di pucuk gedung yang telah disegel dan dijaga ketat oleh TNI beberapa minggu ini. Hp-nya bergetar.
Ia melirik bilah atas layar hpnya sekilas.
Lika: dmn? gue di The Das.
“Eh tapi punten. Akang nami saha tadi?” Nik bertanya, berusaha sopan, untuk mengakhiri obrolan.
“Jojon, A. Wah Kang Niko tiasa basa sunda gening?”
“Muhun. Abi mah tos lami di Karawang, Kang. Hatur nuhun Kang Jojon. Abi nyuhunkeun kontak WA atuh nyak. Bade mulang heula.“
—
“Bagaimana mungkin, tempat yang selalu ramai setiap Malam Jumat dalam 3 bulan terakhir ini, tiba-tiba gak ada seseorang pun di sana saat penyergapan terjadi. Padahal tanda-tanda manusia begitu jelas sebelum operasi itu digelar. Gak make sense.”
“Sudahlah Nik. Lu ini kan cuma penulis kolom budaya, ngapain repot-repot ikut investigasi kasus yang bukan tanggung jawab lu?”
“Mau nulis novel fiksi ilmiah.”
Lika tertawa “Udah bosan dengan peran kolumnis budaya L’Etelier?”
Nik mengguncang bahunya sendiri. “Gua mau aja nyamar, jadi tukang bubur ayam, tapi trauma ah.”
Lika teringat pengalaman Niko melihat tukang bubur langganannya memasukkan celana dalam ke panci bubur.
“Jadi. Apa hubungan investigasimu sama 50 orang ngilang di bawah kepungan Polisi dan TNI?”
“Entahlah. Kukira ada saja. Firasat.”
“Sudah ketemu Farid, Nik?” Yang ditanya menggeleng.
“Jangan begitu. Kalian kan kawan dekat. Mau sampai kapan? Ngomong-ngomong, ulasanmu soal bukunya juga gak kalah kasar.”
“Lika, mau Jayanti atau Pepi atau lu sekalipun … kalau udah bongkar ketololan gua yang dulu, gua juga pasti dongkol.”
“Iya ngerti. Dia memang tidak perlu membongkar masa lalumu seperti itu. Tapi kau juga keterlaluan. Memangnya siapa yang suka disebut puisinya seperti ditulis remaja penggendak dubur kambing.”
“Ya kukira itu lucu aja.”
Ponsel Nik bergetar pendek. Sebuah pesan masuk ke whatsappnya. Lika mengirim video ke kontak wa Nik.
“Ini dari lu, Lik? Apaan?”
“Buka saja.” jawab Lika pendek
“Itu file classified. Kali aja bisa bantu riset novel lu.”
“Thank you, Lik.”
“Kudengar Pepi mau nulis novel fiksi ilimah.”
“Haha. Kayak dia bisa saja. Eh btw gue mau tonton nih video di kosan. Tapi sebelumnya mau nanya dulu. Lu tuh beneran agen BIN?”
“Kenapa emang?”
“Masa kirim file classified pakai Whatsapp?”
“Gua aja dapet dari Kris, Kris juga dapet dari Ely.”
“Hmmm … CIA sama Mossad udah masuk berarti ya.”
Lika mengangguk, “Mereka udah lama ngolah ini,” tambah Lika.
“Kenapa gua ga dikasih tahu pusat?”
“Takut lu ngaco lagi kali. Btw konten lomba sentil titit yang dibikin anak-anak Nyimpang itu lucu. Ide lu?”
Nik nyengir kuda. “Bulan depan gua mau suruh anak-anak bikin tutorial cabut jembut.”
“Lah emang cowok jembutnya gak dicabut?”
“Anak-anak BIN itu pada tolol atau cuma lu doang sih?”
“Ya kan gue cewek, Nik.”
“Tanya Jayanti aja lah. Heran gue, cewek-cewek kalau kumpul ngobrolin apa aja sih. Udah ah. Gua cabut ya, Lik. Garap novel. Salamin ke Pepi kalau ketemu. Nulis panjang-panjang, tapi gak ada ceritanya, kok nyebut diri penulis cerita. Gak tahu malu.”
__
From: Lika
KubahTerbang.Mov.1.2003
Tampakan.Portal.Ketiga.Mov.2021
Jejak.Karbon.Masa.Menghilang.Mov.3.2023