Cuih.
Jayanti meludah najis saat membaca berita pembunuhan di Karawang dari ponselnya. Beberapa hari yang lalu, ia membaca sebuah broadcast Whatsapp yang dikirim kepolisian atau anggota pers yang tergesa-gesa dan kelihatan gak ngerti Puebi. Gitu aja banyak typonya. Begitu ocehnya dalam hati.
Rencananya gagal total setelah mangsa jatuh ke wilayah musuh. Geng-geng sok agamis yang kelewat tolol dan gak tahu seni membunuh. Bisa-bisanya merusak media berkesenian pakai perabot bangunan. Berdasarkan keterangan hasil autopsi yang dilebih-lebihkan pun Jayanti sudah tahu bahwa pelakunya bukan ngab-ngab artsy dan hasrat membunuh para pelaku gak lebih dari kucing lagi birahi.
Rokoknya tidak terlalu sedap dihisap di udara sepanas ini. Karawang selalu terkesan seperti bagian terluar neraka buatnya. Ia berada di bangku es cendol depan pertokoan buku di Jalan Tuparev. Ia membawa totebag berisi cat akrilik buat ia pakai melukis.
Jay, Mbak udah di sini.
Jayanti lantas berjalan ke arah Alun-Alun. Melewati pertokoan yang berderet sejak Heaven masih menjadi Borobudur. Waktu masih perawan dan masih katholik, Ibu kandungya dulu tinggal di Kaum, tepat di belakang asrama atau mess kepolisian ia tidak yakin. Namun semenjak dikawin Bapak, rumah di Kaum itu hanya ditinggali Opung yang mati jatuh di kamar mandi.
Ia melewati Otten, studio foto jadul yang bau dupa. Dulu kalau ada keperluan, Jayanti selalu cetak foto di sana. Ia juga ingat cerita Bapak yang ditepok pantatnya sama bencong waktu lewat di depan Karawang Teater tahun 90an. Bapak bilang, Bapak takut bencong. Bencong bisa lebih galak daripada apapun.
Omongan Bapak masuk akal juga. Orang yang bukan minoritas aja kalau sakit hati bisa sampai ngapain aja, apalagi bencong. Bayangkan. Sudah tahu betapa sulit hidup menjadi orang biasa, gimana coba rasanya hidup jadi orang terpinggirkan?
Jayanti lalu mengingat kasus penggorokan leher seorang waria di sebuah salon di Kosambi. Pelakunya waria juga. Kasusnya kalau tidak salah karena cemburu atau rebutan gadun. Entahlah.
Sebelum menyeberang jalan menuju Masjid Agung, ia melihat ke sisi sebelah kanan. Sebuah kedai bubur Cina yang Bapak bilang pernah Bapak belikan buat Jayanti dulu.
“Pas tahu itu bubur pake minyak babi, Bapak suruh kamu syahadat lagi. Eh, kayanya gak berhasil. Jadi sampai sekarang kamu jadi males salat. Gak tau, deh. Ada hubungannya sama bubur itu atau enggak.” kenang Jayanti waktu Bapak masih sehat dan suka bercanda.
Jayanti melepas sandal dan masih membawa plastik cendolnya.
Tata sudah menunggu di pelataran Masjid.
“Maaf ya, Mbak.” Jayanti merasa kecewa karena upayanya membantu Tata menjadi gagal gak karuan.
“Melihat dia begitu Mbak udah senang, Jay. Mbak malah jauh lebih senang karena kamu jadi lebih aman dan gak bakal dikejar sama polisi.”
Di dalam hati, ia mengingat pembicaraannya dengan Tata yang meminta bantuan untuk membunuh seorang pegawai dinas yang tidak membayar Tata sesuai nominal yang dijanjikan dan malah balik merendahkan Tata. Melakukan beberapa tamparan dan pukulan waktu Tata belum memakai baju sehelai pun.
“Jay, kamu udah banyak bantu Mbak. Mbak puas sekarang. Kamu udah banyak bantu Mbak,”
Jayanti melengos pergi saja.
Melanjutkan jalan kaki menuju rumah sakit di Jalan Kertabumi. Ia ingat betul rencananya gagal waktu mangsanya lari. Lari Jayanti memang tidak secepat itu, dan komplotan kucing birahi itu langsung menangkapnya setelah mungkin sebelumnya sudah menguntit Jayanti.
Kau tahu? Para pembunuh memiliki insting untuk mengetahui pembunuh lainnya. Bisa jadi ia adalah pedagang bakso langgananmu, bisa jadi ia ada di baris antrean yang sama denganmu waktu beli token di supermarket. Yang jelas, masing-masing pembunuh berkompetisi untuk menunjukkan bahwa dirinya lah yang terkuat di wilayah itu. Kebanyakan pembunuh receh yang membutuhkan validasi biasanya menunjukkan prestasi dengan jumlah korban. Itu yang menyebabkan beberapa pembunuh meninggalkan jejak di tubuh korbannya. Persis seperti nama/tanda yang disematkan pelukis pada karyanya.
Ia menerima sebuah bingkisan yang dibungkus paperbag warna. Seorang perawat tua yang memberikannya, Esther. Teman baik Opung waktu masih bekerja sebagai perawat.
“Makasih ya, Nek.”
“Itu anestesi yang sudah kedaluwarsa. Efeknya mungkin akan menurun dan gak seampuh itu.”
“Gakpapa, Nek. Itu yang Jayanti butuhin.”
Perawat tua itu kemudian meninggalkan Jayanti. Maria dan keturunannya memang agak gila. Begitu pikirnya.
***
Seorang Marbot Tewas Disalib di Mimbar Masjid Gegerkan Warga Karawang
KARAWANG – Ahmad Junaedi (30) ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan. Tubuhnya disalib di mimbar masjid yang selama ini ia kelola kebersihannya di Duren, Klari, Karawang, Jawa Barat.
Ahmad Junaedi ditemukan oleh Eko, seorang warga yang hendak melakukan azan subuh. Eko langsung melapor Kantor Polsek setempat.
“Untuk saat ini masih kita telusuri, pembunuhan ini didasari dengan motif pribadi atau acak. Kita coba pastikan juga ini ulah siapa. Apakah memang betul kelompok teroris yang lagi viral itu atau bukan. Kita juga sedang melakukan crosscheck terkait korban ini.” ujar Abdul Karim, Humas Polsek Klari saat jumpa pers di Polsek Klari, Karawang, Jawa Barat.
Abdul pun menuturkan tidak ditemukan tanda apapun di tubuh korban seperti yang biasa dilakukan kelompok Keparad.
“Saya curiga ini perang antar kelompok pembunuh. Yang jelas, yang bisa dilakukan warga saat ini adalah harus berhati-hati dan jangan keluar larut malam. Kami juga akan memperketat patroli sampai keadaan kondusif.” pungkasnya
Terakhir, pihak kepolisian menjelaskan akan segera menangani kasus pembunuhan yang sedang ramai dan meresahkan masyarakat.
***
Ada pula dua orang penjahat yang akan disalibkan bersama-sama Yesus. Apabila tiba di tempat yang disebut “Tengkorak,” mereka menyalibkan Yesus dan kedua-dua orang penjahat itu – seorang di sebelah kanan Yesus dan seorang lagi di sebelah kiri-Nya. Yesus berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka! Mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka.” (Lukas, 23: 34)
Jayanti menutup alkitab.